Ibu menuangkan segelas jamu, katanya untuk penghilang pegal selepas seharian berjualan soto. Setelah membenahi jariknya, Ibu mengajakku ke beranda, merajut kembali kisah Miranda.
"Pak Minto adalah orang yang serakah. Ia hendak menjual desa ini untuk dijadikan pertokoan. Tak ada yang mampu menggagalkannya, hanya..."
"Apa, Bu?"
"Pagi itu Pak Minto berteriak-teriak seperti orang gila. Ia menemukan Miranda dalam keadaan yang tak pernah ia inginkan. Miranda ditemukan tewas di belakang rumahnya tanpa sehelai pakaian. Dan sejak saat itu, Pak Minto tak lagi terlihat di desa ini."
"Miranda mati?"
"Iya. Jasadnya dikuburkan tak jauh dari pohon mangga itu. Konon katanya, laki-laki yang melihatnya duduk di bangku bambu itu pasti akan mati."
"Tapi, Bu...aku baru saja melihat Miranda duduk di sana."
"Ibu sedang tak ingin becanda."
"Sungguh, Bu. Aku melihat Miranda duduk di sana."
Ibu tak percaya. Pikirnya, aku mengada-ngada. Seperti sepuluh tahun lalu di mana lututku terluka, Ibu menyuruhku untuk tidak lagi bermain cat air berwarna merah. Atau ketika kucing peliharaanku mati, Ibu bilang hanya sebuah boneka yang lehernya digerogoti tikus rumah. Mungkin Ibu benar, aku terlalu banyak mengkhayal.
"Sudahlah, Nak. Lebih baik bantu Ibu membereskan warung ini lalu beristirahat tanpa dilelapkan oleh kisah Miranda khayalanmu itu."