Sehari-hari perempuan itu duduk di sana. Di atas bangku bambu, dipilin ujung rambutnya, diberinya pita. Berulang kali. Sebelum lelah mengajaknya berbaring menatap matahari dari celah-celah daun mangga. Setiba senja, ia akan kembali memeluk bonekanya, mengikat tali sepatu, lalu berlari hingga ujung jalan menelan sosoknya.
"Cantik sekali."
"Siapa?"
"Tidak. Mungkin Ibu salah dengar."
Kuharap memang begitu. Lagi pula, Ibu tak akan pernah peduli pada siapa aku jatuh cinta. Yang Ibu pedulikan hanya warung peninggalan Bapak dan bagaimana caraku mencuci piring juga gelas agar tak pecah atau Ibu akan mengomel seharian.
"Kau seperti sedang memikirkan sesuatu."
Ibu mendekatiku, seolah berhasil menangkap resah di kedua mataku.
"Kau tak bisa membohongi Ibumu."
Aku mengalah. Tak ada salahnya mencari jawab atas tanya yang sedari pagi mulai memenuhi kepalaku.
"Apa Ibu mengenal perempuan yang biasanya bermain di bangku bambu itu?"
"Dari mana kau dengar cerita itu? Namanya Miranda. Ia anak kepala desa. Banyak laki-laki berlomba mendekatinya, tak sedikit kalangan tua bangka yang berniat meminangnya. Pak Minto sangat menyayangi anak gadisnya. Tak dibiarkan seorang pun mendekatinya, kecuali laki-laki pilihannya sendiri. Di bawah pohon itu, Miranda pernah menangis. Entah apa penyebabnya."
Ibu menuangkan segelas jamu, katanya untuk penghilang pegal selepas seharian berjualan soto. Setelah membenahi jariknya, Ibu mengajakku ke beranda, merajut kembali kisah Miranda.
"Pak Minto adalah orang yang serakah. Ia hendak menjual desa ini untuk dijadikan pertokoan. Tak ada yang mampu menggagalkannya, hanya..."
"Apa, Bu?"
"Pagi itu Pak Minto berteriak-teriak seperti orang gila. Ia menemukan Miranda dalam keadaan yang tak pernah ia inginkan. Miranda ditemukan tewas di belakang rumahnya tanpa sehelai pakaian. Dan sejak saat itu, Pak Minto tak lagi terlihat di desa ini."
"Miranda mati?"
"Iya. Jasadnya dikuburkan tak jauh dari pohon mangga itu. Konon katanya, laki-laki yang melihatnya duduk di bangku bambu itu pasti akan mati."
"Tapi, Bu...aku baru saja melihat Miranda duduk di sana."
"Ibu sedang tak ingin becanda."
"Sungguh, Bu. Aku melihat Miranda duduk di sana."
Ibu tak percaya. Pikirnya, aku mengada-ngada. Seperti sepuluh tahun lalu di mana lututku terluka, Ibu menyuruhku untuk tidak lagi bermain cat air berwarna merah. Atau ketika kucing peliharaanku mati, Ibu bilang hanya sebuah boneka yang lehernya digerogoti tikus rumah. Mungkin Ibu benar, aku terlalu banyak mengkhayal.
"Sudahlah, Nak. Lebih baik bantu Ibu membereskan warung ini lalu beristirahat tanpa dilelapkan oleh kisah Miranda khayalanmu itu."
"Bagaimana jika yang aku katakan itu benar, Bu?"
Ibu menatapku, "Dia akan akan mengejarmu lalu memakan kepalamu."
Aku menutup mata dengan kedua tangan. Ibu terpingkal-pingkal setelahnya.
"Hahaha...tentu saja Ibu bohong."
Ibu bohong? Bisa jadi Ibu memang benar-benar bohong. Tapi bagiku, secuil kisah Miranda terlepas fakta atau rekayasa Ibu, semua adalah kebenaran yang bisa saja terjadi. Mungkin Miranda akan datang malam ini. Dia akan menyelinap memasuki kamarku, melewati celah pintu dapur, membuka selimutku, lalu mulai mengunyah bagian-bagian kepalaku. Aku tak bisa membayangkan dari mana Miranda akan memulainya. Dari telingakah, mata, hidung, atau rambut? Lantas bagaimana jika aksinya tak tuntas? Akankah aku bangun pagi tanpa telinga, mata, hidung atau rambut? Bagaimana reaksi ibu melihatku tanpa telinga, mata, hidung atau rambut? Bisa jadi Ibu mengusirku dan mengira aku anak setan yang hendak mencuri uang dari balik kutangnya.
Jujur! Aku tak sanggup menerka-nerka semua peristiwa yang akan terjadi bila Miranda di kamarku. Sebaiknya aku tetap terjaga. Tak tidur semalam, sepertinya tidak masalah. Lalu bagaimana dengan malam-malam berikutnya?
Aku mencoba pejamkan mata. Semakin gulita. Ketakutan menyergap. Kemudian menjadi susah bernapas. Miranda tiba! Mungkin...
Aku membuka mata. Tak ada siapa-siapa, kecuali Ibu dengan pisau dapurnya.
"Ibu!"
"Kau sudah bangun? Pagi belum tiba. Lanjutkan tidurmu."
"Aku tak ingin tidur, Bu."
"Kau mimpi buruk?"
Ibu menatapku. Tangannya meraih kepalaku. Mengelus rambutku. Wanita yang kupanggil Ibu, berusaha tenangkanku dalam dekapnya.
"Jika kau tak mengantuk, bantu Ibu mengupas bawang-bawang ini."
Aku memang tak mengantuk, tepatnya setelah bayang-bayang Miranda menjelma mimpi buruk. Seolah aku mendengar Miranda tertawa dekat telingaku. Keras sekali. Aku berusaha mengusir suara itu, menutup telingaku. Jariku terasa basah dan itu darah.
"Ibu, telingaku berdarah."
"Sini Ibu obati. Mungkin kau sedang panas dalam."
"Bu, Miranda sedang mencangkul di gendang telingaku. Dug...dug..dug..."
Aku berbisik pada Ibu, berharap Miranda tak mendengarnya.
"Miranda tak akan pernah ada, Nak. Dia sudah mati. Tak mungkin ia menjelma kutu lalu memasuki telingamu."
"Percayalah, Bu. Miranda ada di dalam telingaku. Jika ia berhasil melobangi gendang telingaku, ia akan naik lalu menguasai otakku. Miranda kemudian akan memakan otakku, seperti kata Ibu."
Ibu mengantarku ke kamar. Memaksaku berbaring. Menyelimutiku. Bibir Ibu komat-kamit, tapi tak sedang merapal doa. Telapak tangannya menekan-nekan dahiku. Mungkin Ibu sedang berusaha mencegah Miranda memasuki otakku.
"Bu, aku tidak akan mati, kan?"
"Tidak. Tidurlah."
*
Warung Ibu ramai pengunjung. Seperti biasanya, masakan Ibu ludes sebelum senja. Ibu sangat menikmatinya. Berbeda halnya ketika masih bersama Bapak. Hampir setiap hari Ibu menangis. Bapak bukan suami yang baik. Berkali-kali membawa wanita lain masuk ke warung ini dan berlama-lama di dalam kamar Ibu. Sekeluar dari kamar, Bapak merogoh laci, mengambil uang dagangan, lalu diberikan kepada wanita itu. Jika Ibu memberontak, Bapak tak segan turun tangan. Pipi Ibu memar kemudian. Itulah sebabnya, aku benci melihat wajah Bapak di dompet Ibu.
Bapak minggat! Bukan karena dicerai Ibu, namun karena warung ini menjadi sepi pembeli. Bangkrut. Kurasa tak ada satu pun pembeli nasi dengan lauk pertengkaran suami istri. Sejak saat itu, Ibu lebih sering menghabiskan waktu duduk melamun dekat perapian.
Tanpa disadari, aku sudah berada di rahim Ibu selama empat bulan. Itulah yang pada akhirnya membuat Ibu mengusir lamun. Ibu membuka kembali warungnya. Beberapa bulan kemudian, warung Ibu menjadi ramai, bahkan beberapa pelanggan rela mengantri demi menelan masakan Ibu. Aku mendengar kisah ini dari Mbok Darmi penjual jamu langganan Ibu.
Banyak warung makan gulung tikar karena kalah saing dengan warung Ibu. Bisa jadi karena lidah mereka lebih cocok dengan masakan Ibu, atau karena rupa Ibu yang ayu didukung dengan status jandanya.
Pernah suatu kali ada seorang wanita dengan menggendong anaknya, mendatangi Ibu. Wanita itu mengacung-acungnya telunjuknya ke muka Ibu, mengatainya janda murahan. Tapi pembelaan Ibu tepat, Ibu tak bisa melarang mata dan rasa dari setiap pengunjung warungnya. Kemudian wanita itu berbalik meninggalkan Ibu dengan ocehan yang tak lagi terdengar hingga saat ini.
"Apa kabar Bapak, Bu?" aku menanyakannya suatu hari.
"Mengapa kau tanyakan itu?"
"Hanya ingin jumpa. Tak sengaja aku melihat wajah Bapak di salah satu lipatan dompet Ibu."
"Bapakmu sudah mati bersama diri Ibu yang dulu. Mata Bapakmu hanya tertuju pada tubuh dan paras para wanita penggoda, sedangkan Ibu jauh dari apa yang Bapakmu inginkan."
Aku tak mengerti, apa kira-kira semua pria dewasa memiliki sifat seperti Bapak. Lalu mengapa sebelumnya mereka menggilainya jika kemudian diludahkan begitu saja. Apa jika wanita telah melahirkan seorang anak maka wangi tubuhnya akan pudar dan mengeluarkan bau busuk sehingga para pria meninggalkannya? Akankah ketika aku menjadi dewasa kelak akan seperti para pria itu? Seperti Bapak?
Semoga tidak. Terlebih lagi menjadi pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuh perempuan muda secara cuma-cuma seperti yang telah terjadi pada Miranda. Aku pernah kehilangan mainan kesayanganku. Ketika aku menemukannya, mainanku telah patah pada rodanya. Aku menangis seharian. Sedih bergelayut di dada. Seolah-olah aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku. Terlebih sakit pada hati Miranda kala itu ketika ia dapati masa depannya patah oleh pria hidung belang yang juga mencuri nyawanya.
Kemudian aku mulai memikirkannya. Menggauli Miranda dalam angan-angan. Hingga ketakutanku mulai berkawan dengan hal-hal mengerikan yang kala itu dialami oleh Miranda. Jasad Miranda dikubur begitu saja tanpa nisan, tanpa penghormatan, selain aib yang ditaburkan di atas tanahnya.
Aku menjadi mengerti mengapa Miranda suka duduk menyendiri di depan sana, memilin rambutnya lalu menatap matahari. Miranda mungkin ingin seseorang sudi mendengar kecewanya juga menampung pedih pada kedua matanya, atau mungkin Miranda ingin dicintai?
*
"Jangan buka warung ini sebelum Ibu kembali."
"Ibu mau pergi?"
"Melayat Pak Sardi. Mendadak mati subuh tadi. Kabar yang terdengar, sebelumnya Pak Sardi melihat Miranda di depan sana."
Deg!
Tidak mungkin. Aku juga melihat Miranda dan aku masih hidup. Bukankah seharusnya aku juga bernasib sama dengan Pak Sardi? Hal ini tak bisa dibiarkan!
Aku mengunci warung, menguntit Ibu yang pergi melayat bersama Mbok Darmi. Di depan rumah berbendera kuning, banyak orang menangis. Mungkin keluarganya yang tak rela kehilangan seseorang yang mereka kasihi. Sisanya kudengar bisik-bisik warga menyalahkan Miranda.
"Lagi-lagi ada yang mati karena Miranda! Bagaimana jika kita panggilkan orang pintar untuk mengusir arwah Miranda dari desa ini?"
Pria bertubuh tambun membuka suara.
"Setuju!"
Seorang lainnya menanggapi, disusul puluhan warga lainnya.
"Itu tidak benar! Miranda tak mungkin membunuh. Dia tak bersalah. Aku telah melihatnya beberapa hari yang lalu dan aku masih hidup!"
Aku membantah.
"Siapa kau!"
Pria tambun mengarahkan tanya padaku. Matanya melotot, seperti kepala cacing yang keluar dari tanah.
"Aku..."
Buru-buru Ibu menarik tanganku. Aku tersentak. Menyembunyikanku di balik tubuhnya. "Maaf, anak ini suka berhalusinasi. Jangan percaya pada ucapannya."
Kurasakan panas pada lenganku. Ibu menyubitku. Sakit sekali. Sepertinya kulitku hendak mengelupas.
Ibu menyeretku pulang. Membawaku pergi menjauhi rumah duka. Di sepanjang perjalanan, Ibu terdiam. Hanya Mbok Darmi yang sibuk menaruh iba padaku dengan harap Ibu lekas menguapkan amarahnya.
"Nduk, kasihan anakmu. Dia hanya menyampaikan apa yang ada di pikirannya tanpa tahu kebenarannya," Mbok Darmi membelaku.
"Aku tahu, Mbok. Tapi tidak di depan banyak orang seperti tadi. Memalukan!"
"Setidaknya sekarang mereka sudah tahu kekurangan anakmu itu. Kau harus bisa memaklumin seperti mereka, tanpa menyakitinya."
"Seharusnya dia tak pernah lahir!"
"Ya, ampun, Nduk...ingat, anak itu anugerah bagaimanapun kondisinya."
"Tapi aku tidak pernah meminta anak idiot seperti dia!"
Mbok Darmi terdiam. Wanita paruh baya itu menatapku. Ia menyeka air mataku sebelum berbelok di balik dinding putih yang perlahan menelan tubuh ringkihnya.
Kini aku sedikit mengerti, mengapa Ibu tidak pernah mengizinkanku meninggalkan warung, mengikutinya berbelanja ke pasar, bermain kelereng bersama anak-anak lainnya, atau hanya sekadar bermain layang-layang. Itu semua karena aku berbeda. Aku tidak sama seperti anak-anak lainnya. Bahkan Ibu tak pernah mengharapkan kelahiranku. Aku idiot.
Apakah idiot itu bentuk dari sebuah kutukan yang kemudian dilahirkan ke dunia melalui rahim seorang wanita? Adakah Tuhan dengan sengaja membentukku seperti ini? Adakah Tuhan tak sayang padaku? Ataukah aku merupakan sekumpulan dosa Bapak?
Seharian Ibu tak membuka warungnya. Banyak pengunjung pulang dengan kecewa. Ibu hanya terduduk di dekat perapian, membolak-balikkan kayu bakar. Aku tahu, amarah ibu semerah bara api di dalam tungku. Terkurung tanpa mampu membakar sekelilingnya. Mungkin Ibu sedang tidak ingin melalapku dalam geramnya.
Sedangkan aku hanya melipat-lipat kertas. Semakin lusuh, hingga sobek pada bagian tengahnya. Biasanya jika cemas melanda, Ibu segera melipatkan seekor burung dari kertas bekas. Dan kini aku sedang mengusahakannya sendiri, melipat cemas yang berkali-kali gagal.
Air liurku juga mulai menetes. Ini akan terjadi jika aku sedih. Bajuku basah dan Ibu tak peduli. Aku seperti anak burung kertas yang pernah Ibu buang ketika membersihkan meja warung. Ibu menginjaknya. Sama seperti harapku untuk dikasihi yang telah terinjak hari ini.
Aku lapar. Ibu masih tak peduli. Hari ini Ibu lupa menanak nasi, atau mungkin sengaja tak ingin memberiku makan. Ini hukuman untuk anak sepertiku. Anak yang telah membuat malu Ibunya.
Kuambil anak burung kertas yang pernah Ibu buang dari dalam laciku. Aku mengajaknya menghirup malam di emperan warung.
"Sudah pernah kubilang padamu, jangan sakiti Ibumu."
Aku berkata pada anak burung kertas. "Sampai saat ini kau tak pernah bisa berjumpa lagi dengan Ibumu, kan? Ibumu sudah terbang tinggi dan melupakan anak nakal sepertimu."
Aku pun menunduk, melihat diriku sendiri. Anak burung kertas itu menertawaiku.
Kutinggalkan anak burung kertas itu di atas bangku kayu. Biar ia dipeluk sendiri. Biar ia di makan sepi.
Malam yang dingin. Aku tahu itu. Toh, tak ada yang peduli kemana aku berlari. Anak burung kertas itu semakin tak terlihat. Warung Ibu tampak lebih remang dari sebelumnya. Aku telah sampai di seberang, meninggalkan Ibu yang masih terduduk di dekat perapian.
Di sinilah Miranda merebahkan tubuhnya menatap matahari yang kini berganti rembulan. Di sinilah Miranda menghabiskan waktunya. Mengubur sepi serta lukanya.
"Hai..."
Hawa dingin menyergap. Aku merinding, terkencing.
"Aku Miranda. Terima kasih telah membelaku."
Aku menggelengkan kepala, menutup mulut dengan kedua tanganku.
"Jangan...jangan bunuh aku..."
Miranda terbahak.
"Alam pikirmu telah dikuasai oleh dongeng-dongeng buatan Ibumu. Aku tak akan pernah bisa membunuh siapapun, bahkan menyentuh sehelai rambutmu saja tak mampu kulakukan."
"Pagi tadi Pak Sardi mati. Pasti karena ulahmu."
"Hahaha...Pak Sardi mati karena mengalami masalah pada jantungnya. Lagi pula bukan aku yang mengatur hidup mati seseorang."
"Lalu bagaimana aku bisa melihatmu? Dan apakah kisah tentangmu itu benar adanya?"
"Aku hanya bisa terlihat oleh orang-orang yang murni hatinya juga orang-orang yang hendak mati. Mengenai kisahku, hampir seluruhnya benar. Hanya saja aku tak pernah jahat seperti dongeng Ibumu."
"Kau ini malaikat atau setan?"
"Hahaha...kau lugu sekali."
"Apa kau pernah menyesal pernah dilahirkan jika hanya untuk mengalami hal yang menyakitkan?"
Miranda terdiam sejenak. "Tidak. Ini takdirku untuk mengubah takdirmu. Esok kau bisa saja tiba-tiba mati bila tidak mendengarkan kata-kataku."
"Esok aku mati?"
"Ya."
"Apa karena telah melihatmu?"
"Karena tidak mendengar apa kataku."
"Bagaimana aku akan mati?"
"Pisau Ibumu."
"Pisau Ibu? Aku kerap melihat pisau Ibu untuk mengupas bawang."
"Benar dan esok akan ia pakai untuk mengupas kulitmu."
"Kau bohong!"
"Jika itu yang kau yakini, maka kau harus bersiap untuk mati."
Aku berlari meninggalkan Miranda. Dengan berkeringkat kembali duduk di bangku kayu. Anak burung kertas itu masih ada di sana. Barangkali memang menungguku kembali.
Gulita membuatku semakin gundah. Perkataan Miranda terngiang di kepalaku. Suaranya seolah menggema, memenuhi kedua lobang telingaku. Dan yang lebih mengerikan, esok aku akan mati di tangan Ibu. Pisau Ibu akan mengulitiku seperti menguliti bawang-bawangnya.
Mungkin sekujur tubuhku penuh dengan dosa hingga Ibu perlu mengupasnya. Mungkin setelah dosa-dosa itu hilang, aku tidak lagi menjadi berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Mungkin setelah itu, Ibu akan lebih menyayangiku. Tapi bagaimana jika kemudian Ibu memotong-motong tubuhku lalu memasaknya yang kemudian dinikmati oleh para pelanggan warungnya?
Jika memang benar aku adalah anak Bapak, maka di dalam darahku mengandung darah Bapak. Itu berarti dendam Ibu turut mengalir dalam tubuhku. Bagi Ibu, Bapak sudah mati. Bisa jadi, bagi Ibu, aku sudah mati, bahkan sejak aku masih dikandungnya.
Aku mulai mempercayai kata-kata Miranda. Setidaknya aku bisa lebih berjaga-jaga agar maut tidak buru-buru menghampiriku.
Tapi aku tak mampu menahan rasa takut.
Kubuka pintu, mendekati Ibu. "Ibu! Ibu mau mengulitiku bukan?"
Ibu terdiam.
"Aku tahu Ibu telah memikirkan rencana untuk menguliti seluruh dosaku!"
Kulihat Ibu mulai menggerak-gerakkan bibirnya seperti merapal sesuatu. Kepalaku kemudian menjadi berat. Mataku berkunang-kunang.
O, Miranda benar! Ibu jahat!
"Ibu hentikan! Aku tak ingin mati! Tolong, Bu!"
Dipegangnya kepalaku dan itu lebih menyakitkan, sepertinya Ibu hendak meremukkannya. Aku mengambil apapun di sekitarku untuk menghentikan Ibu. Sia-sia. Tapi kali ini aku akan membuat Ibu berhenti menyakitiku. Kupegang pisau Ibu. Pisau kesayangan untuk mengupas bawang-bawang. Aku mulai menyayat pergelangan tangan Ibu. Ibu meringis seketika, melepaskan tangannya dari kepalaku.
"Kupastikan Ibu akan gagal membunuhku."
Ibu semakin keras merapal --mungkin mantra.
"Aku akan memulai dari jari-jari ibu."
Memotongnya. Aku memulainya dari tiap ruas jari ibu, kemudian pergelangan tangannya, sikunya, lengannya, lehernya, dan beberapa bagian tubuh yang lain. Kulihat Ibu mati dan aku merasa sangat aman.
Kemudian kulihat Miranda menerobos masuk melalui celah-celah dinding bambu. Melihatku bersimbah darah dengan pisau di tanganku.
"Kau membunuh Ibumu?"
"Ya, seperti yang kau lihat. Aku hanya ingin esok masih bernapas. Itu saja."
"Kau melupakan satu hal. Miranda memang nyata, dan seperti yang kau tahu bahwa ia telah mati tanpa bisa melukai siapapun."
"Kau sudah mengatakannya padaku tadi."
"Tapi Miranda tak akan pernah hadir kembali dalam sosok apapun, kecuali ia kau izinkan hidup dalam angan-anganmu."
"Hahaha..."
Aku tertawa sebebas-bebasnya, sekeras-kerasnya, segila-gilanya.
*
Esok tiba dan aku masih ada. Hanya Ibu yang berbeda. Mati terpotong-potong. Mbok Darmi mendapati Ibu sambil berteriak minta tolong. Seluruh warga berkumpul. Sebagian menggotong jasad Ibu, sisanya mengikat tubuhku dan menjauhkan pisau Ibu dariku.
Kudengar wanita berambut keriting menyalahkan jasad Ibuku, "Sudah pernah kusarankan padanya untuk membawa anaknya ke rumah sakit jiwa. Akhirnya ia tanggung sendiri akibatnya."
"Iya benar. Bulan lalu ia pernah bercerita bahwa anaknya pernah mengamuk dan mencakar lengannya. Tapi ia tetap saja membiarkan anak gilanya itu tinggal bersamanya," seorang lagi membumbui.
"Kasih sayang seorang Ibu terkadang sengaja buta terhadap kondisi kejiwaan anaknya. Ibu mana yang tega anaknya disakiti oleh orang lain? Hanya doa-doa yang ia panjatkan untuk memohon kesembuhan anaknya. Ya, tapi mungkin Tuhan punya kehendak lain," Mbok Darmi menimpali.
Dari balik pintu kulihat anak burung kertas mengintip dari atas bangku kayu. Ia meneriakiku, "Sekarang Ibu siapa yang pergi dan tidak mungkin kembali lagi?"
Andai saja aku bisa melepas ikatan ini, akan kubakar anak burung kertas itu. Agar ia tak mengoceh sembarangan, juga orang-orang di rumah ini yang tak henti mengumbar kebebalan Ibuku. Hanya Mbok Darmi yang akan kubiarkan hidup dan kuletakkan di atas pohon untuk melindungi anak-anak burung yang ditinggalkan Ibunya, atau anak-anak yang dilahirkan tanpa pernah diharapkan oleh orang tua mereka.
***
Cerpen ini pernah saya bukukan dalam Kumcer Iblis Setengah Malaikat (Jentera Pustaka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H