Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

â–ªtidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnyaâ–ª

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Miranda

6 November 2020   05:00 Diperbarui: 6 November 2020   05:10 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic: wallpaperup.com

Kurasakan panas pada lenganku. Ibu menyubitku. Sakit sekali. Sepertinya kulitku hendak mengelupas.

Ibu menyeretku pulang. Membawaku pergi menjauhi rumah duka. Di sepanjang perjalanan, Ibu terdiam. Hanya Mbok Darmi yang sibuk menaruh iba padaku dengan harap Ibu lekas menguapkan amarahnya.

"Nduk, kasihan anakmu. Dia hanya menyampaikan apa yang ada di pikirannya tanpa tahu kebenarannya," Mbok Darmi membelaku.

"Aku tahu, Mbok. Tapi tidak di depan banyak orang seperti tadi. Memalukan!"

"Setidaknya sekarang mereka sudah tahu kekurangan anakmu itu. Kau harus bisa memaklumin seperti mereka, tanpa menyakitinya."

"Seharusnya dia tak pernah lahir!"

"Ya, ampun, Nduk...ingat, anak itu anugerah bagaimanapun kondisinya."

"Tapi aku tidak pernah meminta anak idiot seperti dia!"

Mbok Darmi terdiam. Wanita paruh baya itu menatapku. Ia menyeka air mataku sebelum berbelok di balik dinding putih yang perlahan menelan tubuh ringkihnya.

Kini aku sedikit mengerti, mengapa Ibu tidak pernah mengizinkanku meninggalkan warung, mengikutinya berbelanja ke pasar, bermain kelereng bersama anak-anak lainnya, atau hanya sekadar bermain layang-layang. Itu semua karena aku berbeda. Aku tidak sama seperti anak-anak lainnya. Bahkan Ibu tak pernah mengharapkan kelahiranku. Aku idiot.

Apakah idiot itu bentuk dari sebuah kutukan yang kemudian dilahirkan ke dunia melalui rahim seorang wanita? Adakah Tuhan dengan sengaja membentukku seperti ini? Adakah Tuhan tak sayang padaku? Ataukah aku merupakan sekumpulan dosa Bapak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun