"Bu, aku tidak akan mati, kan?"
"Tidak. Tidurlah."
*
Warung Ibu ramai pengunjung. Seperti biasanya, masakan Ibu ludes sebelum senja. Ibu sangat menikmatinya. Berbeda halnya ketika masih bersama Bapak. Hampir setiap hari Ibu menangis. Bapak bukan suami yang baik. Berkali-kali membawa wanita lain masuk ke warung ini dan berlama-lama di dalam kamar Ibu. Sekeluar dari kamar, Bapak merogoh laci, mengambil uang dagangan, lalu diberikan kepada wanita itu. Jika Ibu memberontak, Bapak tak segan turun tangan. Pipi Ibu memar kemudian. Itulah sebabnya, aku benci melihat wajah Bapak di dompet Ibu.
Bapak minggat! Bukan karena dicerai Ibu, namun karena warung ini menjadi sepi pembeli. Bangkrut. Kurasa tak ada satu pun pembeli nasi dengan lauk pertengkaran suami istri. Sejak saat itu, Ibu lebih sering menghabiskan waktu duduk melamun dekat perapian.
Tanpa disadari, aku sudah berada di rahim Ibu selama empat bulan. Itulah yang pada akhirnya membuat Ibu mengusir lamun. Ibu membuka kembali warungnya. Beberapa bulan kemudian, warung Ibu menjadi ramai, bahkan beberapa pelanggan rela mengantri demi menelan masakan Ibu. Aku mendengar kisah ini dari Mbok Darmi penjual jamu langganan Ibu.
Banyak warung makan gulung tikar karena kalah saing dengan warung Ibu. Bisa jadi karena lidah mereka lebih cocok dengan masakan Ibu, atau karena rupa Ibu yang ayu didukung dengan status jandanya.
Pernah suatu kali ada seorang wanita dengan menggendong anaknya, mendatangi Ibu. Wanita itu mengacung-acungnya telunjuknya ke muka Ibu, mengatainya janda murahan. Tapi pembelaan Ibu tepat, Ibu tak bisa melarang mata dan rasa dari setiap pengunjung warungnya. Kemudian wanita itu berbalik meninggalkan Ibu dengan ocehan yang tak lagi terdengar hingga saat ini.
"Apa kabar Bapak, Bu?" aku menanyakannya suatu hari.
"Mengapa kau tanyakan itu?"
"Hanya ingin jumpa. Tak sengaja aku melihat wajah Bapak di salah satu lipatan dompet Ibu."