Gerakan ini lahir dari rahim modernisme, tetapi pada akhirnya, menjadi ‘anak nakal’ yang mengkritik nalar modern yang membelenggu kebebasan manusia. Rasionalitas dan teknologi mengekang kemampuan tanpa batas manusia, termasuk menelusuri kemisteriusan alam.
Eksplorasi yang luar biasa terhadap kekuatan alam menjadikan Romantisisme gerakan yang banyak melahirkan karya-karya sastra, filsafat, dan seni rupa yang mengekspos keluarbiasaan alam, meskipun tidak dalam wacana kerusakan ekologis sebagai akibat peningkatan aktivitas ekspansionis dan eksploitasi dalam ranah industri.
Sayangnya, para penulis Romantik memang tidak tertarik untuk terlibat dalam persoalan lingkungan akibat polusi industrial, kumuhnya pemukiman di wilayah urban, mulai berkurangnya lahan pertanian.
Alih-alih, mereka memilih menggunakan transendentalisme untuk membandingkannya dengan pola pikir positivistik-mekanistik dan materialistik yang sebenarnya membelenggu kemampuan berpikir manusia. Meskipun demikian, karya-karya mereka diposisikan sebagai pintu masuk untuk membincang hubungan manusia dengan alam atau lingkungan di dalam karya sastra.
Penyair William Wordswoth, misalnya, sangat tertarik mengeksplorasi hubungan alam non-manusia dengan pikiran manusia alih-alih dia berada di alam dan untuk alam. Ia jarang mendeskripsikan alam secara detil, alih-alih memilih merefleksikan pengalamannya atau pengalaman orang lain tentang alam.
Lebih dari itu, apa yang Wordsworth maknai secara mendalam bukanlah alam sebagaimana yang dilindungi oleh kaum envionmentalis kontemporer. Alam Romantik tidak pernah secara serius terancam, dan dalam keadaan normal bisa jadi miskin terkait keragaman biologis; alih-alih, ia dicintai karena keluasan, keindahan, dan ketahanannya.
Dengan memfokuskan kepada pemandangan adiluhung, utamanya alam pegunungan, Romantisisme Wordsworthian bisa jadi mengalihkan alam dari tempat-tempat yang lebih penting dan secara ekologis berada dalam tekanan yang luar biasa tetapi kurang digambarkan, seperti rawa (Garrard 2004: 43).
Hal yang berbeda dituliskan oleh John Clare, penyair Romantik yang berasal dari kelas pekerja. Dia mengekpsos sensilibitas ekologis terkait tanaman, binatang, dan kehidupan manusia-manusia lokal dalam konteks ekonomi pedesaan yang berada dalam proses penghancuran oleh pembatasan, hilangnya tanah publik.
Jonathan Bate, seorang ekokritijus, menegaskan bahwa puisi-puisi Clare menawarkan sudut pandang bahwa yang puitik atau sastrawi bisa dipahami memberikan pengalaman “pengganti” dan “penyegar” terhadap makna-makna alam yang hilang dalam kesadaran manusia modern yang teralienasi dari jiwanya.
Melalui citra puitik kemanunggalan dengan jagat bisa dirasakan secara langsung, ketimbang harus larut dalam nostalgia (Clark 2011: 21-22).