Dalam perkembangan kontemporer kita juga menikmati banyak karya sastra, film, dan televisi yang mengusung tema-tema kebencanaan, baik berupa tornado, aktivitas vulkanologis, banjir, tsunami, kiamat ataupun tema-tema tentang hewan liar, fauna, samudra, dan yang lain.Â
Semua itu mengindikasikan bahwa terdapat kesadaran kreatif dan kritis untuk menghadirkan persoalan ekologis sebagai basis karya kreatif. Â
Di satu sisi, kita bisa membaca realitas kultural tersebut sebagai pengakuan bahwa kalau tidak hati-hati kemampuan rasionalitas manusia-manusia modern untuk menemukan teknologi dan menaklukkan alam, seliar apapun, akan menghadiahi manusia penghuni planet dengan banyak kemudahan dan kemajuan hidup.Â
Namun, di sisi lain, kecanggihan rasionalitas yang disalahgunakan juga bisa menyebabkan kerusakan atmosfer bumi, banjir, erosi, pencemaran udara, masalah limbah, dan lain-lain. Â Bagaimanapun juga, sastrawan adalah manusia-manusia yang hidup dalam ruang kultural tempat di mana ia berjumpa dan berinteraksi dengan banyak individu dan persoalan sehari-hari.Â
Termasuk di dalamnya persoalan-persoalan lingkungan yang berlangsung dalam masyarakat dunia hari ini. Dalam konteks kehidupan manusia di abad 20 hingga 21 saat ini, bermacam krisis lingkungan kembali mengancam kehidupan sebagai akibat kerakusan manusia, baik melalui keganasan mesin dan teknologi, perang, ataupun pengetahuan-pengetahuan ekspansionis yang merusak tatanan alam.
Itulah mengapa, ekokritisisme (ecocriticism), meskipun kehadirannya secara resmi di era 1990-an telat dibandingkan perspektif teoretis lainnya, menjadi salah satu perspektif yang dewasa ini cukup diperhatikan dalam kajian sastra, film, televisi, musik, dan bidang-bidang lainnya.Â
Dalam catatan Glotfelty (1996: xvii-xviii), pada era 1980-an sebenarnya sudah muncul beberapa peneliti yang secara kolaboratif memunculkan kajian terkait isu lingkungan dan sastra, meskipun belum memunculkan istilah ecocriticism, melainkan kajian sastra lingkungan.Â
Tahun 1985, Frederick O. Waage mengeditori sebuah bunga rampai berjudul Teaching Environmental Literature: Materials, Methods, and Resource yang memasukkan deskripsi perkuliahan dari 19 pakar berbeda serta bertujuan mengembangkan kehadiran yang lebih besar dari concern kesadaran terhadap isu lingkunan dalam ranah kajian sastra.Â
Alicia Nitecki menerbitkan The American Nature Writing Newsletter yang memfokuskan pada penerbitan esai singkat, review buku, catatan perkuliahan, dan informasi kajian tulisan tentang alam dan lingkungan. Perkembangan tersebut pun mendapatkan respons dari beberapa perguruan di AS di mana mereka mulai memasukkan isu-isu kesastraan ke dalam kurikulum kajian lingkungan mereka.Â
Beberapa di antara mereka juga mendirikan program studi baru yang difokuskan kepada budaya dan alam. Beberapa prodi Sastra Inggris mulai menawarkan konsentrasi minor, sastra dan lingkungan. Pada tahun 1990 University of Nevada, Reno, membuat posisi akademis baru, Sastra dan Lingkungan.Â