Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ekokritisisme: Masalah Lingkungan dalam Teks Sastra dan Budaya

23 Januari 2023   05:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   15:34 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elegant ladies walking on a country road near a farmyard, oil on canvas 66.5 x 99.6 cm (Simonis & Buunk Kunsthandel). Sumber: Wikimedia Commons

Dalam konteks itulah, “manusia” dalam eksokritisisme tidak boleh diposisiskan sekedar seabagai subjek pelaku karena mereka tetap terhubungan dengan sistem, wacana, pengetahuan, ideologi, dan kepentingan yang menjadi pijakan eksistensinya dalam kehidupan ini. 

Itulah mengapa kajian ini bersifat unik karena kedekatannya dengan ilmu ekologi, meskipun ia tidak bisa secara langsung memberikan solusi untuk permasalahan ekologis, tetapi, sebagaimana dikatakan Garrard (2004:6), bisa mendefinisikan, mengeksplorasi, dan, bahkan, menyelesaikan permasalahan ekologis dalam makna yang luas. 

Romantic Landscape (József Rippl-Rónai). Sumber: Wikimedia Commons 
Romantic Landscape (József Rippl-Rónai). Sumber: Wikimedia Commons 
Maksudnya, eksokritisisme tidak mungkin memberikan panduan teknis dan praksis untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi dalam kehidupan manusia, namun bisa mengantarkan kepada pemahaman-pemahaman mendalam tentang persoalan alam dan lingkungan serta peran manusia di dalamnya, termasuk dampaknya terhadap kehidupan manusia, masyarakat, dan manusia. 

Teks-teks kultural, termasuk sastra, film, musik, seni pertunjukan, dan yang lain, memiliki kemampuan untuk menghadirkan subjek manusia, masyarakat, dan persoalan lingkungan dalam dunia imajiner yang melampaui wacana umum yang berkembang dalam kehidupan nyata.    

Pengertian-pengertian tersebut menunjukkan adanya tugas ekologis karya sastra yang sudah seharusnya merespons persoalan-persoalan ekologis karena sastra tidak hanya memiliki tanggung jawab tekstual, dalam artian membentuk dirinya sebagai keutuhan—dan tanggung jawab sosial, tetapi juga menjalankan tanggung jawab ekologis. 

Prinsip keterhubungan antara alam dan manusia itu pula yang bisa dieksplorasi menjadi banyak pertanyaan yang berimplikasi pada keragaman kerangka teoretis dan metodologis dalam perkembagan ekokritisisme. Glofetly (1996: xix) mengidentifikasi beberapa pertanyaan yang ikut memunculkan dinamika dan kompleksitas dalam kajian ini. 

Bagaimana alam direpresentasikan dalam karya kultural? Peran apa yang dimainkan latar fisik dalam alur cerita di sebuah karya? Apakah peran yang bisa dimainkan secara konsisten dengan kearifan ekologis? Bagaimana metafor kita tentang tanah mempengaruhi kita memperlakukannya? Bagaimana bisa kita mengkategorikan tulisan tentang alam sebagai genre? 

Terkait, ras, kelas, dan gender, haruskan tempat menjadi kategori kritis baru? Apakah lelaki menulis tentang alam berbeda dengan apa yang dilutis perempuan? Dalam cara apa literasi mempengaruhi hubungan manusia dengan jagat alam? Bagaimana konsep keliaran berubah dari waktu ke waktu? 

Dalam cara apa krisis lingkungan merembes ke dalam sastra kontemporer dan budaya pop? Pandangan tentang alam apa yang menginformasikan laporan pemerintah AS, iklan perusahaan, dokumenter alam di televisi serta bagaimana efek retorik? 

Bagaimana sain terbuka bagi analisis sastra/kultural? Penyuburan-saling lintas seperti apa yang memungkinkan antara kajian sastra dan wacana lingkungan dalam hubungannya dengan disiplin seperti sejarah, filsafat, psikologi, seni dan etika?

Paparan pertanyaan di atas mengindikasikan bahwa ekokritisisme bukan sekedar memosisikan penghadiran gambaran naratif tentang gunung, sungai, danau, rawa, alam perdesaan, lembah, sawah, ataupun pencemaran yang menjadi fenomena global. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun