Mempertemukan Jagat Tekstual dan Isu Lingkungan
Ekokritisisme memang relatif dinamis dalam membangun konsep-konsepnya. Dinamis di sini saya maknai sebagai “adanya keterbukaan” dalam menumbuhkan kerangka teoretis sehingga memungkinkan berkembangnya cara pandang multidisplin yang semakin memperkaya kajian.
Salah satu dampak yang cukup signifikan adalah beragamnya definisi, landasan berpikir, dan konsep-konsep teoretis yang ditawarkan banyak penulis, meskipun memiliki kesamaan dalam mengeksplorasi isu-isu ekologis dalam teks kultural.
Ekokritisisme merupakan kajian multidisplin yang mengeksplorasi hubungan antara sastra atau teks kultural lainnya dan lingkungan fisik di mana pendekatan berpusat-bumi menjadi acuan untuk meneliti karya-karya sastra ataupun karya-karya kultural lain seperti seni pertunjukan, film, tayangan televisi, iklan, musik, dan yang lain (Glofetly 1996: xviii-xix; Marland 2013: 846).
Premis utama yang diusung adalah bahwa budaya manusia terhubung dengan jagat fisik dan terpengaruh olehnya, sehingga apa yang dikaji adalah keterhubungan manusia, budaya, dan alam, khususnya yang dikonstruksi sebagai artifak dalam teks.
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa sebagai bidang kajian, kritik ekologis menjejakkan satu kakinya dalam hamparan jagat narasi dan kaki lainnya di hamparan tanah dengan beragam kompleksitasnya, sedangkan sebagai wacana teoretis ia menegosiasikan keterhubungan antara manusia dan non-manusia.
Definisi-definisi lain yang diberikan para pakar tidak jauh berbeda dengan pendapat Glotfelty tersebut. Kerridge, misalnya, melihat ecocriticism berperan untuk mengevaluasi dan mengkritisi teks dan ide-ide terkait koherensi dan kegunaan mereka sebagai tanggapan terhadap krisis lingkungan (dikutip dalam Garrard, 2004: 4).
Sementara, Gerrard (2004: 5) memosisikan ekokritisisme sebagai kajian tentang hubungan manusia dan non-manusia, sepanjang sejarah budaya manusia dan memerlukan analisis kritis terkait istilah “manusia” itu sendiri. Mengapa demikian? Manusia adalah subjek dan entitas hidup yang selalu bergerak dan berubah secara dinamis dalam kehidupan.
Dinamika tersebut membentuk bermacam varian sistem sosial, ideologi, bahasa, seni, maupun budaya yang bersifat kompleks. Artinya, kehidupan manusia bukanlah realitas independen yang terbebas dari bermacam konteks. Demikian pula ketika mereka berimajinasi dan menulis tentang alam dalam karya fiksi maupun non-fiksi, sebenarnya mereka tidaklah melakukan kerja nir-kepentingan.
Begitupula ketika sebagian mereka memutuskan mengeksploitasi alam dan segala yang ada di dalamnya, manusia bukanlah subjek yang sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya untuk survive. Alih-alih terdapat kepentingan ekonomi maupun politik yang lebih besar. Tidak heran kalau pertambangan mineral di Indonesia banyak ‘dikawal’ oleh para komisaris atau CEO mantan jendral.