Sangat mungkin berkembangnya berbagai-macam krisis lingkungan dan semesta alam disebabkan oleh kegagalan manusia dalam mengembangkan imajinasi terkait permasalahan tersebut. Padahal, dari kearifan lokal hingga pengetahuan barat, alternatif untuk membangun imajinasi sudah disajikan. Sayangnya, banyak manusia yang mengabaikannya.
Bergthaller (dikutip dalam Clark 2015: 18) mengatakan bahwa gagasan terkait “kegagalan membangun imajinasi” sebagai akar krisis ekologis memberikan peluang kepada sastra untuk berkontribusi. Bagaimanapun juga karya sastra merupakan rumah imajinasi manusia yang memiliki peran cukup dominan untuk memahami krisis.
Apa yang sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan dalam ekokritisisme adalah persoalan kehadiran lingkungan dalam jagat-kata dalam kaitannya dengan jagat-nyata.
Menurut Buell (2005: 30-31) mayoritas ekokritikus berusaha memosisikan teks yang mereka rujuk sebagai pembiasaan lingkungan fisik serta bentuk interaksi manusia dengan lingkungan, terlepas dari keunikan representasi tekstual dan mediasi mereka dengan ideologi dan faktor sosiohistorisnya.
Tidak mengherankan kalau muncul kecenderungan yang tampak kuno yang menempatkan lingkungan dalam moda ‘realistis’ representasi serta terlalu asyik mempermasalahan ketepatan faktual representasi lingkungan sehingga seringkali gagal menempatkan sebuah karya dalam konteks historis nyata.
Di satu sisi, terdapat sebagian ekokritikus yang mengabaikan revolusi pemikiran pascastrukturalisme dengan anggapan tidak ada konstruksi lingkungan yang bisa dibaca secara gamblang dan terlalu subjektif karena mengandalkan refleksi-diri peneliti terhadap dinamika kebahasaan yang ada dalam teks. Sementara, sebagian yang lain memilih untuk berada dalam poros anti-mimetik.
Tidak mengherankan ketika muncul gagasan untuk memulihkan realisme, mereka yang berada dalam poros anti-mimetik menganggapnya sebagai pembatasan terhadap tulisan lingkungan sekaligus fokus yang menggelikan dan dalam banyak hal palsu, karena tradisi mimesis mengandalkan kesamaan representasi dengan objek yang direpresentasikan.
Dana Phillips adalah salah satu pemikir ekokritisisme yang secara jeli mempertanyakan apakah kebenaran ekologi terdapat dalam karya sastra.
Phillips (1999: 578) menjabarkan bahwa banyak ekokritikus tidak menyukai perbincangan tentang sifat representasi sebagai perhatian utama teori sastra kontemporer, sehingga muncul anggapan bahwa mereka menjadi bagian dari kelompok neokonservatif. Apa yang membuat mereka kurang bersimpati adalah salah satu dalil pascastrukturalis bahwa alam dikostruksi oleh budaya.
Keterkonstruksian alam mengindikasikan bahwa prinsip kehadiran alam dalam karya yang diposisikan merepresentasikan alam yang sebenarnya sudah tidak mewadahi lagi.
Karena prinsip “konstruksi” menghadirkan kompleksitas representasional yang melebihi atau melampaui realitas alam itu sendiri serta membawa kepentingan-kepentingan partikular yang dimainkan melalui wacana dan permasalahan terkait lingkungan.