"Tumbuhlah kamu menjadi gadis sayang sangat periang, mama memberi namamu Kasih karena kamu adalah kasih mama yang tak bertepi. Semakin kamu besar, paras cantikmu semakin mirip mama. Itulah alasan mama selalu percaya diri untuk memperkenalkanmu sebagai anak kandung mama."
"Ya Ampun Ma, sungguh aku beruntung telah diberi mama sehebat ini. Tidak pernah terbersit perasaan aneh selama aku menjadi anak mama. Terima kasih ya Ma."
Ingin aku teruskan perkataanku, namun aku takut membuatnya tersinggung. Tak elok bila aku sakiti hatinya, menambah luka yang sudah mulai mengering. Namun aku tak punya pilihan lain. Aku tak mau dengan cerita mama yang sudah Panjang lebar disampaikan membuatku menghentikan langkah menempuh hidup Bersama Mas Har.
"Maaf Ma, aku tahu saat ini Mama hanya punya aku dan nenek. Aku dan nenek sangat sayang sama Mama. Aku sangat berterima kasih atas sayang mama dan nenek yang tak pernah habis untuk aku. Tapi aku harus melangkah. Aku akan menikah dengan Mas Har.
Plak...Plak.
"Ya Tuhan Mama. Kenapa menampar Kasih. Apa salah kasih?"
"Tidak ada laki-laki yang benar Kasih. Jangan kau buang perawanmu untuk laki-laki. Atau jangan-jangan kau sudah tak perawan hah?"
"Demi Allah, aku masih perawan. Aku jaga baik-baik seperti yang mama dan nenek ingatkan."
Kulihat nenek menutup telinganya sambil memejamkan matanya. Ada luka yang kembali menganga. Ada tangis yang terpendam.
"Kasih...menikahlah nak. Jangan kau dengarkan ibumu. Nenek percaya kebaikanmu akan mengehentikan perjalanan kelam keluarga ini"
"Tidak, aku bilang tidak. Asal kamu tahu ya Kasih. Omah pada akhirnya bercerita bahwa lebam di seluruh tubuhnya bukan semata karena opah terlalu pemarah, bukan karena opah terlalu arogan sebagai lelaki. Tapi karena omah tak pernah ijinkan opah untuk menikah lagi."