Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Drama

Ducth Vader Gerrit Rudolph

7 Maret 2018   20:52 Diperbarui: 7 Maret 2018   20:59 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber photo : http://leadinglightsautographs.com

Sepasang mataku menangkap gerakan pesawat mainan yang diayun jemari anak kecil itu, melintasi bentangan pemandangan alam sore berwarna oranye bertabur capung-capung yang berterbangan di udara. Bermain di tengah lapangan lengang, berlarian riang mengejar angin sayup-sayup.

"Broer, broer..." Suara anak kecil itu bergema, lalu berhenti dan menengok ke arahku, mengajak turut bermain. "Kafka!"

Tapi, "aku bosan, Tuan Muda Kecil." Dan membalik badan berlalu meninggalkannya di sana, berlari pulang menuju rumah besar artdeco bercat putih di tengah taman luas dilingkung pagar-pagar tinggi menjulang. Tak hirau, barangkali anak kecil itu kecewa dan merajuk nanti, karena tak lanjut bermain bersamanya.

"Kafka!" Tuan Kecil berhenti bermain, "Kembali! Ini perintah!" Rajuknya, karana kecewa tak melanjutkan permainan. Tapi tetap saja nadanya memerintah sebagai tuan kepada babunya, bukan sebagai teman atau sodara lelakinya, broer.

Aku tidak mau!

Tadi itu terlihat Royce Royal Ayah Gerrit Rudolph melintas menuju rumah di antara jalan yang membelah lahan penuh tanjakan dan capung-capung yang berterbangan di sekelilingnya. Ibarat susunan deorama yang dikoleksi Ayah Gerrith Rudolph di ruang kerjanya, dalam bupet-bupet kaca, sewatu memperlihatkan kepada kami, tentang miniatur sebuah kota dengan jalur jalan raya akomodasi umum, di susun menyerupai kota Batavia.

Ada sesuatu yang aku tahu yang kamu tidak tahu.

Tuan Kecil menarik tanganku, tapi aku menghempaskannya, dia melongo, "Kenapa, Broer?"

"Aku bilang, aku bosan!" Sambutku, melotot marah.

Tiba-tiba raut wajah putih Tuan Kecil merengut, seolah tak suka digertak begitu, seperti aku telah melanggar batasan patut. Ia menunduk dan menunjukan raut wajah terluka, tampak sedih. Sengaja ingin membuatku merasa bersalah dalam hal ini. Sebab, Bunda memang menugaskan untuk menyertainya main bersama. Aku tahu itu pura-pura, wajah yang manis seperti Ayah Rudolph, menyembunyikan maksud di balik itu.

Biar kutegaskan, "Bunda butuh aku, Tuan Kecil."

"Baiklah, kita temui, Mama." Tuan Kecil mengiyakan, dan selalu menjadi anak manis dan penurut, untuk hal apapun menyangkut Ayah dan Bundanya.

Sengaja aku lewat belakang rumah, agar Tuan Kecil tidak melihat mobil Ayah Rudolph terparkir di depan halaman depan. "Lewat dapur?" Tanyanya bego.

Iya!

***

Aku membawa Tuan Kecil ke kamar mandi, membantunya membuka pakaian, lalu menyiapkan air hangat untuk dituangkan ke bath tube. "Sebentar lagi Ayah Rudolph pulang dan mencari kita."

"Ini masih sangat siang. Ayah Rudolph biasa pulang larut malan, Kafka."

"Tutup saja mulutmu, ikuti saja apa yang aku perintahkan!"

"Apa itu untuk kebaikanku, Broer?"

Aku mengangguk, dan jam dinding berdentang 4 kali, mengingatkan akan sesuatu. Bunda harus segera diantarkan obat. Kesehatan Bunda memang rikih, selalu butuh perawatan intensif. Begitu Mama bilang, bila sedang merawat Bunda, istri Ayah Gerrit Rudolph majikannya.

Tuan Kecil mau dibujuk tanpa rewel masuk ke bath tube, memainkan sabun beraroma Lavender yang semerbak. Ia menyukainya untuk membuat gelembung di tangannya yang mungil. "Kau mau menggosok punggungku, Kafka?"

Sesaat aku menengok ke daun pintu kamar mandi yang terbuka, tak mengindahkan apa yang dia bicarakan. Saat ini pikiranku terpusat pada kewajiban mengurus, "Bunda."

"HoiKafka..." Tuan Kecil menyeru pelan, dan aku menoleh padanya, "Kenapa?" Tanya dari mulut kecilnya yang merah, merasakan ketidak-hadiran pikiranku di sini.

Bukan karena mengabaikannya, tapi aku harus bergegas, lekas berdiri dari posisi berlutut dekat bath tube melangkah menuju pintu keluar, "Nanti aku kembali dan memandikanmu."

"Kita akan bermandi bersama?"

"Iya!" Sahutku menenangkannya atau ia akan terus bertanya hal tidak penting.

Secepat kemampuan yang aku bisa, entah cukup waktu atau tidak? Langkah kaki kecil ini sesegera mungkin mencapai ruang tangah demi mengambil pinggan obat dan poci-cangkir untuk dibawa kepada Bunda, di ruangannya.

Ini sudah lewat beberapa menit, Tuan Muda Kecil benar-benar membuang waktuku. Untung saja, begitu tiba di kamar Bunda, beliau baru saja bangun. Menyongsong kehadiranku muncul dari balik pintu ruangan kamar pribadinya yang megah.

"Kafka." Bunda menyeru.

Dan mengapa ia tidak bertanya ke mana Mama? Aku melangkah mendekat sehati-hati betul, menatap sopan wajah Bunda bermata hijau tua dengan rambut merah yang terjurai di atas bantal-bantal putih, berebah di atas ranjang. Lalu bangkit bersandar pada sandaran ranjang. Bayangannya tampak anggun di balik kelambu.

"Oh Kafka kecilku, kemari sayang." Bunda menyambutku dan menerima pinggan yang kuserahkan padanya. "Kemarilah bersama Bunda." Pembawaannya selalu meneduhkan dan bersahabat, di balik wajah cantiknya yang pucat. Walau demikian lemah lembut penuh welah asih, tak mengurungkan rasa sungkan saat berhadapan dengannya.

Aku duduk di sisi ranjang, menatapnya meminum obat. Sebetulnya ingin mengatakan bahwa, Ayah Rudolph sudah pulang. Tapi urung dan hanya berkata, "Tuan Kecil sedang mandi, Bunda."

Bunda menjauhkan cangkir kecil dari jemarinya, menatapku dan menaruh cangkir itu di atas meja dekat ranjang berkelambu. "Kemarilah sayang." Seraya membentangkan rangkulan dan memlukku ke dadanya yang empuk, sesuatu yang mengingatkan aku akan sesuatu. "Temani Tuan Kecil, jangan khawatirkan Bunda."

Baiklah...

Bunda memberiku satu kecupan di ubun-ubun, seraya melepas rangkulannya dan aku beranjak menjauh, pamit melangkah menutup pintu dari luar kamar bunda, hendak kembali pada Tuan Muda Kecil di kamar mandi.

Ketika menuruni tangga berkelok di tengah rumah, sesaat aku menengok ke lorong ruangan arah kamar di sebelah sana. "Mama..." Satu pikiran mengusik.

"Kafka." Samar-samar aku mendengar suara Tuan Muda Kecil dari kamar Mandi menyeru. Rumah ini besar, tapi terasa sangat kosong. Meski ada beberapa pembantu di dalam dan luar rumah, hanya Mama yang diizinkan tinggal menetap, selainnya pulang sehabis Ashar.

Langkahku berlanjut menelusuri rumah besar dan megah. Ada suara gramophone terdengar sayup-sayup melintasi ruang demi ruang. Lukisan-lukisan abad Renaisance tiruan yang diimpor dari Eropa, serta perabot rumah kayu berukir-ukir, menambah suasana terasa sangat hening di ruangan bergaya victoria, persis seperti kertas-kertas bergambar yang pernah diceritakan Bunda saat aku bertanya katalog-katalog furniture di meja kamarnya. Semua perabot dan penataanya menuruti selera Bunda yang aristokrat.

Aku benci suara gramophone musik klasik, alunan nada-nada itu seperti kidung pemanggil arwah, suara orkestra tanpa lirik lagu. Vader Rudolph menyukainya. Begitu kata Mama bila sedang bercerita sambil menyisir rambutku saat pergi sekolah bersama Tuan Kecil. Memang siapa yang bertanya, itu terdengar mengerikan, Mama.

Seolah mengendap-ngendap, satu dua tiga langkah, terasa berat. Alunan musik hantu Eropa itu terdengar menjijikan, seperti lengguh suara-suara terdengar betina meradang, sampai membuat jengah pendengaran.

Ini bukan ilusi, gambaran itu nampak jelas, "Ayah Rudolph sudah pulang." Sepertinya sudah dari tadi. Tentu saja aku mengingat setiap detail sosok lelaki itu, melihat lebih banyak dari yang pernah disaksikan Tuan Muda Kecil putra semata wayangnya dan selalu mengaku, "aku sangat tahu Ayahku, Kafka."

Tapi aku lebih bisa melihatnya dari berbagai sisi, sialan!

Selain seorang dokter dan baik hati, lelaki terhormat dari kalangan Bangsawan Holland serta baik budi terhadap inlander, atau pribumi.

"Aku tidak ingin mendengar itu, Tuan Muda Kecilku." Kenyataanya, aku dan Mama tak lebih babu kalian, perabot di antara rumah megah ini.

***

Apa yang kau tahu yang aku tidak tahu, Kafka? Sepertinya suara Tuan Kecil bermain di benakku. Dan aku jawab, aku tahu segala hal tentang Ayah Rudolph. Bayangan itu nyata, di depan mata ini, menyaksikan lelaki itu berdiri di tepi ranjang. Otot-otot punggung lelaki itu terbuka, lebih ke bawah hingga ke bagian paling pribadi.

Apa lagi?

Persisnya aku melihat ia dari berbagai sisi, sehingga dari sisi paling sedikitpun, aku bisa memastikan bahwa itu adalah dia! Tepat saat mengendap ke balik sisi celah jendela ruang kerjanya di lantai dua, dan ini kesekian kali aku menyaksikan tubuh lelaki telanjang itu berdiri, dengan sepasang kaki yang ia pegangi membelit pinggangnya, kaki yang kukenal itu, "Mama?!"

Demi menyaksikan semua, tanganku membekap mulut, menahan suara. Lalu berlari sebisa mungkin tanpa suara menuruni tangga menuju dapur ke kamar mandi, menemui Tuan Muda Kecil.

Aku terjatuh berlutut di sisi ambang pintu kamar Mandi, mengurut kening, pening! UGHH! Mungkin sengaja menjatuhkan diri, sekedar bagaimana menunjukan perasaan lewat prilaku.

"Kafka!" Jerit Tuan Kecil, beranjak telanjang dari bath tube. Air menciprat ke sekeliling dari tubuhnya, lalu ia berlutut mendekat ke sisiku, seraya menjulurkan tangan menyentuh keningku. Mungkin memeriksa, apakah aku demam. Bisa saja kan? "Kamu kenapa?"

Mata ini terbuka, menyongsong padangannya dekat dan sangat terlalu dekat terhadapku, itu menurutku. Sambil menenglengkan kepalanya miring mensejajarkan pandangan menatap ke kedalaman mataku, bertanya sekali lagi, "kamu tidak apa-apa?"

Seketika aku mendorong tubuhnya hingga ia terjangkang ke lantai kamar mandi.

"Hoi!" Tuan Muda kesal dan menatapku heran.

"Jangan sentuh aku!" Seperti Ayah Rudolph menyentuh Mama. Tiba-tiba tersadar perlakuanku sudah sangat buruk kepada Tuan Kecil. "Tuan muda, kau tidak apa-apa?"

"Kau yang kenapa?!" Rutuknya bangkit hendak mengambil handuk. Masih kesal dengan kejadian tadi. "Sepertinya aku bersalah sekali karena mengkhawatirkanmu, bodoh!"

"Maafkan aku." Sahutku, "bisa kita kembali ke bath dan menyelesaikan mandi? Kita akan kena tegur kalau tidak membersihkan diri setelah bermain-main di luar, Tuan Muda Kecil."

"Kau berjanji tidak akan bersikap aneh?"

Sambil melepaskan pakaian dan menggantungnya di kanstop, aku mengangguk. Seraya naik ke ke dalam bath tube turut berendam bersamanya, aku ngomong, "dan kau boleh sambil main bebek-bebekan karet tanpa aku ceritakan ke teman-teman di sekolah."

Senyum Tuan Kecil seperti mencemooh, tapi setidaknya suasana hatinya balik lagi ke semula dan mau ditemani berendam dalam bath tube membersihkan kotoran yang melekat di tubuh kami. Namun lintasan bayangan itu enggan beranjak dalam benakku.

"Hey Kafka!" Tegur Tuan Muda, bermain air mencipratkan ke mukaku. "Tahu tidak, bukankah aku sangat mirip Bunda?"

"Kau putranya, rambutmu merah dan bermata hijau. Mengapa kau harus mirip orang lain?"

"Anak laki-laki selalu bangga bila mirip ayahnya."

"Hidung dan rahangmu mirip Vader Rudolph, Tuan Kecil." Hiburku, dan memang begitu bukan tanpa alasan.

"Tapi kata teman-teman sekolah, kamu mirip Ayah Rudolph, Kafka."

Aku benci kau mengatakannya, tamu Ayah Rudolph pada suatu pesta di rumah ini pernah salah menilaiku, "Hi Rudolph, anakmu tampan seperti kau kecil dulu."

Tidak! Aku tidak mau!

Di kampung, aku punya ayah yang sudah almarhum, sakitnya biasa saja. Setelah Ayah Rudolph hadir ke tempat kami menawarkan diri untuk merawatnya, ayah malah meninggal. Tapi keluarga Mama menganggapnya sosok malaikat, karena setelah itu mau memboyong Mama ke rumah ini serta berjanji akan merawatku dan Mama. Orang-orang memandangnya istimewa, oleh perangainya yang lemah-lembut penuh kharisma.

Tidak denganku! Aku punya penilaian berbeda. Dan apakah aku telah sangat keterlaluan, bila memiliki pandangan sendiri di luar pandangan orang-orang umum. Sempat aku menyatakan kegelisahan ini terhadap Tuan Muda Kecil, "Apakah aku anak yang berbeda?"

"Kau memang sedikit aneh, Kafka. Tapi, aku menyayangimu. Saranku, berhentilah membaca buku-buku yang tidak diperuntukan buat usia kita di ruang perpustakaan milik Ayah."

Sesungguhnya, kau lah yang aneh Tuan Muda Kecil, kau bilang menyayangiku, tapi entah apa yang aku rasakan? Bagiku kau orang lain, lebih dari itu kenyataannya kau adalah seorang majikan.

"Tuan, apakah kau menyayangi sepeda dan mainan-mainan di bupet dekat jendela kamarmu?" Karena aku tahu ia tidak akan mengijinkan siapapun menyentuh barang-barang pribadi miliknya tanpa seijinnya.

"Aku ijinkan kau memainkannya, Kafka. Tapi harus bilang dulu padaku." Jawabnya. Itu adalah jawaban, betapa aku senilai barang-barang di balik bufet kaca itu. Dia tak mengijinkan aku bermain dengan anak-anak lain, tak beda aku mainan yang dibelikan oleh ayahnya.

"Mengapa Kafka bertanya hal-hal aneh lagi? Bukannya tadi sudah janji!" Untuk tidak berlaku demikian, maksudnya.

Baiklah.

Lelaki itu pembunuh, aku tidak mempercayainya! Hanya, aku tidak punya alasan untuk membencinya. Lelaki yang selalu ada buatku, datang setiap malam ke tempat tidurku, mengecup ubun-ubun, dan mengucapkan, "selamat malam, Nak." Seperti orang baik saja.

Lelaki yang di suatu peristiwa menghadirkan pemandangan yang tidak layak aku saksikan, berdiri telanjang membelitkan dua kaki Mama ke pinggangnya.

"Aku kedinginan, tuan Muda." Hampir aku terisak mengatakannya, dan Tuan Muda segera beranjak mengambilkan handuk, lalu menyelimutkan ke punggungku.

"Ayo, aku juga sudah selesai. Kata Vader Rudolph tidak baik berandam terlalu lama dalam air, kau akan terkena hipotermia. Kau mungkin hipotermia, Kafka. Lihat tanganmu keriput dan biru."

***

Mama sudah berada di sisi tengah meja makan panjang dengan kebaya putih dan kain jarik cantik dikenakannya sambil mengatur hidangan. Di sisi ujung meja nampak Ayah Rudolph sudah sangat rapih habis mandi, menunggu kami lalu menyapa, "anak-anak."

Mama menyambut kami yang telah berpakaian rapi, Tuan Muda berhambur ke haribaan Ayah Rudolph. Sementara Mama setelah membungkuk membetulkan dasi di kerahku, ia kembali ke rutinitas membawakan makan malam buat Bunda di kamar atas.

Ayah Rudolph bangkit dari kursi membetulkan posisi duduk Tuan Muda Kecil pada tempatnya, lalu melangkah mendekati meja cermin dinding yang mana terdapat gramophone untuk dinyalakannya. Lantunan suara musik eropa dari flat hitam lekas bergema tenang, membuat kau akan terkantuk-kantuk bila disimak secara berkesinambungan.

Tak lama Mama kembali untuk menghabiskan makan malam bersama. Sementara Ayah Rudolph akan meluangkan waktu mendengarkan ocehan Tuan Kecil bercerita mengenai hari yang dilewati kami, ada saat dia menengok ke arahku, sambil tersenyum, bertanya. "Bagaimana harimu, Kafka."

Tapi yang menjawab malah Tuan Kecil, berbicara riang tanpa beban, mewakiliku bercerita tanpa ijin. Menceritakan betapa indah hari-hari yang kulalui seolah berkah yang harus disyukuri. Yang benar saja?!

"Kami berdua selalu bersenang-senang, Ayah."

"Biarkan Kafka bercerita, Tuan Kecilku. Dia punya mulut sendiri tanpa harus kau wakili."

Tuan Kecil menengok ke arahku, seolah penuh rasa bersalah, "apakah aku merebut waktumu berbicara bersama ayah, Kafka." Sebetulnya bukan sedang menunjukan rasa bersalah, tapi raut muka iba. Bahwa aku, patut dibelas-kashihani.

"Tidak! Aku memang tidak punya cerita apapun yang menarik, Tuan Kecil, Ayah...."

Aku lupa menambahkan kata Rudolph di sebutan nama depannya, Ayah Rudolph. Atau memang sengaja!

Mendadak seulas senyumnya yang tadi terkembang di raut wajah Ayah Rudolph redup. Sehingga aku merasa bersalah atas itu. Mama selalu mengingatkan, bahwa Ayah Rudolph adalah pria terhormat yang penting untuk disyukuri kebaikan hatinya. Jika tidak, Mama adalah janda merana tanggungan keluarga di kampung kecil, dan hidupmu tidak lebih baik dari sekarang, Kafka.

Musik tiba di putaran terakhir! Suasana mendadak hening, Ayah Rudolph segera menyadari perlu menyelamatkan keadaan sebelum kentara benar ada masalah di situasinya. "Kita akan mengadakan piknik ke pantai bersama, anak-anak!"

"Bunda juga ikut?" Rajuk Tuan Kecil.

"Akan Ayah Rudolph usahakan, sayang." Kata lelaki yang senantiasa rapi mengenakan jas putih, tersenyum dan menyuruh kami menghabiskan makan malam, lalu kembali ke ruang belajar dan Ayah Rudolph akan menunggu kami di ruang keluarga membacakan buku dongeng. Keluarga ini senantiasa tampak menunjukan kualitas hubungan yang penuh kasih sayang, seolah dunia ini baik-baik saja. Berbeda kami seorang inlander yang tak punya ritual semacam itu di desa kecil nun jauh di sana. Mereka lebih tampak tak bahagia, di depan begitu ramah dan hormat kepada kami, di belakang mencerca seolah kami adalah mahluk mengerikan yang pernah mereka lihat.

Di meja yang panjang penuh hidangan lezat, berikut pelayanan istimewa Mama kepada kami semua, pernah aku saksikan hal sebaliknya. Aku seperti dihadapkan pada dua dunia yang berbeda, sebetulnya siapa aku di tempat yang terasa begitu asing ini? Walau sudah sekian lama tinggal bersama keluarga Ayah Rudolph, aku masih menatap mereka dengan kerisauan yang mengganggu ketenangan hati ini.

"Kafka?!" Suara Ayah Rudolph menegur, tak sadar sedari tadi aku memperhatikan wajah lelaki itu dengan tatapan kosong. Aku tersentak dan menunduk. Tapi ia tersenyum, sembari menusuk menu pauk dengan garpu di tangannya, dan menaruhnya ke piringku, "habiskan sayang!"

Lelaki itu bersikap seperti tidak merasa terganggu, lalu beranjak dari kursi dengan tenang, melangkah memutar kembali piringan gramophne yang baru saja aku syukuri berhenti sedari tadi, tapi Ayah Rudolph menyalakan mesin kidung neraka itu lagi.

Mama menatapku tajam, ia baru saja selesai menuangkan minuman untuk Tuan Muda Kecil. Dari tatapannya menilai bahwa perilaku aku barusan tadi sungguh membuatnya tidak berkenan, biasanya Mama bilang, "memalukan!"

Entah untuk alasan apa, aku mengutif sebilah pisau diselipkan diam-diam ke balik kaus kaki. Mungkin naluri saja, bisa jadi pisau itu berguna. Walau kami selaku anak-anak selalu diperingati untuk menjauhi benda-benda tajam, atau melompat-lompat sebarangan, "karana itu berbahaya. Ayah Rudolph tahu, karena Ayah seorang dokter, anak-anak."

Mama bungkam tak menegurku semalaman itu, tepatnya menghukumku. Ia lebih lama di kamar Tuan Muda Kecil dan meninabobokannya.

Aku terbaring di balik selimut sendirian di kamar dengan sebilah pisau di tangan yang kuhunus mengkilat di sambut cahaya bulan dari bayangan jendela sisi kamar. Besok Mama akan tahu kehilangan sesuatu di dapur, karena sudah terbiasa dan hafal bilangan barang-barang di rumah ini termasuk ke hal paling kecil, sendok dan garpu atau barang bodoh lain yang dianggap penting olehnya.

Di mobil sewaktu sopir mengantar ke sekolah, Tuan Muda Kecil mengetahui hal yang kusembunyikan, "kau melanggar aturan Ayah Rudolph, Kafka!"

Aku menaruh telunjuk ke bibirku, isyarat. Sstt.. diam! Ini akan berguna. "Kau yakin?" Sahutnya. Iya!

Benar saja di sekolah, anak-anak yang tak menyukai kehadiranku, pada jam istirahat datang menghampiri kami di halaman belakang. Anak-anak De Hollander yang menganggapku aneh dan mengatai, "orang inlander berkulit terang!" Hinaan sebaliknya bahwa aku juga berbeda di lingkungan kampungku, mereka bilang, "kau bukan bagian orang kami, Kafka. Kau anak Penjajah!"

Aku seperti tertolak dari dua dunia yang menolakku menjadi bagian dari salah satunya, blasteran menjijikan. Pasti bukan berasal dari sesuatu yang terhormat, anak haram yang dilahirkan seorang perempuan "nyai-nyai"! Entah apa maksudnya. Namun rentetan peristiwa bersama keluarga Tuan Muda Kecil, kemudian aku menyadari. "Kau menjijikan, Kafka!"

Mereka bersiap menyergap dan akan mengeroyokku seperti lalu-lalu. Tuan Muda Menghadang, tapi bukan menjadi lebih baik, itu akan membahayakannya dan aku tak tahu harus mempertanggung-jawabkannya seperti apa nanti di hadapan Bunda, bila terjadi sesuatu terhadap putranya.

Tanganku mengalihkan tubuh Tuan Muda Kecil, demi menghadapi mereka. Mengeluarkan pisau terhunus, dan mereka sama sekali tidak takut. Tapi, bukan tujuanku melukai mereka, melainkan melukai diri sendiri. "Kau benci dengan wajahku?" Wajah belasteran, mereka bilang. "Aku pun membencinya!"

Kugores permukaan dagu wajahku, sendainya bisa, dikuliti sekalian! Melepas bayangan wajah Vader Rudolph selamanya, sambil mengatakan hal mengerikan, bahwa; kau boleh menyimpannya setelah aku mengulitinya untuk kalian bawa pulang. Pisau menggurat, darah terpuncrat!

Benar saja, anak-anak Hollander itu menjerit ngeri sambil berlarian meninggalkan kami. "Mereka tidak akan mengadu ke Kepala Sekolah, Tuan Muda Kecil." Jangan khawatir, maksudnya.

Anak kecil itu waham, aku jelasakan karena mereka tidak ingin terlihat malu dikalahkan oleh seorang inlander. "Masalahnya bagaimana kau menjelaskan hal ini kepada Ayah Rudolph, dan Mama pasti Marah. Oh tidak, Bunda bahkan tidak boleh mengetahui hal ini, Kafka."

Begitu tiba di rumah, Mama sangat Murka mengetahui aku berulah di sekolah. Sebetulnya Mama bisa saja menyembunyikan masalah ini karena pihak Sekolah tidak tahu, dan Tuan Muda Kecil selalu mau diajak kerjasama untuk menyembunyikan sesuatu, tepatnya berbohong, demi kebaikanku.

"Tapi luka wajah tak mungkin tidak diketahui Ayah Rudolph, Kafka?!" Bentak Mama. Ia benci harus menghubungi Ayah Rudolph dan mengganggu tugasnya di Rumah Sakit, "untuk sekedar pulang menengok dan merawatmu, Kafka!"

Mama lebih mengedepankan kepentingan keluarga mereka dibandingkan kondisiku? "Ini bukan sekali ini kau bersikap tidak masuk akal, Kafka!"

Dan Ayah Rudolph lekas tiba bergegas masuk ke ruanganku, yang sedang duduk di pembaringan, ia mengeluarkan peralatannya menjahit luka di bawah dagu.

"Apa akan ada bekasnya, Ayah?" Tanya Tuan Muda Kecil, polos.

"Tidak! Ayah dokter yang hebat, kecuali Kafka akan melakukannya lagi, baru Ayah akan membuatnya sekalian tak perlu punya wajah." Mungkin itu maksudnya gurauan, dan mereka tertawa, barangkali membuat riang suasana, tapi sungguh tidak lucu.

***

Sudah kutegaskan Mama tidak perlu memanggil Ayah Rudolph pulang, tapi tentu saja Ayah Rudolph tidak suka bila ada hal terjadi pada orang rumah dan ia tidak diberi tahu. Tipikal lelaki yang ingin terkesan bertanggungjawab akan segala hal yang menjadi miliknya.

Beberapa hari Mama mendiamkanku setelah kejadian itu, tak suka dengan keadaan ini, "Kamu nakal!" Dan kau kotor, Mama! Dengus batin yang tak pernah diungkapkan.

Mari simak di suatu malam ketika Mama bilang bersama Tuan Muda Kecil menidurkannya, anak kecil itu justru menyelinap ke kamarku.

"Broer, broer..." Ia naik ke atas ranjang dan duduk di atas tubuhku yang terbaring, berbisik... "Kafka." Mataku terbuka. Ia menyerahkan sebuah toples kecil tertutup kain sulam yang diikat bagian atasnya. Ini "Capung."

Petir menggelegar di langit malam, melampaui dengan kilatannya menerangi ruang lewat jendela-jendela. "Aku takut petir, Kafka." Dia bilang, "Aku menyimpan Capung yang kau tangkap tadi sore di lapangan. Buka toplesnya!" Lalu ia mengangakat piyama hingga bagian perut, memperlihatkan pusar, sambil bicara, "aku janji tidak akan ngompol, Kafka."

Perlahan penuh kehati-hatian, jariku menangkap capung dari dalam toples yang ia serahkan, lalu menggigitkannya ke titik pusar Tuan Muda Kecil, ia meringis.

"Baik, sekarang kau boleh tidur di sisiku, Tuan Kecil."

Ia menjatuhkan diri ke sisiku terbaring, menengadah ke langit-langis membuang nafas panjang, lega. Beberapa saat kemudian, nafasnya melambat dan jatuh terpulas. Dalam rancuan tidurnya, bilang; "jangan tinggalkan aku, kamu harus janji, Kafka."

Aku menyibak selimut, tadinya hendak beranjak tangannya menguntif ujung piyamaku. Perlahan kulepas, mesti ada sesuatu bila Tuan Muda malah ingin tidur di ruanganku, memang ke mana Mama?

Langkahku bertelanjang kaki berhambur keluar kamar, membawa toples kecil capung. Ruangan-ruang tengah malam di rumah ini kadang menakutkan, sepertinya aku butuh sahabat kecil dalam toples. Memastikan ruang yang terlarang aku kunjungi.

Seperti yang sudah-sudah, aku akan berhenti di suatu sudut ruang, di baliknya ada seuatu keadaan yang aku telah hafal betul, "mereka di sana."

Perlahan daun pintu disibak, "kau ingin melihat sesuatu sahabat kecil?" Capung itu lepas dari toples, terbang ke dalam ruangan di mana suara musik mengalun menyamarkan suara-suara di dalam sana.

Lalu aku berlari di antara lorong panjang berserta gelegar halilintar di kejauhan langit malam sana, seperti bayangan berkelabat, menuju kamarku.

Tuan Muda Kecil nampak sudah terbangun, begitu aku tiba di dalam. Ia duduk menatap tak suka, merasa ditinggalkan dan menghilangkan capung miliknya dalam toples.

Keesokan hari di meja makan, nyaris Tuan Muda tak sudi menyapaku karena inkar janji, sementara Mama masih tak bicara sepatah katapun.

Tiba-tiba toples kecil terisi capung diletakan begitu saja oleh tangan Ayah Rudolph kehadapan kami, hingga Tuan Muda Kecil melonjak girang, terhibur sementara. "Ayah menemukannya."

Bukan hal itu yang menarik, tapi apakah ada seseorang menyadari situasi ini? Sambil duduk, Ayah Rudolph berujar, "Ayah menemukannya semalam tadi di ruang keja sedang terbang melayang, lalu hinggap menempel di belakang bahu ayah, anak-anak." Sesaat jeda berkata. "Sepertinya tidak ada yang mengikuti aturan agar tidak bermain malam-malam."

"Aku!" Tanpa diduga, Tuan Muda Kecil mengakui hal itu, entah karena tidak paham situasi atau memang dia benar-benar bodoh.

Kami semua menoleh kepadanya, menyimak penuturan bahwa dirinya keluar menyelinap ke kamarku, karena takut sendirian oleh petir. "Seharusnya Mama menemaniku." Rajuknya.

Mama menunjukan simpati terdalam, dan memeluk anak kecil itu, sementara Ayah Rudolph menoleh padaku dengan tatapan tak biasa, "terimakasih sudah menjaga Tuan Kecil Semalam tadi, Kafka."

Tapi aku tahu lelaki itu meyakini sesuatu, yang sama aku yakini. Sama-sama saling berdiri di antara dua dinding kaca, yang mana dari setiap sudutnya kami bisa saling melihat satu sama lain. Begitupun Mama, ketika ia sesaat melayangkan pandang terhadapku, tapi tatapannya lebih sendu, entah apa maksudnya. Barangkali merasa malu.

Malam berikutnya, Mama menemaniku tidur seraya menyatakan penyesalan, "bahwa mungkin Mama telah sangat mengabaikanmu, Kafka." Mama selalu ingin meyakinkan padaku, betapa semua hal yang terjadi padanya adalah bentuk ketidak berdayaan diri. "Dan Mama ingin, kau mengerti, sayang." Suatu sikap yang belakangan waktu aku benci. Dia ingin aku menangis dan mengasihaninya, memendamkan wajahku ke dalam rangkulannya.

Aku meremas tubuh Mamaku, menyusupkan tangan ke belahan kebaya Mama, hingga membuatnya terperanjat dan lekas menghempaskan tubuhku dan menamparku. "Demi Tuhan apa yang kau perbuat, Kafka?!"

Dan mengapa aku begitu lancang dengan menjawab, "Kau sendiri tidak menolak sewaktu ia menyentuhmu, Nyai?!"

Mama bangkit dari ranjang, menjauh. "Hey anak muda, berani sekali kau beraku-kamu terhadap wanita yang melahirkanmu?" Bukan sekedar hal itu Mama merasa disakiti, namun ucapan tabu yang disematkan atas namanya, Nyai-nyai! Mengingatkan kedudukan paling tabu dalam hidupnya, di luar semua kesenangan duniawi yang ia tukar dengan kehormatannya.

Apa, melahirkan? Melahirkan secara tidak terhormat! Rutukku di dalam hati! "Aku ingin berhenti dari sekolah, dan tak pernah ingin seperti cita-cita Mama bahwa aku harus seperti Tuan Kecil kelak, menjadi seperti..." Kalimatku terputus. Sengaja hendak menyakiti Mama, menyatakan tak ingin seperti, Ayah Rudolph...

Belum aku menyebutkan satu nama itu, tangan Mama melayang, membuatku tututp mata.

Ayah Rudolph menahan tangan Mama dari memukulku ke sekian kali, lelaki itu muncul tiba-tiba dan menghentikan semuanya.

Mama menangis dalam pelukan Ayah Rudolph, dan mengingatkan aku agar minta maaf terhadap Mama. Tentu saja aku menuruti.

"Besok kau harus menemui Bunda untuk diberikan nasihat bagaimana supaya dapat bersikap lebih patut." Lalu terdengarlah kalimat yang sangat merendahkan martabatku, "Kau dididik dengan pendidikan terbaik seperti Tuan Kecilku, Kafka. Bukan seperti anak-anak buas dari lingkunganmu berasal. Tahukah perbuatanmu itu membuat Mamamu sangat bersedih?"

Ujaran tajam yang sengaja dilontarkan demi membuatku merasa tidak berdaya, mengiyakan semuanya, bahwa akulah dalam hal ini yang paling bersalah.

Ayah Rudolph berlutut mensejajarkan tubuh denganku. Dia bilang, "aku mencintaimu." Lalu merengkuhku dalam pelukannya, "Ayah Rudolph berharap kau menjadi anak yang baik, bukan untukku tapi untukmu." Dan ia membuat semua ini seolah untuk kepentinganku, kebaikanku. Tentu saja aku percaya, karena entah apa yang harus aku percayai selain dari pada apa yang mereka katakan.

Malam panjang dimulai, sementara Tuan Kecil terlelap damai dalam tidurnya tak tahu apapun selain dunia yang diciptakan sempurna untuknya, dan aku tak enak tidur bergulingan di atas ranjang berselimut mantal halus, tak sanggup memejamkan mata.

Sayup-sayup masih terdengar suara Ayah Rudolph menenangkan segukan tangis Mama, berkata, "Semua akan baik-baik saja. Kafka hanya perlu didik menjadi anak lelaki yang lebih memahami adab, Mama." Iya, Vader Rudolph selalu memanggil mamaku, Mama! Berbeda dari budaya Kolonial para dutch yang memaggil wanita seperti mamaku, dengan sebutan Nyai.

Besok tentu aku sudah tiba di ruangan Bunda yang duduk meminum tea di sebuah kursi bersandaran jangkung membentuk kanopi, menyongsong kedatangaku seperti kelinci di tengah padang sabana yang ketakutan karena merasa sendirian.

Tuan Kecil yang bermain piano menemani diminta berhenti, meninggalkan kami. Seharusnya ini adalah kualitas waktu Bunda bersama putranya tersebut. Sekali lagi, mereka sengaja memilihkan waktu tidak tepat demi membuatku terkesan menjadi seorang pengganggu. Demi apa? Supaya semakin membuatku tampak bersalah, aku itu seorang pengganggu.

Dia membuka pembicaraan dengan merentangkan tangan, menyapa, "Sayangku, Kafka." Lalu bertanya tentang permainan pino putranya, apakah aku mendengar sedikit dan bagaimana permainannya. Aku jawab sangat baik, bahwa Tuan Muda sangat berbakat. Seperti aku peduli saja. Itu mengapa aku tidak bisa beramin piano, karena menolak ikut pelatihan kursus dari guru private yang didatangkan mereka.

Bunda mendudukan aku di haribaannya, menaruh dagunya di ubun-ubun, memberi petuah bahwa seorang anak lelaki harus petuh terhadap Mamanya. Tidak menjadi lelaki penentang dan sukar diarahkan ke sikap yang lebih baik. Lalu ia mengakhiri pembicaraan dengan bertanya hal-hal kecil, seperti; "Kau akan bermain Kriket bersama Tuan Kecil, Kafka?"

"Ya."

"Baiklah, selamat bersenang-senang anakku." Sambil lalu, aku mendengar ia menganjurkan, bila tak suka piano, mungkin kau bisa mencoba biola, Kafka."

Tidak terimakasih, aku menangguk sambil menutup pintu. Bunda menyukai musik, dan aku tidak bisa memenuhi seleranya akan seni yang memang bagus, mungkin karena tidak tertarik.

***

Piknik di akhir pekan, Ayah Rudolph benar-benar mengajak kami semua ke pantai. Para pelayan rumah sengaja tiba di awal pagi, menyiapkan segala keperluan untuk dibawa ke dalam bagasi Royce Royal yang terparkir di depan halaman Rumah.

Ayah Rudolph membuat tantangan bila kami bersikap baik, maka akan diberi hadiah atau apapun keinginan kami akan dikabulkan. Bagiamana bila aku menantang balik, seperti apa sikapnya bila aku berprilaku sebaliknya?

Bunda pun turut serta, kesehatannya bisa dikondisikan untuk situasi tertentu, lagi pula Ayah Rudolph Seorang dokter, dalam tas kulitnya yang mengkilat, selalu ada keperluan medis buat Bunda, sementara Mama mengurus kami anak-anak.

Di sana ada bengalau yang akan kami tempati, pemandangannya indah menghadap lautan dan debur ombak ke pasir putih. Pintu Royce Royal terbuka begitu kami tiba di sana, Tuan Kecil berhambur ke luar berlari menyampak ke sisi pantai, lalu menolah menyeru kepadaku, "Kafka! Itu lautnya!"

Ayah Rudolph tertawa, senang sudah membuat anak-anak menjadi gembira. Beberapa saat kemudian, kami telah bermain di air bersama dalam pengawasan Ayah Rudolph dalam balutan celana renang yang pendek. Walau baru pertama ke pantai, tak perlu takut tenggalan atau takut masuk ke air. Tiap akhir pekan, Ayah Rudolph mengajak kami ke zwembad, atau kolam pemandian Manggarau di Weltevreden, melatih aku dan Tuan Kecil berenang di kolam.

Ada satu peristiwa yang membekaskan kebingungan di antara kami, sewatu telanjang bersama Vader Rudolph tanpa sehelai benang pun ketika berada di dalam zwembad, dan yang membuat kami harus terbiasa dengan hal itu.

"Mengapa milikku dan milik Vader tidak sama dengan milik Kafka, Vader?" Mulut Tuan Kecil polos bertanya, sambil mengacungkan kulit ujung penis di selangkangannya yang putih. Padahal aku bisa saja menjawabnya, karena aku berkhintan. Tapi anak itu tidak bertanya kepadaku.

"Seseorang memotong milik Kafka, sayang." Jawab Vader, seolah mengasihaniku. Namun segera meralat agar anaknya tidak sedih, "tapi itu tidak apa-apa, karena inlander biasa melakukan hal itu dalam budaya mereka, sayang."

"Inlander?" Tuan Kecil bingung, "Kafka bukan seorang dutch?" Bukan seorang Belanda.

Ini kali Vader tersengat, dan merasa tidak nyaman dengan mulut bawel putranya. "Kafka seorang dutch, saat ini! Dulu ya." Inlander, maksudnya. Vader tetap sabar memberi keterangan.

Mengapa Vader tidak mengatakan hal sebetulnya, bahwa kami berbeda, dan aku bukan bagian dari mereka, dan tidak akan pernah.

Kebersamaan kami di pantai siang itu, terasa cepat berlalu, Ayah Rudolph menghentikan permainan, menggendong Tuan Kecil di bahunya yang riang gembira keluar dari gelombang-gelombang air, "cepat anak-anak. Gelombang menjadi besar dan keras sewaktu sore."

"Memangnya kenapa?" Sahutku, nakal.

Ayah Rudolph tak suka dibantah, ia menengok pelan terarah kepadaku di balik punggungnya, menghentikan langkah. "Kau berjanji akan bersikap baik, sayang."

Sepertinya aku tertantang, lalu membalik badan berlari ke gelombang air laut yang berdebur menyambut tubuhku, lalu menariknya terhempas jauh.

"Kafka!" Teriak Ayah Rudolph berseru, sepertinya aku telah membuatnya benar-benar jengkel. Lelaki itu menurunkan Tuan Kecil dari pundaknya, memerintahkan anak itu, "Segera panggil Mama, Kafka berulah!"

"Tapi aku ingin melihat Ayah menangkap Kafka!" Tuan Kecil tergelak bersikeras, mungkin karena menganggap ini menarik. Sementara aku tidak peduli apapun, hanya ingin melebur bersama deburan gelombang air laut di pantai yang luas itu.

"Kafka!" Teriak lelaki itu mengejar lalu menangkap tubuhku yang dengan mudah dijawil tangannya, hingga tubuh mungilku mengayun di sisi pinggang lelaki itu. Secepat kemudian lelaki itu menarikku dari deburan air pantai dan melemparkanku ke pasir.

"Kafka!" Matanya melotot, mata hijau Hollander yang sangat terbiasa merasa paling menguasai. Sebelum lelaki itu bicara padaku, ia menghardik Tuan kecil, "Tinggalkan Ayah bersama Kafka, Tuan Kecil!"

Saat anak kecil itu menunjukan keengganan, pandangan Ayah Rudolph menjadi lebih tajam ke arahnya, "kau sudah berjanji." Untuk bersikap baik, maksudnya. Dan anak kecil itu seperti lilin meleleh, membalik badan pasrah merasa kesal seperti kehilangan mainan.

Kami bertatapan, dan aku beranikan diri mengucapkan sesuatu yang tabu diucapkan, "Apa aku harus mengikuti Tuan Kecil, .... Vader?!"

Vader? Ayah! Kami tahu dan memahami ada bagian tabu yang tak dapat begitu saja diungkapkan secara wajar dan leluasa, Vader, Ayah Rudolph. Sepenggal saja kalimat itu terpisah, artinya aku adalah anaknya, bila menggabungkannya di tetap mendapat panggilan ayah sebagaimana haknya, tanpa lingkungannya tahu siapa aku sebetulnya. Aku tahu ada hakku di antara penggalan frase itu. Dan seperti aku menghendaki hal itu saja, dengan manafikan bahwa aku menolaknya.

Sudah terlalu banyak rahasia dalam kehidupan keluarga Tuan Rudolph ini, semua seolah senyap dan lenyap, dan tiap orang yang bersamanya seolah menempati ruang demi ruang yang saling terpisah, sementara hanya lelaki ini seorang yang memiliki kunci tiap ruang-ruangnya, leluasa sendiri.

Ia berkata, "kau membenciku?" Tatapannya heran, seolah bertanya mengapa prilakuku berubah menjadi begitu memberontak?

Lelaki itu berlutut mendekatiku yang terjengkang di atas pasir, mengulurkan tangan. Saatnya aku menjawab pertanyaan, dan tuan ini memang tak pernah suka menunggu. Aku jawab, "aku mensyukuri kehadiranmu, Ayah Rudolph."

Dan dia bukan orang bodoh yang tak lekas mengenali ketidak-tulusan lewat nada suaraku. Ia berkata, "Baiklah anak muda, jika kau cukup tangguh. Manfaatkan aku dalam hidupmu untuk menjadi lebih tangguh, lalu bunuh aku jika sudah merasa sanggup. Aku akan membantumu menjadi lebih kuat, jangan lakukan sekarang." Lalu ia menyentuh pundakku, "buat dirimu kuat dan lawanlah aku. Sebelum memberontak bodoh, anak muda!"

Lelaki itu mengingatkan betapa kerdilnya aku. Bukan sebatas aku, juga semua orang di sisinya sengaja dibuat lemah untuk menjadi bagian barang-barang yang dikoleksinya, ibarat dunia dalam deorama. Sepertinya aku berhadapan dengan orang sinting.

Kami terdiam, deru suara ombak berdebur kencang menampar pesisir pantai, burung dara memekik di atas lintasan angkasa, senja sudah mulai menguning. Kami hanya saling menatap, dia berujar, "ada saatnya kau mengerti kelak, karena kau adalah lelaki juga, sama sepertiku!"

Ia merengkuh, seraya memanggul tubuhku ke bahu lebarnya. Tak beda Lelaki kuli memanggul karung, berjalan menuju bengalau, dan di sana akan ada orang-orang yang bersiap menyongsong dan menyambutnya bak malaikat paling sempurna.

Saat itu, aku berharap sekali ia membantingku hingga mati terbentur karang atau menenggelamkanku di laut, sehingga ini semua lekas berakhir. Aku khawatir suatu saat nanti terlambat untuk menjadi diriku, karena aku tak lebih dari mahluk-mahluk yang direka untuk menjadi pelengkap kesempurnaan hidup lelaki aneh ini.

***

Selesai

#AbyKahfi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun