Tiba-tiba toples kecil terisi capung diletakan begitu saja oleh tangan Ayah Rudolph kehadapan kami, hingga Tuan Muda Kecil melonjak girang, terhibur sementara. "Ayah menemukannya."
Bukan hal itu yang menarik, tapi apakah ada seseorang menyadari situasi ini? Sambil duduk, Ayah Rudolph berujar, "Ayah menemukannya semalam tadi di ruang keja sedang terbang melayang, lalu hinggap menempel di belakang bahu ayah, anak-anak." Sesaat jeda berkata. "Sepertinya tidak ada yang mengikuti aturan agar tidak bermain malam-malam."
"Aku!" Tanpa diduga, Tuan Muda Kecil mengakui hal itu, entah karena tidak paham situasi atau memang dia benar-benar bodoh.
Kami semua menoleh kepadanya, menyimak penuturan bahwa dirinya keluar menyelinap ke kamarku, karena takut sendirian oleh petir. "Seharusnya Mama menemaniku." Rajuknya.
Mama menunjukan simpati terdalam, dan memeluk anak kecil itu, sementara Ayah Rudolph menoleh padaku dengan tatapan tak biasa, "terimakasih sudah menjaga Tuan Kecil Semalam tadi, Kafka."
Tapi aku tahu lelaki itu meyakini sesuatu, yang sama aku yakini. Sama-sama saling berdiri di antara dua dinding kaca, yang mana dari setiap sudutnya kami bisa saling melihat satu sama lain. Begitupun Mama, ketika ia sesaat melayangkan pandang terhadapku, tapi tatapannya lebih sendu, entah apa maksudnya. Barangkali merasa malu.
Malam berikutnya, Mama menemaniku tidur seraya menyatakan penyesalan, "bahwa mungkin Mama telah sangat mengabaikanmu, Kafka." Mama selalu ingin meyakinkan padaku, betapa semua hal yang terjadi padanya adalah bentuk ketidak berdayaan diri. "Dan Mama ingin, kau mengerti, sayang." Suatu sikap yang belakangan waktu aku benci. Dia ingin aku menangis dan mengasihaninya, memendamkan wajahku ke dalam rangkulannya.
Aku meremas tubuh Mamaku, menyusupkan tangan ke belahan kebaya Mama, hingga membuatnya terperanjat dan lekas menghempaskan tubuhku dan menamparku. "Demi Tuhan apa yang kau perbuat, Kafka?!"
Dan mengapa aku begitu lancang dengan menjawab, "Kau sendiri tidak menolak sewaktu ia menyentuhmu, Nyai?!"
Mama bangkit dari ranjang, menjauh. "Hey anak muda, berani sekali kau beraku-kamu terhadap wanita yang melahirkanmu?" Bukan sekedar hal itu Mama merasa disakiti, namun ucapan tabu yang disematkan atas namanya, Nyai-nyai! Mengingatkan kedudukan paling tabu dalam hidupnya, di luar semua kesenangan duniawi yang ia tukar dengan kehormatannya.
Apa, melahirkan? Melahirkan secara tidak terhormat! Rutukku di dalam hati! "Aku ingin berhenti dari sekolah, dan tak pernah ingin seperti cita-cita Mama bahwa aku harus seperti Tuan Kecil kelak, menjadi seperti..." Kalimatku terputus. Sengaja hendak menyakiti Mama, menyatakan tak ingin seperti, Ayah Rudolph...