"HoiKafka..." Tuan Kecil menyeru pelan, dan aku menoleh padanya, "Kenapa?" Tanya dari mulut kecilnya yang merah, merasakan ketidak-hadiran pikiranku di sini.
Bukan karena mengabaikannya, tapi aku harus bergegas, lekas berdiri dari posisi berlutut dekat bath tube melangkah menuju pintu keluar, "Nanti aku kembali dan memandikanmu."
"Kita akan bermandi bersama?"
"Iya!" Sahutku menenangkannya atau ia akan terus bertanya hal tidak penting.
Secepat kemampuan yang aku bisa, entah cukup waktu atau tidak? Langkah kaki kecil ini sesegera mungkin mencapai ruang tangah demi mengambil pinggan obat dan poci-cangkir untuk dibawa kepada Bunda, di ruangannya.
Ini sudah lewat beberapa menit, Tuan Muda Kecil benar-benar membuang waktuku. Untung saja, begitu tiba di kamar Bunda, beliau baru saja bangun. Menyongsong kehadiranku muncul dari balik pintu ruangan kamar pribadinya yang megah.
"Kafka." Bunda menyeru.
Dan mengapa ia tidak bertanya ke mana Mama? Aku melangkah mendekat sehati-hati betul, menatap sopan wajah Bunda bermata hijau tua dengan rambut merah yang terjurai di atas bantal-bantal putih, berebah di atas ranjang. Lalu bangkit bersandar pada sandaran ranjang. Bayangannya tampak anggun di balik kelambu.
"Oh Kafka kecilku, kemari sayang." Bunda menyambutku dan menerima pinggan yang kuserahkan padanya. "Kemarilah bersama Bunda." Pembawaannya selalu meneduhkan dan bersahabat, di balik wajah cantiknya yang pucat. Walau demikian lemah lembut penuh welah asih, tak mengurungkan rasa sungkan saat berhadapan dengannya.
Aku duduk di sisi ranjang, menatapnya meminum obat. Sebetulnya ingin mengatakan bahwa, Ayah Rudolph sudah pulang. Tapi urung dan hanya berkata, "Tuan Kecil sedang mandi, Bunda."
Bunda menjauhkan cangkir kecil dari jemarinya, menatapku dan menaruh cangkir itu di atas meja dekat ranjang berkelambu. "Kemarilah sayang." Seraya membentangkan rangkulan dan memlukku ke dadanya yang empuk, sesuatu yang mengingatkan aku akan sesuatu. "Temani Tuan Kecil, jangan khawatirkan Bunda."