"Tidak! Aku memang tidak punya cerita apapun yang menarik, Tuan Kecil, Ayah...."
Aku lupa menambahkan kata Rudolph di sebutan nama depannya, Ayah Rudolph. Atau memang sengaja!
Mendadak seulas senyumnya yang tadi terkembang di raut wajah Ayah Rudolph redup. Sehingga aku merasa bersalah atas itu. Mama selalu mengingatkan, bahwa Ayah Rudolph adalah pria terhormat yang penting untuk disyukuri kebaikan hatinya. Jika tidak, Mama adalah janda merana tanggungan keluarga di kampung kecil, dan hidupmu tidak lebih baik dari sekarang, Kafka.
Musik tiba di putaran terakhir! Suasana mendadak hening, Ayah Rudolph segera menyadari perlu menyelamatkan keadaan sebelum kentara benar ada masalah di situasinya. "Kita akan mengadakan piknik ke pantai bersama, anak-anak!"
"Bunda juga ikut?" Rajuk Tuan Kecil.
"Akan Ayah Rudolph usahakan, sayang." Kata lelaki yang senantiasa rapi mengenakan jas putih, tersenyum dan menyuruh kami menghabiskan makan malam, lalu kembali ke ruang belajar dan Ayah Rudolph akan menunggu kami di ruang keluarga membacakan buku dongeng. Keluarga ini senantiasa tampak menunjukan kualitas hubungan yang penuh kasih sayang, seolah dunia ini baik-baik saja. Berbeda kami seorang inlander yang tak punya ritual semacam itu di desa kecil nun jauh di sana. Mereka lebih tampak tak bahagia, di depan begitu ramah dan hormat kepada kami, di belakang mencerca seolah kami adalah mahluk mengerikan yang pernah mereka lihat.
Di meja yang panjang penuh hidangan lezat, berikut pelayanan istimewa Mama kepada kami semua, pernah aku saksikan hal sebaliknya. Aku seperti dihadapkan pada dua dunia yang berbeda, sebetulnya siapa aku di tempat yang terasa begitu asing ini? Walau sudah sekian lama tinggal bersama keluarga Ayah Rudolph, aku masih menatap mereka dengan kerisauan yang mengganggu ketenangan hati ini.
"Kafka?!" Suara Ayah Rudolph menegur, tak sadar sedari tadi aku memperhatikan wajah lelaki itu dengan tatapan kosong. Aku tersentak dan menunduk. Tapi ia tersenyum, sembari menusuk menu pauk dengan garpu di tangannya, dan menaruhnya ke piringku, "habiskan sayang!"
Lelaki itu bersikap seperti tidak merasa terganggu, lalu beranjak dari kursi dengan tenang, melangkah memutar kembali piringan gramophne yang baru saja aku syukuri berhenti sedari tadi, tapi Ayah Rudolph menyalakan mesin kidung neraka itu lagi.
Mama menatapku tajam, ia baru saja selesai menuangkan minuman untuk Tuan Muda Kecil. Dari tatapannya menilai bahwa perilaku aku barusan tadi sungguh membuatnya tidak berkenan, biasanya Mama bilang, "memalukan!"
Entah untuk alasan apa, aku mengutif sebilah pisau diselipkan diam-diam ke balik kaus kaki. Mungkin naluri saja, bisa jadi pisau itu berguna. Walau kami selaku anak-anak selalu diperingati untuk menjauhi benda-benda tajam, atau melompat-lompat sebarangan, "karana itu berbahaya. Ayah Rudolph tahu, karena Ayah seorang dokter, anak-anak."