Sepasang mataku menangkap gerakan pesawat mainan yang diayun jemari anak kecil itu, melintasi bentangan pemandangan alam sore berwarna oranye bertabur capung-capung yang berterbangan di udara. Bermain di tengah lapangan lengang, berlarian riang mengejar angin sayup-sayup.
"Broer, broer..." Suara anak kecil itu bergema, lalu berhenti dan menengok ke arahku, mengajak turut bermain. "Kafka!"
Tapi, "aku bosan, Tuan Muda Kecil." Dan membalik badan berlalu meninggalkannya di sana, berlari pulang menuju rumah besar artdeco bercat putih di tengah taman luas dilingkung pagar-pagar tinggi menjulang. Tak hirau, barangkali anak kecil itu kecewa dan merajuk nanti, karena tak lanjut bermain bersamanya.
"Kafka!" Tuan Kecil berhenti bermain, "Kembali! Ini perintah!" Rajuknya, karana kecewa tak melanjutkan permainan. Tapi tetap saja nadanya memerintah sebagai tuan kepada babunya, bukan sebagai teman atau sodara lelakinya, broer.
Aku tidak mau!
Tadi itu terlihat Royce Royal Ayah Gerrit Rudolph melintas menuju rumah di antara jalan yang membelah lahan penuh tanjakan dan capung-capung yang berterbangan di sekelilingnya. Ibarat susunan deorama yang dikoleksi Ayah Gerrith Rudolph di ruang kerjanya, dalam bupet-bupet kaca, sewatu memperlihatkan kepada kami, tentang miniatur sebuah kota dengan jalur jalan raya akomodasi umum, di susun menyerupai kota Batavia.
Ada sesuatu yang aku tahu yang kamu tidak tahu.
Tuan Kecil menarik tanganku, tapi aku menghempaskannya, dia melongo, "Kenapa, Broer?"
"Aku bilang, aku bosan!" Sambutku, melotot marah.
Tiba-tiba raut wajah putih Tuan Kecil merengut, seolah tak suka digertak begitu, seperti aku telah melanggar batasan patut. Ia menunduk dan menunjukan raut wajah terluka, tampak sedih. Sengaja ingin membuatku merasa bersalah dalam hal ini. Sebab, Bunda memang menugaskan untuk menyertainya main bersama. Aku tahu itu pura-pura, wajah yang manis seperti Ayah Rudolph, menyembunyikan maksud di balik itu.
Biar kutegaskan, "Bunda butuh aku, Tuan Kecil."