Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Drama

Ducth Vader Gerrit Rudolph

7 Maret 2018   20:52 Diperbarui: 7 Maret 2018   20:59 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber photo : http://leadinglightsautographs.com

Mama bungkam tak menegurku semalaman itu, tepatnya menghukumku. Ia lebih lama di kamar Tuan Muda Kecil dan meninabobokannya.

Aku terbaring di balik selimut sendirian di kamar dengan sebilah pisau di tangan yang kuhunus mengkilat di sambut cahaya bulan dari bayangan jendela sisi kamar. Besok Mama akan tahu kehilangan sesuatu di dapur, karena sudah terbiasa dan hafal bilangan barang-barang di rumah ini termasuk ke hal paling kecil, sendok dan garpu atau barang bodoh lain yang dianggap penting olehnya.

Di mobil sewaktu sopir mengantar ke sekolah, Tuan Muda Kecil mengetahui hal yang kusembunyikan, "kau melanggar aturan Ayah Rudolph, Kafka!"

Aku menaruh telunjuk ke bibirku, isyarat. Sstt.. diam! Ini akan berguna. "Kau yakin?" Sahutnya. Iya!

Benar saja di sekolah, anak-anak yang tak menyukai kehadiranku, pada jam istirahat datang menghampiri kami di halaman belakang. Anak-anak De Hollander yang menganggapku aneh dan mengatai, "orang inlander berkulit terang!" Hinaan sebaliknya bahwa aku juga berbeda di lingkungan kampungku, mereka bilang, "kau bukan bagian orang kami, Kafka. Kau anak Penjajah!"

Aku seperti tertolak dari dua dunia yang menolakku menjadi bagian dari salah satunya, blasteran menjijikan. Pasti bukan berasal dari sesuatu yang terhormat, anak haram yang dilahirkan seorang perempuan "nyai-nyai"! Entah apa maksudnya. Namun rentetan peristiwa bersama keluarga Tuan Muda Kecil, kemudian aku menyadari. "Kau menjijikan, Kafka!"

Mereka bersiap menyergap dan akan mengeroyokku seperti lalu-lalu. Tuan Muda Menghadang, tapi bukan menjadi lebih baik, itu akan membahayakannya dan aku tak tahu harus mempertanggung-jawabkannya seperti apa nanti di hadapan Bunda, bila terjadi sesuatu terhadap putranya.

Tanganku mengalihkan tubuh Tuan Muda Kecil, demi menghadapi mereka. Mengeluarkan pisau terhunus, dan mereka sama sekali tidak takut. Tapi, bukan tujuanku melukai mereka, melainkan melukai diri sendiri. "Kau benci dengan wajahku?" Wajah belasteran, mereka bilang. "Aku pun membencinya!"

Kugores permukaan dagu wajahku, sendainya bisa, dikuliti sekalian! Melepas bayangan wajah Vader Rudolph selamanya, sambil mengatakan hal mengerikan, bahwa; kau boleh menyimpannya setelah aku mengulitinya untuk kalian bawa pulang. Pisau menggurat, darah terpuncrat!

Benar saja, anak-anak Hollander itu menjerit ngeri sambil berlarian meninggalkan kami. "Mereka tidak akan mengadu ke Kepala Sekolah, Tuan Muda Kecil." Jangan khawatir, maksudnya.

Anak kecil itu waham, aku jelasakan karena mereka tidak ingin terlihat malu dikalahkan oleh seorang inlander. "Masalahnya bagaimana kau menjelaskan hal ini kepada Ayah Rudolph, dan Mama pasti Marah. Oh tidak, Bunda bahkan tidak boleh mengetahui hal ini, Kafka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun