“If this world was made by a triune God, relationships of love are what life is really all about.” (Tim Keller).
Bila cinta-kasih dan moralitas adalah salah satu hal terpenting (disamping nilai-nilai dan tujuan hidup) bagi manusia untuk menjalani kehidupannya yang berarti di dunia ini. Maka adalah suatu keharusan bagi kita untuk meneliti konsep dasar paling ultimat yang bisa menjadi landasan kokoh atas moralitas human super niceness seperti yang telah ditunjukkan oleh Yesus.
.
Tuhan? Tuhan Macam Apa?
Sekarang mari kita lihat beberapa konsep dasar ultimat yang kita bisa harapkan menjadi landasan yang logis dan kokoh dari moralitas human super niceness seperti Yesus.
Pertama. Apabila TUHAN TIDAK ADA atau Dia hanyalah suatu kekuatan gaya impersonal hukum alam (impersonal force) belaka, maka kita tidak akan bisa memiliki dasar bahwa ada sumber kebenaran dan moralitas dari alam yang dengannya kita bisa menilai baik dan jahat. Sebab alam semesta ataupun gaya-gaya impersonal yang bekerja di alam semesta ini, tidaklah memberikan landasan bagi seseorang untuk menilai tentang baik dan jahat. Hanya pribadi (personal) yang bisa memberikan landasan atas baik dan jahat.
Dalam dunia tanpa Tuhan, kasih ataupun moralitas semata-mata hanyalah sebab-akibat yang rumit yang mempengaruhi cairan kimia dan syaraf di dalam otak serta tidak memiliki alasan mutlak apapun mengapa kasih dan moralitas seperti itu harus dilakukan – selain untuk bertahan hidup dan bereproduksi dari dirinya sendiri ataupun kelompoknya.
Di dalam situasi ini, kasih dan moralitas hanya akan menjadi masalah selera dari masing-masing orang ataupun kelompok (lihat pendapat dari Julian Baggini dan Paul Kurtz – di tulisan bagian kedua). Oleh sebab itu, kita hanya akan bisa menilai ada baik dan jahat, ada salah dan benar di dalam dunia natural ini, apabila ada standard ‘super natural’ yang dengannya kita menilai apa yang nature tidak bisa berikan.
Bahkan penerapan moralitas dan kasih super niceness dari Yesus yang ‘lebay’ melampaui kepentingan individu dan kelompok seperti itu, kemungkinan besar malah akan menghambat ‘keagungan’ dari proses evolusi dalam menghasilkan sosok species mahadewa di masa depan (lihat pendapat Nietzsche dan Hitler).
Proses evolusi yang baik seharusnya mengeliminasi yang lemah dan yang tidak berguna – sebab mereka hanyalah beban bagi evolusi yang agung – dalam upayanya menghasilkan suatu species paling hebat untuk terus bertahan hidup dan terus bereproduksi di masa yang akan datang. Tetapi itu bukanlah dunia super niceness seperti yang kita bicarakan disini. Itu dunia yang mengerikan. Oleh karenanya, di dalam dunia tanpa Tuhan, kita tidaklah bisa mendapatkan suatu landasan yang kokoh dimana moralitas dapat bertumbuh dengan baik dalam dunia seperti itu.
Pendapat yang lain. Bila Tuhan itu ada, tetapi Dia adalah TUHAN YANG UNIPERSONAL (Unitarian), itu berarti ada waktu dimana Tuhan tidak memiliki kasih interpersonal, yaitu kasih untuk pribadi lain di luar diriNya sendiri, yakni sebelum ada segala ciptaan. Dia bisa menjadi Tuhan yang Maha dahsyat dengan kekuatanNya yang mengerikan itu, tetapi dapat dipastikan Dia bukanlah Maha kasih. Yaitu kasih ontologis yang diperlukan sebagai landasan moralitas bagi human super niceness seperti Yesus. Sebab bila Allah hanyalah kekuatan dahsyat tanpa kasih intrinsik, maka ini persis seperti yang dituliskan oleh J.K. Rowling perkataan The Dark Lord Voldemort:
“There is no good and evil. There is only power …”
Sebab kasih hanya bisa ada apabila paling tidak ada dua hubungan pribadi di dalamnya. Karena bila hanya ada DiriNya sendiri sebelum ada segala sesuatu – maka kasihNya itu hanya kepada diriNya sendiri – itu narsistik, itu egoisme, itu bukan kasih. Bila Kasih yang ber-relasi ada setelah ciptaan ada, maka kasih dan relasi antar pribadi – dalam keadaan ini – bukanlah sesuatu yang abadi dan mutlak, sebab ia pernah TIDAK ADA di dalam DiriNya sebelum waktu ada dan belum tentu terus ada sampai selama-lamanya.