Firza juga tak kalah bersemangat. Setelah salim ia langsung berjalan tergesa-gesa. Ia mau segera tiba di sekolah supaya bisa langsung jualan sebelum bel masuk berbunyi.Â
Hanya Fatih yang terlihat biasa-biasa saja. Aisyah kembali menduga putra sulungnya itu sebenarnya sudah paham semua ini hanya skenarionya saja. Karena sudah kelas empat, bisa jadi dia sudah mengerti keadaan keuangan bundanya, meski Aisyah selalu menutupinya.Â
Setelah ketiga bocah itu hilang dari pandangan, Aisyah tak kuasa lagi membendung air mata yang sejak tadi ia tahan. Bulir-bulir bening itu akhirnya luruh, merembes berkejaran membasahi pipinya.Â
Rasa haru dan sedih campur aduk menyesaki rongga dada.Â
Ia terharu melihat ketiga darah dagingnya itu berangkat sekolah seraya menenteng dagangan. Namun sekaligus sedih karena ia telah membohongi mereka dengan skenario yang terpaksa ia buat.Â
Aisyah juga sedih memikirkan andai dagangan itu nantinya tidak laku. Pasti ketiga bocah lugu itu sedih, keceriaan mereka seketika sirna. Uang yang diharapkan untuk membayar kontrakan dan menyambung hidup pun tak diperoleh.Â
*****Â
Setibanya di sekolah, tanpa ragu Farah langsung mempromosikan dagangannya. Jam masuk masih lima belas menit lagi, tapi sebagian besar murid sudah datang.Â
"Ayo sini, aku jualan cilok enak, nih. Ayo pada beli dong!" Promosi Farah dengan suaranya yang lengking. Â
Tak lama, teman-temannya segera mengitari.Â
"Dijual berapa segini, Farah?" seorang anak laki-laki mengambil sebungkus cilok dari keranjang.Â