Ia segera tersadar bahwa sudah dua minggu ini membohongi anak-anak. Sudah dua minggu pula ia memperalat mereka untuk menjadi pencari nafkah keluarga. Sesuatu yang sebenarnya sangat dilarang mendiang suaminya.Â
Tiba-tiba Aisyah merasa bersalah. Merasa tak amanah. Gagal meneruskan prinsip-prinsip Almarhum dalam membesarkan anak. Ia merasa menjadi seorang Ibu yang sangat lemah, yang hidup dari keringat anak-anaknya. Dengan cara berbohong pula.Â
Aisyah bebalik, lalu tersenyum lembut.Â
"Permainan sudah selesai ... Besok kalian tak perlu berjualan lagi. Besok juga akan Bunda umumkan pemenang lomba. Dan Insha Allah akan Bunda kasih tau apa hadiahnya."Â
Dada Aisyah gemuruh. Pelupuk matanya memberat karena menahan cairan bening yang telah menggenang sejak tadi. Segera ia peluk ketiga malaikat kecilnya itu supaya mereka tak melihatnya meneteskan air mata.Â
*****Â
Selepas tahajut, Aisyah larut dalam doa berurai air mata. Ia pasrahkan semua pada Sang Khalik.Â
Ia putuskan tak akan lagi membebani anak-anak berjualan. Ia sudahi kebohongan.Â
Ia tak tahu akan bagaimana mencari nafkah selepas ini.Â
Ia bingung akan memberi hadiah istimewa apa untuk anak-anak besok sebagaimana yang telah ia janjikan. Ia tak punya apa-apa.Â
Aisyah benar-benar pasrah pada kehendak Sang Maha Pengatur.