Pagi-pagi sekali Rita bangun. Ia mendahului Tomas yang masih terbuai akan mimpi indahnya. Rita harus menyiapkan sarapan untuk dirinya, Tomas, dan Ari. Rencananya hari ini ia akan membuat dadar telur seperti hari-hari biasa.
Rita berjalan dengan langkah gontai ke arah dapur. Ia segera menyalakan lampu dapur agar tempat itu menyala terang.
Alangkah terkejutnya Rita saat mendapati kondisi dapur yang telah bersih. Semua piring kotor sisa makan malam kemarin sudah dicuci bersih. Barang-barang diletakkan dengan rapi. Meja, kursi, dan lantai semua bersih.
Alis kanan Rita naik. Ia merasa heran. Ada apa gerangan di sini?
Tiba-tiba dari arah ruang tamu, Rita mendengar ada suara-suara. Rita pun bergegas menuju ruang tamu. Ia masih penasaran dengan apa yang terjadi.
Di dalam ruang tamu terlihat Ari sedang menyapu membersihkan lantai. Ia menggeser beberapa sofa agar debu yang ada di bawahnya dapat dibersihkan. Ari terlihat sangat bersemangat membersihkan rumah. Sampai-sampai ia tak sadar akan kehadiran Rita.
Rita kembali terkejut. Ia memandangi Ari yang dengan rajin mengelap meja. Setan apa yang merasuki anak ini? Entah ia terkena hembusan angin mana? Mengapa ia bangun pagi-pagi lalu membersihkan rumah seperti ini? Sangat di luar kebiasaan.
Meski penuh kecurigaan, namun Rita sedikitnya mensyukuri hal ini. Terlihat ada perubahaan dalam diri Ari. Semoga ini benar-benar perubahan yang positif.
Rita pun kembali memasak di dapur.
Pagi itu Rita dan Ari bekerja mengerjakan tugas mereka masing-masing. Rita memasak di dapur. Sedangkan Ari membersihkan seisi rumah.
Di dapur, Rita memasak rolade sosis. Ia urung membuat dadar telur seperti yang tadi ia rencanakan. Melihat Ari bersemangat membersihkan rumah, Rita pun ikut semangat. Ia ingin menyiapkan sarapan terbaik untuk hari ini.
Suasana hati Rita yang cukup bahagia membuat hasil masakannya pun baik. Ia menyajikan rolade tersebut di atas meja makan. Bersamaan dengan itu pula, Ari datang ke ruang makan.
"Oh Ari, makanlah! Sarapan dulu."
Ari lekas duduk lalu mulai mengambil nasi serta lauk. Rita pun juga ikut duduk berhadapan dengan keponakannya itu. Ia menunggu Ari mengambil makanan.
"Terima kasih ya, pagi ini kau sudah membersihkan rumah." ucap Rita.
Ari hanya tersenyum kecil. Ia belum mengeluarkan sepatah katapun. Ari lanjut menyantap sarapannya.
"Ari, aku ingin minta maaf karena aku terlalu keras padamu selama ini.." Rita ikut menyendok nasi serta lauk secukupnya untuk dirinya. "Ingin rasanya aku menghabiskan banyak waktu denganmu seperti ini. Mungkin kita bisa memulainya dari awal kembali?"
Ari melirik Rita sesaat. Mereka saling pandang. Ari yang malu langsung menundukkan kepalanya. Ia tersenyum kecil. "Oke."
Meski hanya dijawab hanya dengan sepatah kata namun hal itu sudah membuat Rita senang. Ini suatu kemajuan. Ari tersenyum padanya. Entah mengapa ia bisa berubah seperti ini, Rita tak peduli. Ia hanya mampu bersyukur.
"Makanlah yang banyak." kata Rita sambil memberikan sepotong rolade ke piring Ari. "Oh ya Ari, hari ini rencananya-"
Belum habis Rita berbicara tiba-tiba Tomas muncul.
"Wah! Ternyata sarapan sudah mulai! Bagaimana kalian-" Tomas yang baru bergabung bersama Rita dan Ari di meja makan langsung melirik keduanya. Sepertinya ada yang ganjil dengan tingkah mereka. Seperti pemandangan yang tak lazim. "Kalian sudah baikan?"
Rita hanya tersenyum melihat kelakuan suaminya, begitu pula dengan Ari.
"Hei! Kalian pasti merahasiakan sesuatu dariku! Apa itu??" Tomas bercanda memaksa Rita untuk menjawab.
Mereka terhanyut dalam suasana sarapan di ruang tamu yang sangat hangat. Tomas tak henti-hentinya melempar lelucon yang sebenarnya tak lucu. Rita dan Ari sampai harus tertawa masam mendengar lawakannya yang garing. Semua benar-benar berbeda hari itu. Sampai-sampai Rita lupa menyampaikan sesuatu yang penting kepada Ari.
---
Sesuai dengan rencana mereka, pagi hari Ari dan Melani mendatangi Rumah Sakit Daerah Artapuri. Mereka melanjutkan pencarian keberadaan ayah Melani. Semoga saja usaha mereka kali ini membuahkan hasil.
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong utama rumah sakit. Ari memperhatikan sekelilingnya. Ia melihat beberapa pasien berkursi roda didorong oleh para suster. Sedangkan Melani berjalan dengan fokus. Ia mengeratkan jaket Yandi di tubuhnya. Langkahnya cepat menuju meja resepsionis.
Ari dan Melani mendatangi seorang petugas resepsionis wanita berkulit hitam dan berbadan besar yang langsung menyapa mereka.
"Selamat pagi bapak, ibu.. Ada yang bisa saya bantu?" tanya suster resepsionis yang memiliki badge nama Diana di dada kanannya.
"Iya pagi, saya ingin mencari pasien lama yang pernah dirawat di rumah sakit ini." kata Melani.
Si suster Diana melirik Ari. Ari mengangguk mengiyakan permintaan Melani.
"Maaf, maksud anda bagaimana ya?"
"Saya mencari pasien yang bernama Tan Soe Ping yang kemungkinan dirawat tahun 1998 di sini." terang Melani sekali lagi.
Lagi-lagi Suster Diana menoleh Ari. Ari semakin mengangguk. Suster itu pun memasang wajah bingung.
"Maaf nyonya, saya takut saya tidak dapat membantu anda."
"Tolonglah sus. Ia adalah papa saya. Kami kehilangan kontak 21 tahun yang lalu. Saya harus mencari keberadaannya."
"Maaf, ini adalah kode etik rumah sakit. Kami tidak dapat memberikan data pasien kepada orang asing." kata Suster Diana.
Ari mengambil alih pembicaraan. "Tolong lah, sus. Ia jauh-jauh dari Semarang untuk mencari ayahnya yang hilang. Pasti ada yang bisa kau lakukan."
"Maaf. Ini sudah peraturan kami." kata Suster Diana tetap menolak dengan tegas dan sopan.
Ari dan Melani saling toleh. Ari mengangguk. Melani pun balas mengangguk tanda mengerti isyarat Ari.
Melani merogoh tas merahnya. Dari dalamnya ia mengeluarkan 5 lembar uang seratus ribuan. Ia meletakkan uang tersebut di atas meja resepsionis. Suster Diana melirik uang Melani di atas meja.
"Maaf, saya tidak bisa membantu anda." suara Suster Diana terdengar yang mulai goyah.
Melani mengambil 3 lembar uang seratus ribuan lagi dari dalam tasnya lalu meletakkannya berjajar di atas meja. Terlihat mata suster Diana mulai melirik-lirik uang tersebut.
"Mm... Saya tidak tahu bagaimana caranya-"
Belum selesai Suster Diana berkata, Melani menambah 5 lembar lagi.
"Mungkin agak sulit-"
Kata-kata Suster Diana kembali terpotong saat Melani menambah 4 lembar lagi.
"Terlalu sedikit." kata Suster Diana.
Melani kembali mengeluarkan 6 lembar uang seratus ribuan dari dalam tas. Ia meletakkan uang-uang tersebut di atas meja resepsionis. Fokus mata Suster Diana kini telah berada pada uang Melani berwarna merah yang terjejer di atas meja.
Suster Diana melirik ke kanan dan kiri sebelum akhirnya mengemas uang-uang itu lalu menyimpannya di dalam saku.
"Kalian berdua, ikut aku." bisik Suster Diana.
Sesuai dari instruksinya, Ari dan Melani membuntuti Suster Diana keluar ruangan. Mereka memilih untuk bicara di luar ruangan agar orang lain tak mendengar.
"Jadi begini. Berkas yang kalian minta mungkin tertumpuk di ruang arsip. Sebab belum semua data terinput dalam sistem kami. Apalagi itu data lama, tahun 1998. Aku akan usahakan mencari datanya- siapa namanya tadi?" Suster Diana bertanya.
"Tan Soe Ping." jawab Melani.
"Ya. Dia. Tapi aku butuh waktu. Dua sampai tiga hari. Kembalilah dua hari lagi kemari."
Melani langsung mengangguk senang. "Baik. Terima kasih banyak atas bantuan anda!!!"
Melani menyalami Suster Diana dengan penuh antusias. Namun Suster Diana terlihat tak nyaman tangannya dipegang oleh Melani. Setelah dilepaskan, Suster Diana segera menyeka kedua tangannya di balik punggung.
---
"Sudah kubilang kan? Semua orang suka uang." kata Melani yang duduk di atas permadani rumput di atas bukit sebelah selatan Kota Artapuri.
"Kau tahu saja tipikal orang di kota ini. Mereka memang relijius, tapi kalau masalah uang..." kata Ari sambil menirukan ekspresi Suster Diana saat ia mengambil uang suap dari Melani.
"Hahaha..." Melani tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Angin bertiup sepoi-sepoi mempermainkan rambut Melani yang panjang. Ia beberapa kali harus merapikan kembali rambutnya yang acak-acakan. Di sebelahnya Ari hanya tersenyum melihat kelakuan Melani.
"Kau sering kemari?" tanya Melani pada Ari.
"Lumayan. Ini tempat favorit keduaku setelah bar milik Yandi." jawab Ari.
"Kau punya selera yang bagus. Di sini sangat sejuk dan tenang..." ucap Melani sembari menghirup udara sore hari yang sangat menyegarkan.
"Kau tahu mengapa aku menyukai tempat ini?" tanya Ari.
Melani menggelengkan kepalanya.
"Karena dari sini aku bisa melihat perbatasan kota Artapuri dengan sangat jelas." cerita Ari. "Seperti yang pernah kuceritakan padamu sebelumnya, aku sangat ingin keluar dari tempat ini."
Pandangan Melani tertuju pada Ari.
"Kau ingin pergi kemana?"
"Terserah. Yang penting menjauh dari kota ini dan segala orang-orangnya yang memuakkan."
"Hidup di luar sana tidak mudah. Percaya padaku, setiap kota punya masalahnya masing-masing." kata Melani.
"Tapi masalah di sini sangat rumit. Aku tidak menyukai orang-orangnya yang terlalu konservatif. Lagipula ini hanya kota kecil. Aku ingin mengembangkan bakatku di bidang musik, dan semua itu bisa kudapat di kota-kota besar."
"Kau benar. Bakat musikmu itu memang perlu diasah. Kalau kau ingin pergi untuk mencari hal baru untuk kau pelajari maka itu bagus. Tapi kalau kau ingin pergi untuk menghindari masalahmu di tempat lama, percayalah padaku masalahmu itu akan kembali mengikutimu."
Ari memandangi Melani. Ia meresapi perkataannya. Kata-kata Melani sungguh dalam.
"Dengan kata lain, kau harus menyelesaikan masalahmu dulu sebelum kau pergi." sambung Melani.
Ari membaringkan tubuhnya di atas rumput. Melani melirik Ari. Ia tersenyum lalu turut berbaring seperti yang dilakukan Ari.
"Mungkin kau benar. Aku harus menyelesaikan semuanya sebelum pergi dari sini." Ari memandangi awan putih yang bergerak perlahan di langit biru. "Lalu bagaimana dengan dirimu? Setelah ketemu dengan ayahmu nanti apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mengajaknya tinggal di rumahku." jawab Melani.
"Itu artinya kau akan meninggalkan kota ini?" tanya Ari.
"Tentu."
"Apakah kita bisa bertemu lagi?" tanya Ari dengan halus.
Melani berpikir sejenak. "Aku tak tahu. Kalau Tuhan menakdirkan kita bertemu lagi, kita pasti akan bertemu."
Jawaban Melani seolah menggantung. Ia tak menolak namun tak juga mengiyakan. Melani lebih senang jika hidupnya mengalir bak air. Ia tak ingin mengaturnya terlalu erat. Meski tak puas, namun Ari tetap tersenyum.
Mereka berdua terus menatap langit di angkasa yang cerah. Memandangi birunya langit seperti terasa berenang di antaranya. Sungguh nyaman dan damai. Ditambah tiupan angin yang semakin membuat hati mereka melayang-layang.
Ari sungguh menikmati momen ini. Ia tak ingin waktu berlalu. Ia ingin terus bersama Melani seperti ini.
---
Langit biru telah berubah menjadi hitam. Malam pun menyapa. Selepas mengantar Melani kembali ke penginapan, Ari pun pulang ke rumah. Ia menyebrangi zebra cross perempatan tak jauh dari rumahnya.
Semakin hari Ari semakin dekat dengan Melani. Ia tak mempedulikan lagi Melani adalah keturunan Tiong Hoa yang notabene dimusuhi oleh warga Artapuri. Ia tak lagi bersembunyi di balik jaket milik Yandi.Â
Ia tak lagi peduli orang-orang mau berkata apa soal kedekatannya dengan Melani. Yang Ari pikirkan, ia nyaman jalan dengan Melani jadi untuk apa ia pusing memikirkan apa kata orang.
Ari berjalan dengan santai menuju rumah. Sampai ia tiba di depan halaman rumah, ia melihat orang-orang berpakaian serba hitam berdatangan. Mereka masuk ke dalam rumah Rita satu per satu. Di depan pintu terlihat Rita dan Tomas yang juga berpakaian hitam sedang menerima tamu.
Hal itu membuat Ari menjadi penasaran. Ia berjalan mendekat. Ari mendengar suara lantunan doa yang mengalun cukup keras. Wajah Ari mulai terlihat tak nyaman.
Rita dan Tomas menyadari Ari telah berada di depan pintu. Mereka segera menyambut Ari. Rita terlihat ragu.
"Ari, kau sudah pulang?" tanya Rita.
"Apa-apaan ini?!" Ari balik bertanya. Ia memandangi orang-orang duduk di lantai ruang tamu sambil membaca surat yasin.
"Maafkan aku, aku tak sempat memberi tahumu. Hari ini adalah hari peringatan 3 tahun kepergian ayah dan ibumu. Kami mengadakan doa bersama warga." terang Rita.
Ari melirik foto Linda dan Herman berpigura terletak di atas meja. Ari semakin panik. Seketika pandangannya menjadi kabur. Ia tak dapat melihat dengan jelas. Tubuhnya mulai linglung.
"Ari, kau baik-baik saja?" tanya Rita.
"Hentikan. Hentikan semua ini!!"
Tiba-tiba Ari meluapkan emosinya. Ia masuk ke dalam ruang tamu yang sudah penuh sesak dipadati para tamu. Mereka nampak bingung dengan sikap Ari yang terlihat aneh.
"Pulang kalian semua!! Pergi!!!!"
Ari mengusir para tamu. Mereka semakin bingung dengan sikap Ari. Ia terlihat sangat tidak stabil. Jiwanya seperti terguncang.
Melihat itu, Rita segera berusaha menenangkan Ari. "Ari, tenanglah. Mereka ingin mendoakan orang tuamu."
"Pergi! Tinggalkan tempat ini sekarang juga!!!" Ari membanting pigura foto kedua orang tuanya hingga pecah di atas lantai.
Semua orang mulai keluar satu per satu dari ruangan. Rita dan Tomas terus berusaha menenangkan Ari yang emosi. Rita berusaha memeluk Ari, namun Ari mendorong tubuh Rita menjauh.
"Ari, tolong hentikan... Ini semua untuk ayah dan ibumu." pinta Rita.
"Tidak..." Ari menggelengkan kepala. "Aku tidak mau semua ini! Aku tidak mau!!!!!"
"Tolong..." Rita memegang tangan Ari.
Seketika Ari langsung menghempaskan pegangan tangan Rita. "Aku tahu ini untuk dirimu sendiri. Semua ini tidak akan membuatmu bisa diterima oleh orang-orang Artapuri!" Ari pun berlari menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamarnya.
Rita menarik nafas panjang. Ia bersandar di bahu Tomas. Semua ini salahnya. Seharusnya ia mengatakan tentang ini pada Ari sebelumnya.
Tapi demi Tuhan, Rita berani bersumpah. Ia mengadakan tahlilan ini hanya untuk Linda dan Herman. Sama sekali tak terbesit dalam benaknya perkataan yang diucapkan Ari tadi. Ia tak ingin mengambil keuntungan dari acara ini. Ia tak berharap orang Artapuri akan menyukainya karena telah membuat tahlilan untuk Linda dan Herman. Sungguh.
---
Ari terbaring di atas kasur. Matanya memandang hampa ke arah langit-langit kamar. Mimik wajahnya datar. Ari terlihat tengah memikirkan sesuatu.
Ia masih terbayang-bayang kejadian tadi. Saat dirinya mengusir tamu undangan acara tahlilan ayah dan ibunya. Setelah ini orang-orang pasti akan membuat gosip tak sedap tentang hal ini.
Namun bukan itu yang Ari khawatirkan. Masalahnya adalah ia masih seperti tak ingin orang lain mengungkit-ungkit tentang kematian orang tuanya. Karena semakin digali, perasaan Ari semakin hancur. Ia masih belum merelakan kepergian mereka.
Ya. Ari masih belum bisa membuka diri soal hal itu kepada semua orang. Seolah kematian orang tuanya adalah isu yang sentimentil bagi Ari. Meski kejadian itu sudah 3 tahun yang lalu, namun tetap saja Ari sangat selektif jika ingin membicarakan hal ini. Di dunia ini, Ari hanya mau terbuka kepada Yandi, dan yang terbaru adalah Melani.
Entah sampai kapan Ari akan berkubang dalam perasaan tertutupnya ini. Ari tak tahu. Apakah selama ia akan berusaha menghindar dari kenyataan ini? Ari tak bisa menjawabnya.
Sebutir air mata menetes dari pelupuk mata Ari. Tiba-tiba rindu itu kembali hadir. Rindu akan belaian kasih sayang orang tua yang selama ini terenggut darinya.
Belum reda tangisnya, tiba-tiba suara pintu kamar terketuk.
"Ari, ini aku." terdengar suara Rita dari balik pintu. "Aku hanya ingin minta maaf. Seharusnya aku memberitahumu tadi pagi."
Ari seperti tak ingin mendengar kata-kata Rita. Ia menutup kedua telinganya dengan bantal. Dirinya masih belum bisa membuka diri.
"Tapi ketahuilah... Aku melakukan ini untuk mendoakan ayah dan ibumu. Hanya itu. Mereka adalah saudaraku. Kau pun juga keponakanku." Terdengar suara Rita menghela nafas. "Ari, kau satu-satunya keponakanku. Aku juga telah menganggapmu sebagai anakku sendiri. Aku dan Tomas sangat menyayangimu lebih dari apapun di dunia ini. Semua hal kami lakukan yang terbaik untukmu."
Ari semakin mendekatkan bantal di telinganya.
"Aku tahu kau masih belum bisa menerima kepergian mereka.. Tak apa Ari. Aku mengerti. Aku hanya ingin kau membagi bebanmu pada kami. Kita akan cari solusinya sama-sama. Asal kau cerita semuanya pada kami. Kami hanya ingin membantumu melewati masa-masa sulit dalam hidupmu..."
Ari tak kunjung merespon Rita.
"Ari, satu hal yang perlu kau tahu. Kami akan selalu ada untukmu. Yang perlu kau lakukan hanyalah membuka hatimu untuk kami. Biarkan kami masuk dan mengobati luka di hatimu."
Mata Ari terpejam. Ia sungguh tak ingin mendengar apapun dari Rita. Ari pikir, ia dapat mempercayai Rita. Namun ternyata ia salah. Rita dengan lancang telah membuka luka lama Ari. Dan Ari tak dapat terima itu. Semakin Rita mengemis maaf dari balik pintu, semakin Ari memejamkan matanya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H