"Alhamdulillah, enak, Yah. Kita bisa ambil nasi dan lauk pauk sendiri. Jadi sepuas kita. Seperti di rumah sendiri.."
"Alhamdulillah kalau begitu." Syukur ayah sekali lagi.
Atfilla menggebu-gebu semangatnya saat bercerita. Ia seperti ingin memuntahkan semua pengalamannya di sekolah barunya pada ayah.
"Bagaimana dengan program TILAWA, Nak?" Tanya ayah lagi. Ayah masih bersemangat untuk mendengar.
"Ini yang paling menantang bagiku, Yah. Di awal-awal beratnya bukan main. Teman-temaku juga merasa begitu, Tapi pada akhirnya kami terbiasa juga. Malah bagi saya pribadi ini adalah waktu favoritku untuk berdoa. Untuk ayah, adik, Oma dan khususnya ibu." Kali ini Atfilla tak dapat menahan air matanya lagi.
Ayah semakin memeluknya erat. Ia tahu anaknya itu rindu pada ibunya yang sudah lama tak pernah ia temui. Sejak ayah dan ibu berpisah, Atfilla hanya bertemu dua kali saja dengan ibu. Ibu seperti tak ingat padanya. Meski begitu, Atfilla tak pernah benci pada ibu. Doa-doanya sering kali ia khususkan buat ibunya.
Malam semakin larut, obrolan kedua anak bapak itu berganti hening. Keduanya tertidur di depan TV yang masih menyala.Â
Pulang Ke Spidi
"Nak, ayah pulang dulu." Sahut ayah sambil memeluk dan mencium kening Atfilla. Kali ini Atfilla seperti  tak mau melepas pelukan ayah. Ia menangis tersedu-sedu.Â
"Ayah, jangan pergi!"
"Tidak, Nak. Tubuh yang pergi, tapi hati ayah ada di sini." Ayah menunjuk ke dada Atfilla.Â