*Berdasarkan kisah nyata
Jayapura
Suara jangkrik semakin nyaring terdengar seiring dengan semakin sunyinya suara. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan semakin sedikit. Ia melihat jam di ponselnya. Sedikit lagi jam satu dini hari. Namun ia belum bisa tertidur. Meski sudah berusaha. Di kepalanya terus terngiang obrolannya tadi saat makan malam bersama ayah.
"Nak, untuk SMA, ayah sudah daftarkan kamu di sekolah Putri Darul Istiqamah." Kata ayah sambil menyendok makanan.
"Di mana itu, Yah?" Tanya Atfilla sambil meletakkan sendoknya di atas piring.
"Di Maros, Nak. Di Sulawesi Selatan."
"Sulawesi??!!"
"Iya, Nak, di kampung Oma. Di sana ada Oma nanti yang akan sering menjenguk kamu."
"Yah, aku tak bisa berpisah dengan ayah. Aku tak pernah berpisah dengan ayah. Aku tak bisa, Yah."
"Iya, Nak, ayah tahu. Ayah juga tak bisa berpisah dengan kamu. Tapi ini untuk masa depan kamu. Ayah ingin anak ayah jadi penghafal Al-Qur'an yang kelak bisa membahagiakan ayah dan Oma." Ayah berhenti makan lalu memeluknya. Keduanya berpelukan sambil menangis.Â
Pikirannya terus terusik soal akan berpisah dengan ayah. Pisahnya tak main-main jauhnya. Padahal ia tak pernah berpisah dengan ayah bahkan saat kedua orang tuanya berpisah. Ia memilih ikut ayah meski ibu juga sangat berharap ia ikut bersamanya.Â
Entah kenapa, hatinya selalu terpaut pada sang ayah. Ayah cinta matinya. Bisakah ia berpisah dengan ayah? Bagaimana nanti kalau ia berpisah? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat pikirannya berkecamuk hingga ia tak  bisa tidur. Tadi itu adalah obrolan yang paling menyedihkan yang pernah ada dalam hidupnya. Tapi ia tak pandai mengungkapkan perasaan ketidaksetujuannya.
Namanya Atfilla Putri Azkiya. Ayah selalu bilang padanya bahwa namanya adalah doa ayah. Ayah ingin ia selalu berada di jalan Allah. Selalu menjadi putri yang suci lagi shalihah bagi ayah.
Saat masih bayi, Atfilla pernah mengalami demam tinggi, membuatnya mengalami kejang step yang merusak beberapa jaringan saraf di mata sehingga ia tak bisa melihat dengan baik. Dan juga merusak beberapa saraf di otaknya sehingga ia terkadang mengalami epilepsi sampai di usianya remaja sekarang.
Maros
Senin pagi di awal bulan Juli 2021. Atfilla diantar oleh ayah dan omanya ke Spidi. Ayah bertemu dengan pihak sekolah. Ia menjelaskan tentang kondisi Atfilla yang punya penyakit sejak kecil yang terkadang membutuhkan perhatian lebih dari pihak sekolah dibanding anak-anak lainnya.
"Tidak masalah, Pak, di sini ada ummi-ummi, semacam pembina yang menjadi pengganti ibu selama di asrama. Mereka yang akan mengurus Atfilla nanti di asrama." Jawab ibu Afna, panitia sekolah yang menyambutnya..
"Asal Atfilla punya keinginan yang kuat belajar di sini. Insya Allah, dimudahkan buat kita semua." Tambah ibu Afna.
Jawaban itu semakin memantapkan keyakinan pak Alamsyah. "Nak, di sinilah sekolah barumu." Ujarnya sambil melihat Atfilla. Atfilla hanya diam.
Mereka pun berkeliling kampus untuk melihat-lihat. Mereka jatuh cinta pada saat pertama kali melihat kampus. Suasana yang hijau, banyak pepohonan yang rindang di dalam kampus , danau buatan, gazebo ada di mana-mana, dan fasilitas kolam renang membuat mereka semua khususnya Atfilla merasa sangat senang.
Ia bertemu teman-teman barunya. Beberapa di antara mereka tersenyum padanya. Ia pun ikut membalas senyum mereka.
"Assalamu alaikum." seorang santri menyapa Atfilla.
"Siapa namanya, ukhti?" Tanyanya lagi.
"Aku Atfilla. Dari Jayapura. Kalau kamu?" Jawab Atfilla sambil bertanya balik.
"Namaku Hadaria. Aku dari Makassar." Jawab teman barunya itu.
"Kamu santri baru juga?"tanya Atfilla lagi.
"Iya, santri baru juga."
"Masya Allah, senang berkenalan denganmu Hadaria."
"Aku juga Atfilla."Â
Keduanya bersalaman hangat.
Hidup Baru Atfilla
Sejak hari itu Atfilla dipaksa hidup mandiri. Tak ada lagi ayah yang ia sambut setiap pulang dari kantor. Tak ada lagi adik satu-satunya yang terkadang membuatnya jengkel. Tak ada lagi tangisan dan kepanikan ayah saat penyakitnya kumat.
Ia harus terbiasa dengan lingkungan, teman-teman, dan guru-guru barunya. Satu hal permintaan sang ayah bahwa jika ke kamar mandi, sang anak harus ditemani. Dengan telaten teman atau ummi bergantian menemaninya.
Hari-hari pertamanya terasa sepi, meski telinganya ramai oleh suara teman-temannya. Kedua jantung hatinya yakni ayah dan adiknya selalu terbayang di benaknya. Nyaris tiap malam ia memimpikan ayah. Alhamdulillah, para ummi selalu ada menghiburnya saat mereka melihatnya sedang murung.
Sebulan di kampus, ia sudah bisa beradaptasi. Ia tak punya begitu banyak teman, karena ia tak pandai bergaul, tapi ia punya sahabat bernama Adinda. Adinda yang sering kali menemani atau bahkan membantunya pada urusan yang ia sendiri tak mampu melakukannya.
"Brakk..."suara benturan terdengar. Atfilla terpelanting ke lantai. Ia mengerang kesakitan.
"Atfilla, hati-hati kalau jalan! Pelan-pelan saja!" Seru Adinda saat melihat Atfilla menabrak meja di depannya. Ia berlari untuk menolong Atfilla yang sedang mengerang kesakitan. Atfilla memang begitu, kalau lagi jalan, terkadang ia menabrak apa saja yang ada di depannya.
Chrome Book
Di kelas, Atfilla sangat senang. Ia baru kali belajar sambil menggunakan media Chrome Book, yakni semacam laptop yang terisi aplikasi google education yang berbayar. Sekolahnya memang mewajibkan setiap peserta didik untuk memiliki Chrome Book agar memudahkan pembelajaran dan juga membuatnya menyenangkan.
"Dinda, aku suka sama Chrome Book ini." Katanya pada sahabatnya sambil tersenyum. Senyumnya khas.
"Aku juga. Alhamdulillah, dengan teknologi CB ini kita bisa belajar tanpa batas. Dari kelas ini kita bisa mengakses ilmu pengetahuan dari luar." Jawab Adinda sembari tersenyum.
"Di sekolahku dulu tak ada seperti ini."
"Aku juga begitu."
Atfilla dan Perpustakaan
Salah satu hal yang paling disukai Atfilla adalah perpustakaan. Di mana ia bisa membaca buku. Ia memang tak begitu banyak bicara pada temannya. Jadi semuanya ia tumpahkan pada buku. Di perpustakaan ia merasa berada di taman ilmu. Ada ratusan koleksi buku. Belum lagi perpustakaan menggunakan AC yang membuatnya betah berlama-lama membaca.
"Silahkan masuk, Nak Atfilla..."seru Pak Mukhlis, pustakawan Spidi dengan senyum manis di wajahnya sambil membuka pintu.
Affilla masuk sambil tersenyum balik pada pak Mukhlis. Tak lupa ia menscanning kartu perpustakaan miliknya sebelum mengambil buku di rak.
"Hari ini Atfilla boleh bawa buku ke asrama. Bonus karena Minggu ini kamu tak pernah absen dari perpustakaan." Ujar pak Mukhlis.
"Wah, begitu yah, Pak?" Tanya Atfilla seolah-olah tak percaya.
"Ia betul, Nak."
"Terima kasih, Pak."
Atfilla menghabiskan waktu kurang lebih 40 menit untuk membaca. Biasanya ia lakukan saat istirahat kedua sebelum dhuhur.
Pintu perpustakaan terbuka, Atfilla menoleh sebentar, ternyata yang datang ibu Riza, direktur pendidikan Spidi.
"Masya Allah, Atfilla rajin sekali ke perpustakaan. Saya tak pernah melihat Atfillah kecuali di dua tempat, perpustakaan dan masjid." Puji ibu Riza.
"Hehehe....ibu bisa aja..."ujar Atfilla sambil tersipu malu.
"Bener loh."seru ibu Riza dengan logat jawanya yang kental.
Kolam Renang
"Dinda, ayo kita berenang sore ini." Ajak Atfilla pada Dinda.
"Ayo.."jawab Dinda.
"Abis ashar kita berenang."
Hari Sabtu sore kolam renang yang berada dalam kampus Spidi itu terbuka buat para siswi. Juga terbuka untuk umum namun hanya buat wanita.
Kolam renang itu merupakan satu-satunya kolam renang khusus wanita yang ada di Sulawesi Selatan. Areal kolam renang tertutupi oleh bangunan pagar sehingga bisa menutupi pengunjung wanita dari luar.
Renang adalah merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswi di Spidi. Oleh karena itu, setiap siswi Spidi pandai berenang.Â
Sore itu kolam renang sangat ramai. Para siswi bercampur dengan beberapa wanita pengunjung dari luar. Semua bermain gembira melepas penat belajar semingguan.
"Atfilla, kamu jago renang?" Tanya Hafsah, seorang teman sekelas Atfilla.
"Tidak jago, tapi bisa." Jawab Atfilla.
"Ayo kita lomba" tantang Hafsah seraya menarik tangan Atfilla. Ia becanda.
"Jangan, ah, aku tak bisa."Atfilla menarik tangannya. Ia tahu Hafsah mencandainya. Makanya ia tak marah.Â
Atfilla dan Penyakitnya Kambuh di Kampus Pertama Kali
"Bangun, Nak." Ummi Ina menepuk jari kaki Atfilla dengan lembut.
"Sekarang sudah jam dua."tambah Ummi Ina.
Atfilla mengucek matanya. Kantuknya belum bisa ia lawan. Ia masih berbaring.
"Ayo, Nak. Teman-temanmu sudah bangun semua." Sekali lagi umi Ina menepuk kakinya lembut.
"Iya, umi." Atfilla melepas selimut seraya duduk.
Tepat pukul 02.15, Atfilla mengantri bersama teman-temannya di hammam (kamar mandi dalam bahasa Arab). Bangun jam 02.00 dini hari adalah sudah menjadi kebiasaan para siswi di Spidi. Mereka diwajibkan tidur lebih awal dan bangun lebih awal. Tidur jam 20.00 malam dan bangun jam 02.00 dini hari. Mereka mandi, berwudhu, setelah itu ke masjid untuk melakukan shalat tahajud.
"Jangan dikunci pintu hammamnya, yah, Atfilla." Kata ummi Ina mengingatkan.
"Iya, Ustadzah."
"Braakk" suara keras terdengar dari dalam hammam di mana Afilla berada. Tubuh Atfilla terjatuh ke lantai. Bagian kepalanya terjuntai keluar dari kamar mandi. Tubuhnya kejang-kejang. Semua teman yang melihatnya kaget. Beberapa temannya menjerit ketakutan melihat kondisi Atfilla. Mereka takut Atfilla kenapa-kenapa. Sebagian teman lainnya beriniasitif mengambil handuk. Lalu membawa Atfilla ke kamar.
"Umi...umi...Atfilla jatuh di hammam tadi. Ia kejang-kejang." Teriak Ayu.
"Ada apa, Nak?!" Tanya ummi Fadhilah.
"Ini, Umi, Atfilla..." Belum sempat dijawab sempurna, umi Fadhilah langsung ikut membopong tubuh Atfilla. Mereka semua sigap membantu.
Atfilla siuman. Namun pandangannya belum sepenuhnya pulih. Ia melihat samar-samar beberapa ummi dan temannya yang mengelilinginya menangis di hadapannya. Semua memeluknya saat melihatnya telah siuman.
Kafe Literasi
Setiap istirahat belajar pertama, Atfilla selalu mengunjungi Kafe Literasi untuk memesan minuman dan makanan. Kafe ini menjadi tempat favorit bagi sebagian besar santri untuk menikmati minuman dingin atau roti panggang.
"Pak Atoz, saya pesan dua gelas minuman Thai tea, dan dua porsi roti panggang." Pinta Atfilla pada pada pak Mutallim yang lebih dikenal oleh para santri dengan nama pak Atoz.Â
"Siap, Atfilla." Jawab pak Atoz sambil tersenyum.
Aftilla menunggu sekitar 10 menit hingga pesanannya datang. Agak lama, sebab antrian cukup banyak.
"Terima kasih, Pak."pujinya pada Atoz.
"Sama-sama, Atfilla. Satunya buat cleaning servis lagi yah?" Tanya Pak Atoz untuk mengkonfirmasi tebakannya. Atfilla hanya tersenyum tak menjawab. Pak Atoz hafal, Atfilla saban membeli, selalu beli dua porsi, untuk dirinya dan juga seorang pegawai kebersihan kampus.
Hampir semua pegawai kebersihan atau sekuriti di kampus pernah merasakan ditraktir oleh Atfilla. Â Bahkan pak Atoz sendiri pun pernah ditraktir oleh Atfilla makanan yang ia buat sendiri. Sungguh sebuah kedermawanan yang luar biasa bagi seorang gadis yang masih remaja.
Back Home Day
Hari itu semua santri pulang kampung. Spidi menamakannya hari Back Home Day. Atfilla pulang ke Jayapura dengan segala cerita yang tak sabar ingin ia sampaikan pada ayahnya.
"Yah, Alhamdulillah sekolahku luar biasa." Atfilla langsung membuka percakapan dengan ayah saat  mereka duduk santai di depan TV.Â
"Alhamdulillah, bagaimana, Nak?"tanya ayah sambil mendekat pada Atfilla.
"Bagus. Bagus." Ulang Atfilla.
"Yah, masya Allah." Syukur Ayah lagi.
"Di sekolahku ada ummi-ummi, mereka yang merawatku saat sakit dengan sabar dan telaten. Aku merasa seperti punya ibu lagi." Atfilla terdiam. Ia tak sanggup melanjutkan. Ayah memeluknya.
"Ayo lanjutkan, Nak. Ayah penasaran." Kata ayah seraya mengusap air mata di pipi Atfilla.
"Yah, mereka semua baik sama aku. Sabar. Penyayang." Atfilla sudah bisa melanjutkan bicaranya dalam pelukan ayah.
"Teman-teman kamu bagaimana?"Â
"Alhamdulillah, mereka semua baik-baik. Aku punya sahabat namanya Dinda. Dia berasal  Papua juga.
"Terus program sekolahmu bagaimana?"
"Menyenangkan, Yah. Sekolahku ada empat jurusan. Saintek, bahasa, tarbiyah, dan Tahfidz. Aku bisa memilih jurusan Saintek. Kan biar bisa jadi dokter seperti harapan ayah." Kata Atfilla sambil tersenyum.
"Di kelas juga menyenangkan, Yah. Guru-gurunya baik dan pintar. Belum lagi kita belajar menggunakan Chrome Book."
"Chrome Book itu apa, Nak?" Ayah mengernyitkan keningnya ketika bertanya.
"Semacam laptop, Yah. Kita bisa belajar lewat internet. Jika bosan, kita bisa buka YouTube untuk mengakses video edukasi yang menghibur."
"Oh Masya Allah, bagus sekali..." Seru ayah. Â
"Iya, Ayah, seru sekali pokoknya..." Â Â
Kalau makanannya bagaimana?"tanya ayah lagi.
"Alhamdulillah, enak, Yah. Kita bisa ambil nasi dan lauk pauk sendiri. Jadi sepuas kita. Seperti di rumah sendiri.."
"Alhamdulillah kalau begitu." Syukur ayah sekali lagi.
Atfilla menggebu-gebu semangatnya saat bercerita. Ia seperti ingin memuntahkan semua pengalamannya di sekolah barunya pada ayah.
"Bagaimana dengan program TILAWA, Nak?" Tanya ayah lagi. Ayah masih bersemangat untuk mendengar.
"Ini yang paling menantang bagiku, Yah. Di awal-awal beratnya bukan main. Teman-temaku juga merasa begitu, Tapi pada akhirnya kami terbiasa juga. Malah bagi saya pribadi ini adalah waktu favoritku untuk berdoa. Untuk ayah, adik, Oma dan khususnya ibu." Kali ini Atfilla tak dapat menahan air matanya lagi.
Ayah semakin memeluknya erat. Ia tahu anaknya itu rindu pada ibunya yang sudah lama tak pernah ia temui. Sejak ayah dan ibu berpisah, Atfilla hanya bertemu dua kali saja dengan ibu. Ibu seperti tak ingat padanya. Meski begitu, Atfilla tak pernah benci pada ibu. Doa-doanya sering kali ia khususkan buat ibunya.
Malam semakin larut, obrolan kedua anak bapak itu berganti hening. Keduanya tertidur di depan TV yang masih menyala.Â
Pulang Ke Spidi
"Nak, ayah pulang dulu." Sahut ayah sambil memeluk dan mencium kening Atfilla. Kali ini Atfilla seperti  tak mau melepas pelukan ayah. Ia menangis tersedu-sedu.Â
"Ayah, jangan pergi!"
"Tidak, Nak. Tubuh yang pergi, tapi hati ayah ada di sini." Ayah menunjuk ke dada Atfilla.Â
"Tengok ke hati Atfilla jika rindu pada ayah. Ayah ada di situ." Tambah ayah.
Atfilla semakin menangis mendengar jawaban ayah. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali hanya menangis saat melihat punggung ayahnya menghilang dari balik gerbang.
Atfilla Melakukan Terapi
"Ummi, Atfilla terjatuh di kamar mandi lagi." teriak Umaymah panik. Beberapa ummi keluar dari kamar tergopoh-gopoh. Tubuh Atfilla dibopong ke kamarnya.
Ini kali kedua Atfilla terjatuh di kamar mandi. Akhirnya pihak sekolah menginformasikan pada ayah tentang kejadian itu. Ayah minta ijin untuk mengirim Atfilla ke rumah Oma di Makassar untuk melakukan terapi pengobatan.
Atfilla dibawa ke dokter ahli saraf oleh Oma. Dokter memberi obat untuk dikonsumsi selama tiga Minggu. Tiga Minggu di rumah oma terasa begitu lama bagi Atfilla. Ia sudah sangat kangen kampus, guru, ummi, dan teman-temannya.
"Oma, besok sore bawa aku pulang ke kampus, yah."kata Atfilla pada Oma penuh harap.
"Iya, Nak, kalau kamu sudah merasa baikan, kita bawa kamu pulang ke kampus." Jawab oma.
Bukan kepalang senangnya Atfilla mendengar jawaban oma. Keesokan harinya, di sore hari ia pulang ke kampus diantar oleh Oma.
Gadis Itu Pergi Dengan Indah
"Bangun, Nak" tepuk ummi Fadhilah di kaki Atfilla lembut.
"Iya, ummi." Atfilla mengucek matanya. Malam hari itu adalah hari pertamanya bangun lebih awal lagi setelah di rumah Oma beberapa lama ia bangun lebih telat karena ia hanya sendiri jika bangun dini hari.
"Atfilla tak kunci pintu kamar mandi, yah." Pinta Adinda.
Adinda masuk di hammam tepat di sebelah hammam Atfilla. Selang 15 menit, Adinda sudah selesai mandi dan berwudhu. Ia keluar hammam lalu menunggu Atfilla. Tak biasanya sahabatnya itu berlama-lama mandi. Bahkan seringnya Atfilla yang menunggui Adinda.
"Atfilla, ayo. Kita sudah telat. Teman-teman sudah keluar semua." Seru Adinda sambil mengetuk pintu hammam. Tak ada jawaban dari dalam. Hanya suara air mengalir dari kran yang terdengar.Â
Adinda mencoba mendorong pintu hammam tapi tak terbuka. Adinda mencoba untuk mengetuk dengan keras. Lagi-lagi tak ada jawaban.Â
"Atfilla...Atfilla...ayo..."
Tak ada jawaban. Kondisi itu membuat Adinda terpikir penyakit Atfilla mungkin kambuh lagi.
Bergegas ia berlari ke kamar memanggil ummi-ummi.
"Ummi Ina, Atfilla belum keluar dari hammam. Pintunya hammamnya dikunci dari dalam." Teriak  Adinda panik.
Ummi Ina dengan cepat berlari masuk ke ruang kamar mandi. Di belakangnya beberapa ummi dan santri ikut.
"Atfilla...Atfilla..." Teriak ummi Ina sambil mengetuk pintu hammam. Tak ada jawaban.
Beberapa orang mencoba mendobrak pintu. Tapi tak bisa terbuka.
"Ummi Putri, tolong telepon ustadz Sabar untuk datang ke sini." Pinta ummi Ina pada ummi Putri.
"Baik." Jawab ummi Putri.
Telepon berdering dan diangkat. Ustadz Sabar, kepala pembinaan asrama secepat kilat mengendarai mobil dari rumahnya ke kampus. Hanya 10 menit sejak ditelepon ia sudah tiba di kamar mandi.
Ustadz Sabar ikut mencoba mendobrak pintu, namun tak bisa.Â
"Umaymah, tolong panjat hammam lalu buka dari dalam." Perintah ustadz Sabar pada Umaymah.
Umaymah memanjat dinding hammam. Pintu berhasil dibuka. Tubuh Atfilla tertelungkup ke arah bak mandi. Tak sadarkan diri. Ummi dan santri yang melihat kondisi Atfilla menangis. Ustadz Sabar meminta diambilkan selimut. Setelah selimut datang, ustadz Sabar dibantu beberapa ummi membopong tubuh Atfilla keluar.
Dengan cepat ustadz Sabar membawa Atfilla ke rumah sakit La Palaloi Maros. Setiba di sana, Atfilla dimasukkan ke ruang IGD untuk penindakan cepat. Setelah pemeriksaan dilakukan, perawat menggelengkan kepala. Sesuatu yang membuat ustadz Sabar merasa seperti langit sedang runtuh menimpanya.
"Maaf, Pak, anak ini sudah meninggal dunia. Mungkin saat di mobil tadi." Jelas perawat yang memeriksa.
"Tidak, Bu. Coba usahakan lagi." Pinta ustadz Sabar sambil menangis."
"Sabar, Pak. Sudah tak ada lagi."
"Innalilahi wa Inna ilaihi rajiun."ucap ustadz Sabar disertai suara tangisan.
Kabar Duka Untuk Ayah
"Antum yang beritahu ayahnya Atfila." Perintah Ibu Lisa, direktur eksekutif Spidi pada ustadz Sabar. Sebuah instruksi yang sangat berat ustadz Sabar lakukan.Â
Sebab ia sudah bisa membayangkan bagaimana perasaan ayah Atfilla saat mendengar informasi anaknya meninggal. Tapi tugas itu mau tak mau harus ia lakukan.
"Walaikum salam" jawab pak Alamsyah, ayah Atfilla.
"Begini, Pak." Ustadz Sabar seperti tercekat tenggorokannya. Ia tak bisa melanjutkan bicaranya.
"Iya, ada apa, ustadz?"
"Atfilla, Pak. Tadi malam jatuh lagi di kamar mandi. Â Dan kali ini kita bawa ke rumah sakit, dan..." Ustadz Sabar belum mampu mengatakan kalimat terberat itu.
"Dan kenapa, ustadz...? Tanya pak Alamsyah penasaran. Kali ini suaranya agak keras. Di seberang ia mendengar suara tangisan ustadz Sabar. Ia menduga ada yang tak beres dengan anaknya.
"Ada apa, ustadz?"
"Atfilla sudah pergi, Pak. Maksudnya Atfilla meninggal dunia.
Jawaban ustadz Sabar membuat tangan pak Alamsyah bergetar. Handphone di tangannya terjatuh ke lantai. Dadanya serasa remuk. Air matanya tumpah, tapi mulutnya tak bisa berbicara. Lalu pandangannya gelap. Sesaat sebelum tubuhnya jatuh ke lantai.
Pagi Berkabung di Spidi
Kabar wafatnya Atfilla terdengar seantero kampus. Ummi-ummi, santri, guru, dan semua civitas spidi dalam kesedihan mendalam. Air mata tumpah. Berkabung. Sunyi dalam sedih. Hari yang biasanya ceria berganti diam seribu bahasa. Semua bertatap mata dalam hening tanpa kata.
Jenazah Atfilla datang dari rumah sakit menggunakan ambulans. Disemayamkan di masjid Andi Murni Badiu sambil menunggu keluarga almarhum Atfilla datang utamanya ayah dan Omanya. Ayah dijadwalkan datang sore hari dari Jayapura.
Acara takziyah untuk mendoakan Atfilla dilakukan di masjid. Tak ada kegiatan kampus para civitas kecuali di masjid. Doa-doa dilantunkan lirih. Bela sungkawa diucapkan disertai tangisan. Bergantian beberapa ustadzah dan santri berdiri di depan ratusan santri mengucapkan kalimat nasihat, kesan, dan doa untuk Atfilla.
"Anak ini, tak pernah terlihat kecuali di dua tempat, di perpustakaan atau masjid."kenang Ibu Riza dalam sambutan takziyah beliau.
Sore hari ayah Atfilla datang. Tak ada kalimat yang bisa menggambarkan suasana itu kecuali kesedihan mendalam apalagi saat Pak Alamsyah membuka kain sarung penutup wajah Atfilla.Â
Shalat jenazah dilakukan. Diimami oleh ustadz Salam, kepala jurusan tarbiyah. Doanya setelah sehat jenazah membuat seisi masjid kembali menangis.
Ayah Atfilla diminta untuk mengucapkan sepatah dua kata di depan hadirin. Tak begitu panjang, namun intinya ia sudah ikhlas menerima takdir Allah ini. Bahkan ia bersyukur Atfilla meninggal dalam kondisi yang indah, di dalam perjuangan menuntut ilmu di jalan Allah, ditambah lagi sedang dalam persiapan untuk shalat malam.Â
Tak lupa ia mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya buat pihak Spidi dan juga permintaan maaf jika memang selama ini Atfilla ada salah.
Jenazah Atfilla dimasukkan dalam peti untuk kemudian dibawa terbang ke kampung halamannya di Jayapura untuk dimakamkan di sana.
Seiring kepergiannya jasadnya, sesungguhnya ia masih berada di sini. Di spidi. Tempatnya menimba ilmu. Tempatnya menemui Tuhannya dengan cara yang dicemburui oleh para perindu Syurga.
Selamat jalan, Atfilla.
Atfillah, Kepergianmu Yang Indah
Namamu adalah doa dari orang tuamu yang melekat padamu sepanjang hidupmu.Â
Namamu Atfillah yang jika diartikan adalah berada di jalan Allah. Mungkin begitu harapan orang tuamu saat memasukkanmu ke pesantren Spidi. Agar engkau terus berada di jalan Allah.
Dan kini engkau menjemput takdirmu kepergianmu di jalan Allah (insya Allah) sesuai doa dan harapanmu dan juga orang tuamu.
Namamu Putri, agar kelak engkau menjadi putri mahkota di surga. Yang membuat para bidadari pantas merasa cemburu padamu
Namamu Azkiya yang jika diartikan adalah suci. Bukankah sakitmu dan kesabaranmu atas penyakit sejak engkau lahir adalah penyuci atas dosa-dosa? Bukankah dalam sakit kita selalu berdoa " " Tak apa-apa, sebagai penyuci dari dosa -insya Allah-
Kami yakin engkau sekarang sedang tersenyum di saat kami semua menangisi kepergianmu. Engkau pergi dengan segala kemuliaan yang kau bawa menjadi bekal menuju Akhirat.
Bukankah kemarin engkau baru balik ke pesantren dari rumah untuk berobat selama beberapa waktu? Tidakkah itu tanda bahwa Allah telah menyiapkan kematian terindah buatmu?
Bukankah engkau pergi dalam kondisi sakit bahkan sejak engkau hadir di dunia ini. Yang penyakit itu adalah penggugur dosa-dosamu.
Bukankah engkau pergi dalam keadaan sakit? Kesabaranmu atas penyakitmu sampai kematian menjemputmu adalah pahala tak berbatas. Al-Qur'an menjamin hak pahalamu : Â " Sesungguhnya orang-orang sabar diganjar pahala tak berbatas."
Bukankah kepergianmu pada saat engkau dalam kondisi keluar untuk menuntut ilmu? Yang semua dari keringat, lelah, sakit, rindu, makan, minum, dan semua kegiatanmu dijamin oleh Nabi berada di jalan Allah.
Artinya Nabi menyamakanmu dengan mereka yang keluar untuk berperang di jalan Allah. Yang berarti kemuliaan para syuhada (mati dalam berperang) pantas engkau dapatkan.
Bukankah engkau pergi saat engkau sedang menyiapkan ibadah lailmu di penghujung malam seperti kebiasaanmu bersama para santri lainnya?
Bukankah Nabi telah bersabda seseorang akan dibangkitkan sesuai dengan kondisinya ia meninggal? Â
Bukankah engkau menghabiskan masa mudamu dalam beribadah dan taat pada Allah? Bukankah Nabi telah menjamin anak muda yang tumbuh dalam ketaatan pada Allah akan mendapatkan naungan di Padang mahsyar saat tak ada naungan kecuali naungan Allah.
Kini engkau tak sakit lagi. Engkau malah tersenyum melihat semua janji Allah dan Nabi-Nya buatmu.
Kini engkau tak lagi merepotkan orang tuamu, keluargamu, guru-gurumu, teman-temanmu di dunia dengan sakitmu. Ingatlah mereka kelak di sana agar engkau bisa menarik mereka bersamamu ke dalam Syurga. Allahumma amin...
Sebuah pengabdian pada ilmu yang tak berujung di dunia. Ujungnya di Syurga kelak.
Ya Rabb....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H