Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Meraih Keadilan, Mewujudkan Kesetaraan melalui Distribusi yang Adil

22 Oktober 2024   12:30 Diperbarui: 22 Oktober 2024   12:30 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.Friedrich Naumann Foundation

BAB 5

Sebagian orang memang lahir dalam kondisi yang lebih menguntungkan dibandingkan yang lain, memiliki kekayaan, status sosial, atau akses terhadap peluang yang lebih besar---dalam istilah yang sering disebut "dilahirkan dengan sendok perak di mulut mereka." 

Di sisi lain, banyak orang dilahirkan dalam situasi yang sulit, di mana mereka harus berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Pemikir seperti John Rawls, yang mewakili pandangan liberal-kiri dan sosialis, mempertanyakan apakah ketimpangan ini adil. Rawls berpendapat bahwa distribusi kekayaan dan kesempatan yang tidak merata sejak lahir menimbulkan ketidakadilan. 

Dalam bukunya A Theory of Justice, Rawls memperkenalkan konsep "veil of ignorance" (tabir ketidaktahuan), di mana kita harus membayangkan diri kita membuat aturan masyarakat tanpa mengetahui posisi sosial kita sendiri. 

Dalam situasi ini, orang cenderung menciptakan aturan yang adil untuk semua, karena mereka bisa saja berakhir di posisi kurang beruntung.

Pandangan Rawls mendukung konsep distributive justice (keadilan distributif), di mana kekayaan dan sumber daya harus didistribusikan secara lebih adil, sehingga mereka yang kurang beruntung masih memiliki akses ke peluang dan kualitas hidup yang layak. 

Ini bukan berarti menghilangkan perbedaan sepenuhnya, tetapi memastikan bahwa ketimpangan tidak menciptakan hambatan besar bagi mereka yang berada di posisi kurang menguntungkan.

John Rawls, yang dikenal sebagai seorang profesor filsafat di Harvard dan seorang pemikir besar dalam filsafat politik, menyadari bahwa kesuksesannya dalam hidup sebagian besar disebabkan oleh faktor keberuntungan. 

Meskipun dia adalah salah satu orang terkaya dan paling berpengaruh selama masa hidupnya, Rawls mengakui bahwa ini bukan hasil dari usahanya semata, melainkan dari serangkaian keberuntungan yang ia dapatkan sejak lahir.

Rawls terlahir dengan bakat intelektual, termasuk kecerdasan, kreativitas, dan tingkat kesadaran yang tinggi, yang sebagian besar diwarisi melalui genetika. 

Selain itu, ia juga lahir dalam keluarga kaya yang memiliki sumber daya untuk mendukung perkembangan intelektualnya, seperti mengirimnya ke sekolah-sekolah elit dan akhirnya ke Princeton. Kombinasi dari bakat genetik dan dukungan sosial inilah yang membuat Rawls unggul di dunia akademis.

Namun, Rawls menekankan bahwa semua keberuntungan ini bukan sesuatu yang dia "peroleh" melalui usaha pribadi. Ia tidak melakukan sesuatu sebelum dilahirkan untuk "memenangkan" gen yang baik atau dilahirkan di keluarga kaya. 

Tidak ada ujian di surga yang menentukan siapa yang akan dilahirkan dalam kondisi lebih menguntungkan. Sebaliknya, semua ini adalah hasil dari apa yang disebut Rawls sebagai "undian genetik dan sosial," di mana sebagian orang secara acak mendapatkan keistimewaan sejak lahir, sementara yang lain tidak.

Rawls berpendapat bahwa karena kesuksesan seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang di luar kendali mereka---seperti genetika dan kondisi sosial---kita tidak bisa mengklaim bahwa ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat saat ini sepenuhnya adil. 

Dia mengajak kita untuk mempertimbangkan bagaimana keadilan harus mencakup redistribusi sumber daya agar semua orang, terutama yang kurang beruntung dalam "undian" ini, memiliki kesempatan yang setara untuk mencapai kesuksesan.

John Rawls memiliki pandangan yang skeptis tentang gagasan bahwa orang benar-benar "pantas" menduduki posisi tertentu dalam kehidupan. Menurutnya, meskipun seseorang mencapai kesuksesan melalui pilihan-pilihan yang dianggap bagus---seperti bekerja keras atau memiliki kesadaran tinggi---pilihan-pilihan ini masih sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, seperti genetik atau lingkungan tempat mereka dibesarkan. 

Karena itulah, Rawls berpendapat bahwa orang tidak benar-benar pantas menerima keberhasilan yang mereka raih, karena keberhasilan tersebut sebagian besar merupakan hasil dari keberuntungan yang tidak layak mereka dapatkan.

Bagi Rawls, untuk benar-benar layak mendapatkan hasil tertentu, seseorang harus terlebih dahulu pantas atas sifat-sifat atau tindakan yang memungkinkan hasil tersebut. Namun, karena sifat-sifat seperti kecerdasan, bakat, dan bahkan keputusan untuk bekerja keras sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, yang tidak bisa dipilih oleh seseorang, maka klaim bahwa orang pantas mendapat kesuksesan atau penghargaan besar dari masyarakat menjadi lemah.

Dengan demikian, Rawls menegaskan bahwa ketidaksetaraan dalam hasil kehidupan tidak dapat dibenarkan berdasarkan faktor-faktor yang diberikan atau diwariskan. Ketidaksetaraan semacam itu tidak adil jika hanya berdasarkan keberuntungan. Namun, Rawls tidak menolak semua bentuk ketidaksetaraan. 

Dia berpendapat bahwa ketidaksetaraan dapat dibenarkan hanya jika ketidaksetaraan tersebut berkontribusi pada kebaikan bersama dan meningkatkan kondisi semua orang, terutama mereka yang berada di posisi paling bawah dalam masyarakat. 

Ini adalah inti dari the difference principle dalam teori keadilannya: bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan sosial hanya dapat diterima jika mereka memberikan manfaat terbesar kepada kelompok yang paling tidak beruntung.

John Rawls menggunakan analogi pai untuk menjelaskan pandangannya tentang bagaimana ketidaksetaraan ekonomi bisa dibenarkan jika itu menguntungkan semua orang, termasuk mereka yang paling tidak beruntung. Bayangkan ada sepotong pai, dan tidak ada di antara kita yang memiliki klaim sebelumnya atas pai tersebut. 

Dalam situasi ini, membagi pai secara merata akan tampak sebagai cara yang paling adil dan alami, karena setiap orang akan mendapatkan bagian yang sama. Namun, Rawls menambahkan elemen menarik: bayangkan pai tersebut ajaib---ukuran pai bisa mengecil atau membesar tergantung bagaimana kita memotongnya.

Jika ada cara memotong pai yang menghasilkan potongan tidak merata tetapi memberikan irisan lebih besar kepada semua orang dibandingkan dengan membagi secara merata, maka Rawls berargumen bahwa pilihan rasional adalah memilih pembagian yang tidak merata. 

Dengan cara ini, meskipun beberapa orang mendapatkan bagian yang lebih besar, semua orang akan tetap menerima bagian yang lebih besar daripada yang mereka dapatkan jika dibagi rata. Dalam analogi ini, orang rasional yang tidak iri akan memilih pembagian yang tidak sama tetapi menguntungkan semua orang.

Rawls menggunakan analogi ini untuk menjelaskan bagaimana pasar bekerja di dunia nyata. Dalam ekonomi, kekayaan, pendapatan, dan peluang sering kali tidak didistribusikan secara merata. 

Namun, Rawls memahami bahwa agar orang-orang mau bekerja keras, menggunakan bakat mereka, dan mengelola sumber daya secara efektif, setidaknya diperlukan beberapa tingkat ketidaksetaraan ekonomi. Ketidaksetaraan ini mendorong inovasi, kerja keras, dan produktivitas yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan semua orang, termasuk mereka yang paling tidak beruntung.

Dalam teorinya, Rawls menyatakan bahwa ketidaksetaraan ini bisa dibenarkan jika dan hanya jika hal itu menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di posisi paling bawah. 

Ini adalah inti dari prinsip perbedaannya: ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika membantu meningkatkan kehidupan mereka yang paling tidak beruntung, mirip dengan bagaimana pembagian tidak merata dari "pai ajaib" dapat meningkatkan potongan semua orang.

John Rawls mendukung gagasan yang selaras dengan apa yang para ekonom sebut sebagai hasil "Pareto Superior," yaitu kondisi di mana perubahan dari satu situasi ke situasi lain meningkatkan kesejahteraan seseorang tanpa merugikan orang lain. 

Dalam konteks ini, Rawls akan berargumen bahwa kita harus memilih perubahan yang menghasilkan perbaikan bagi setidaknya satu orang tanpa memperburuk keadaan orang lain, sebuah kondisi yang disebut "Pareto Improvement."

Misalnya, jika kita berada dalam situasi A, dan beralih ke situasi B membuat setidaknya satu orang lebih baik tanpa memperburuk keadaan orang lain, maka itu dianggap sebagai perbaikan Pareto. Ini adalah perubahan yang dianggap optimal karena tidak ada kerugian bagi siapa pun, hanya peningkatan bagi sebagian pihak.

Lebih ketat lagi, Rawls juga merujuk pada konsep "Pareto Optimal," yang menggambarkan kondisi di mana tidak mungkin ada perubahan yang dapat membuat satu orang lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk. 

Pada titik ini, semua sumber daya sudah digunakan secara optimal, dan setiap upaya untuk mengubah distribusi atau kondisi akan menyebabkan kerugian bagi seseorang. Dalam situasi Pareto Optimal, tidak ada peningkatan lebih lanjut yang bisa dicapai tanpa menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain.

Namun, Rawls menambahkan dimensi moral ke dalam konsep ini. Dia tidak hanya peduli apakah perubahan menguntungkan satu orang tanpa merugikan yang lain, tetapi juga apakah ketidaksetaraan yang ada adil dan menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung dalam masyarakat. 

Jadi, meskipun hasil yang Pareto Optimal mungkin efisien secara ekonomi, Rawls tetap menganggap bahwa ketidaksetaraan dalam hasil tersebut hanya dapat dibenarkan jika memenuhi prinsip keadilannya, yaitu memberikan manfaat terbesar kepada yang paling lemah.

Dalam contoh yang disajikan, John Rawls mengajak kita untuk mempertimbangkan tiga jenis masyarakat dengan distribusi pendapatan yang berbeda: Egalitaria, Wealthmaximizia, dan Fairnessaria. Masing-masing masyarakat ini merepresentasikan cara yang berbeda dalam mendistribusikan kekayaan dan mencerminkan variasi dalam tingkat ketidaksetaraan ekonomi.

1. Egalitaria

Di masyarakat ini, semua kelompok---pekerja tidak terampil, terampil, dan profesional---menerima pendapatan yang sama, yaitu $1.000. Meskipun ini sepenuhnya setara, jumlah pendapatan ini sangat kecil bagi semua kelompok.

2. Wealthmaximizia

Di sini, ketidaksetaraan lebih besar, di mana pekerja tidak terampil hanya mendapatkan $15.000, sementara pekerja terampil mendapatkan $75.000 dan profesional mendapatkan $500.000. Ini menunjukkan ketidaksetaraan yang sangat besar, tetapi total kekayaan yang dihasilkan jauh lebih tinggi daripada di Egalitaria.

3. Fairnessaria

Dalam masyarakat ini, pekerja tidak terampil mendapatkan $20.000, pekerja terampil mendapatkan $50.000, dan profesional mendapatkan $100.000. Meskipun terdapat ketidaksetaraan, perbedaan pendapatan tidak se-ekstrim di Wealthmaximizia, dan semua kelompok mendapatkan pendapatan yang lebih besar daripada di Egalitaria.

Rawls akan berpendapat bahwa orang yang rasional dan tidak iri lebih memilih tinggal di Wealthmaximizia atau Fairnessaria daripada di Egalitaria, karena kedua masyarakat tersebut menawarkan peralihan ke Pareto Superior. Dalam Wealthmaximizia dan Fairnessaria, setidaknya satu kelompok mendapatkan lebih banyak tanpa membuat kelompok lain lebih buruk, dibandingkan dengan Egalitaria, di mana semua orang menerima jumlah yang sama namun sangat kecil.

Namun, perdebatan muncul ketika memilih antara Wealthmaximizia dan Fairnessaria. Mana yang lebih adil?

1. Wealthmaximizia

Menciptakan kekayaan total yang jauh lebih besar, tetapi pekerja tidak terampil tetap berada dalam situasi yang sangat buruk, hanya menerima $15.000, yang hampir tidak berbeda dari Egalitaria. Sebaliknya, kelompok profesional mendapatkan penghasilan sangat besar, yang menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang mencolok.

2. Fairnessaria

Memberikan distribusi yang lebih adil, di mana pekerja tidak terampil mendapatkan $20.000, jumlah yang jauh lebih besar daripada di Wealthmaximizia. Pekerja terampil dan profesional juga mendapatkan jumlah yang lebih proporsional, menciptakan keseimbangan antara hasil yang adil dan ketidaksetaraan yang wajar.

Bagi Rawls, keadilan tidak hanya tentang menciptakan kekayaan sebesar mungkin, tetapi juga tentang memastikan bahwa kelompok yang paling kurang beruntung (pekerja tidak terampil dalam contoh ini) mendapatkan manfaat terbesar. Karena itu, Rawls mungkin lebih memilih Fairnessaria daripada Wealthmaximizia, karena Fairnessaria memberikan peningkatan yang signifikan bagi kelompok yang paling kurang beruntung, tanpa menciptakan kesenjangan ekstrem antara kelompok-kelompok sosial.

Meskipun Wealthmaximizia lebih kaya secara keseluruhan, Rawls akan berpendapat bahwa Fairnessaria lebih adil karena memperhatikan kesejahteraan semua orang, terutama mereka yang berada di posisi terbawah, sesuai dengan prinsip keadilannya.

John Rawls mengembangkan konsep "Posisi Asali" (Original Position) sebagai bagian dari teorinya tentang keadilan. Ini adalah eksperimen pemikiran yang dirancang untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan yang akan disepakati oleh individu yang rasional dalam kondisi yang adil. Dalam Posisi Asali, orang-orang yang terlibat dalam perundingan tidak mengetahui informasi pribadi tentang diri mereka, seperti status sosial, kekayaan, bakat, atau preferensi pribadi. Ini menciptakan situasi di mana mereka tidak memiliki alasan untuk bias atau diskriminasi, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan yang lebih adil. Elemen kunci dari posisi Asali:

1. Tabir Ketidaktahuan (Veil of Ignorance)

Dalam Posisi Asali, para perunding dilindungi oleh "tabir ketidaktahuan" yang mencegah mereka mengetahui keadaan pribadi mereka. Mereka tidak tahu apakah mereka akan lahir sebagai pekerja terampil, pekerja tidak terampil, atau profesional, dan mereka juga tidak tahu apakah mereka akan lahir ke dalam keluarga kaya atau miskin. Dengan cara ini, setiap individu harus berpikir tentang prinsip-prinsip keadilan yang akan menguntungkan semua orang, tanpa memikirkan kepentingan pribadi mereka.

2. Rasionalitas

Para perunding dianggap rasional, artinya mereka akan memilih prinsip-prinsip yang mereka yakini akan memaksimalkan kesejahteraan mereka, terutama dalam situasi yang tidak pasti. Dalam kondisi ini, mereka akan cenderung memilih aturan yang memberikan perlindungan dan keuntungan bagi mereka, terlepas dari posisi mereka di masyarakat nanti.

3. Kesepakatan atas Prinsip-Prinsip Keadilan

Dalam Posisi Asali, para perunding akan menyepakati prinsip-prinsip keadilan yang dianggap paling adil dan dapat diterima oleh semua. Rawls mengemukakan dua prinsip keadilan utama:

a. Prinsip Kebebasan

 Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan yang sama, sejauh kebebasan tersebut tidak mengganggu kebebasan orang lain.

b. Prinsip Perbedaan

Ketidaksetaraan dalam pendapatan dan kekayaan dapat diterima hanya jika itu memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat.

Dengan menggunakan Posisi Asali, Rawls berargumen bahwa individu yang rasional, ketika dihadapkan pada situasi yang adil dan tanpa bias, akan menyetujui prinsip-prinsip yang menciptakan sistem keadilan yang tidak hanya mengutamakan kesejahteraan individu, tetapi juga melindungi dan meningkatkan posisi mereka yang paling kurang beruntung. 

Pendekatan ini menekankan pentingnya keadilan sebagai hasil dari kesepakatan yang didasarkan pada kesetaraan dan rasa saling menghormati di antara semua anggota masyarakat.

Dalam kerangka pemikiran John Rawls, Posisi Asali adalah titik awal untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip keadilan dapat disepakati secara adil. Dalam eksperimen pemikiran ini, para perunding berkumpul untuk memilih prinsip-prinsip keadilan yang akan mengatur institusi-institusi sosial dan ekonomi di mana mereka akan hidup.

 Dalam konteks ini, Rawls menetapkan sejumlah asumsi dan kondisi untuk memastikan bahwa proses pengambilan keputusan ini bebas dari bias dan ketidakadilan.

1. Pengetahuan Dasar

Para perunding dalam Posisi Asali memiliki pengetahuan dasar tentang kondisi manusia dan masyarakat. Mereka memahami bahwa manusia memiliki kebutuhan, keinginan, dan keterbatasan. Mereka juga menyadari fakta-fakta dasar tentang ekonomi dan sosiologi, termasuk adanya kelangkaan sumber daya yang moderat. Ini berarti bahwa meskipun ada cukup sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar semua orang, tidak ada cukup sumber daya untuk memenuhi semua keinginan secara berlebihan.

2. Selubung Ketidaktahuan (Veil of Ignorance)

Agar keputusan yang diambil benar-benar adil, para perunding ditempatkan di bawah "selubung ketidaktahuan." Ini adalah kondisi di mana mereka tidak mengetahui informasi pribadi tentang diri mereka yang dapat mempengaruhi keputusan mereka. Beberapa fakta yang tidak mereka ketahui meliputi:

a. Konsepsi tentang kehidupan yang baik

Mereka tidak tahu nilai-nilai atau tujuan hidup yang mereka anggap penting, sehingga mereka tidak dapat memihak pada satu pandangan hidup atau filosofi tertentu.

b. Doktrin agama atau filosofis

Mereka tidak mengetahui keyakinan agama atau filosofis yang mungkin akan mereka anut, sehingga mereka tidak akan memilih prinsip yang hanya menguntungkan satu doktrin.

c. Status sosial atau kelas

Mereka tidak tahu posisi sosial yang akan mereka lahirkan, apakah sebagai orang kaya, miskin, atau kelas menengah, sehingga keputusan mereka tidak akan bias terhadap kepentingan kelompok tertentu.

d. Bakat alami dan nilainya

Mereka tidak menyadari bakat atau kemampuan yang akan mereka miliki, atau seberapa berharganya bakat tersebut dalam masyarakat, sehingga mereka tidak akan membuat keputusan yang lebih menguntungkan bagi individu dengan bakat tertentu.

Dengan menerapkan selubung ketidaktahuan, Rawls memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh para perunding adalah hasil dari pertimbangan yang rasional dan adil. Mereka akan cenderung memilih prinsip-prinsip keadilan yang melindungi semua orang, termasuk mereka yang berada dalam posisi yang paling rentan. 

Dalam kondisi ketidakpastian ini, individu yang rasional akan menyadari bahwa mereka mungkin akan berada di posisi yang paling tidak menguntungkan, sehingga mereka akan lebih cenderung untuk mendukung prinsip-prinsip yang menciptakan sistem yang adil dan menguntungkan bagi semua.

Dengan demikian, Posisi Asali dan selubung ketidaktahuan menjadi alat bagi Rawls untuk mengembangkan teori keadilan yang tidak hanya mengutamakan efisiensi atau keuntungan individu, tetapi juga memastikan perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat.

John Rawls mengusulkan dua prinsip dasar keadilan yang akan disepakati oleh para pihak dalam Posisi Asali, dengan fokus pada menciptakan sistem yang adil dan setara untuk semua orang. Berikut adalah penjelasan mengenai kedua prinsip tersebut, terutama prinsip kedua yang menarik perhatian kita:

1. Kebebasan Dasar yang Setara

Prinsip pertama menegaskan bahwa setiap individu berhak atas seperangkat kebebasan dasar yang setara. Ini mencakup kebebasan untuk berbicara, beragama, berkumpul, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Kebebasan ini haruslah kompatibel, artinya kebebasan satu orang tidak boleh mengurangi kebebasan orang lain. Dalam konteks ini, Rawls menekankan pentingnya menjaga kebebasan individu sebagai landasan dari masyarakat yang adil.

2. Prinsip Perbedaan

Prinsip kedua, yang dikenal sebagai Prinsip Perbedaan, berfokus pada ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Rawls mengemukakan dua kondisi di mana ketidaksetaraan dapat diterima:

a. Ketidaksetaraan harus memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung. Ini berarti bahwa setiap sistem atau kebijakan yang menciptakan ketidaksetaraan harus dipertimbangkan dari segi dampaknya terhadap kelompok yang paling rentan. Dengan kata lain, jika ada ketidaksetaraan dalam pendapatan atau kekayaan, hal itu harus berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan bagi mereka yang berada di posisi terendah.

b. Kedudukan-kedudukan dalam masyarakat harus terbuka bagi semua orang dalam kondisi kesetaraan kesempatan yang adil. Ini berarti bahwa semua individu, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, atau karakteristik pribadi lainnya, harus memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi atau sumber daya yang lebih tinggi dalam masyarakat. Ini mengharuskan adanya sistem pendidikan dan peluang kerja yang adil serta akses yang setara terhadap sumber daya.

3. Mengapa Prinsip Perbedaan Cenderung kepada Fairnessaria

 Rawls akan cenderung memilih Fairnessaria daripada Wealthmaximizia berdasarkan prinsip perbedaan:

a. Wealthmaximizia

Menunjukkan ketidaksetaraan yang ekstrim, di mana pekerja tidak terampil hanya mendapatkan $15.000, sedangkan pekerja terampil dan profesional mendapatkan pendapatan yang jauh lebih tinggi. Dalam hal ini, meskipun total kekayaan lebih besar, pekerja tidak terampil tetap dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan dan tidak mendapatkan manfaat dari ketidaksetaraan tersebut.

b. Fairnessaria

Di sisi lain, memberikan pendapatan yang lebih baik kepada semua kelompok, termasuk pekerja tidak terampil ($20.000), pekerja terampil ($50.000), dan profesional ($100.000). Dalam masyarakat ini, semua kelompok menerima manfaat yang lebih baik, dan ketidaksetaraan yang ada tidak menciptakan kesenjangan yang terlalu besar.

Dengan demikian, Rawls menekankan bahwa sistem keadilan yang baik tidak hanya mempertimbangkan total kekayaan atau pendapatan, tetapi juga bagaimana kekayaan tersebut didistribusikan. Prinsip Perbedaan memprioritaskan peningkatan kesejahteraan bagi mereka yang paling tidak beruntung, dan dalam hal ini, Fairnessaria lebih sesuai dengan prinsip tersebut dibandingkan Wealthmaximizia. 

Rawls berargumen bahwa keadilan harus diukur tidak hanya dari segi keseluruhan kekayaan, tetapi dari dampaknya terhadap mereka yang paling rentan dalam masyarakat.

Rawls berpendapat bahwa dalam Posisi Asali, para perunding akan memilih Prinsip Perbedaan sebagai upaya untuk memastikan keadilan dan perlindungan bagi semua anggota masyarakat, terutama mereka yang berada dalam posisi paling tidak beruntung. Berikut adalah penjelasan tentang mengapa para perunding cenderung memilih prinsip ini dan bagaimana konsep kondisi minimum berperan:

1. Pilihan Berdasarkan Kondisi Minimum

Rawls berargumen bahwa para perunding, dalam keadaan ketidaktahuan tentang status sosial dan ekonomi mereka, akan mencari untuk menjamin kondisi minimum yang tertinggi bagi semua orang. Dalam konteks ini, "kondisi minimum" merujuk pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang paling rendah yang akan mereka terima. Prinsip Perbedaan memastikan bahwa ketidaksetaraan yang mungkin ada dalam masyarakat tetap memberikan manfaat bagi mereka yang berada di posisi terendah.

Kehidupan yang bersahaja, Rawls menekankan pentingnya menjaga agar kondisi minimum ini cukup untuk hidup yang bersahaja, yang mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan layanan kesehatan. Ini menciptakan jaminan bahwa setiap individu, tanpa memandang posisi sosialnya, akan memiliki akses untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

2. Menghindari Risiko

Dalam Posisi Asali, para perunding tidak mengetahui distribusi pendapatan di masyarakat yang mungkin mereka masuki. Misalnya, dalam sistem Wealthmaximizia, meskipun ada kemungkinan besar bahwa sebagian besar orang akan menghasilkan pendapatan yang sangat tinggi (misalnya, 999 dari 1.000 orang menghasilkan $100.000 atau lebih), para perunding tidak memiliki jaminan bahwa mereka akan termasuk dalam kelompok tersebut. Ketidaktahuan ini menciptakan ketidakpastian yang signifikan.

Menghindari ketidakpastian, dengan tidak mengetahui persentase orang yang berada di setiap kelompok pendapatan, para perunding akan lebih cenderung untuk menghindari risiko yang mungkin mengakibatkan mereka terjebak dalam kondisi yang sangat buruk. Jika mereka memiliki informasi tentang distribusi pendapatan yang menguntungkan sebagian besar orang, mereka mungkin lebih berani memilih sistem tersebut. Namun, dalam situasi di mana mereka tidak memiliki informasi tersebut, mereka cenderung memilih sistem yang menjamin hasil minimum yang lebih baik.

3. Memilih Keamanan dan Keadilan

Maka dari itu, memilih Prinsip Perbedaan memungkinkan para perunding untuk memastikan bahwa, apa pun yang terjadi, mereka akan memiliki jaminan kondisi yang lebih baik daripada yang mungkin mereka peroleh di bawah sistem lain. Keputusan ini tidak hanya mencerminkan keinginan untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keadilan dan solidaritas dalam masyarakat.

Dengan demikian, Rawls berargumen bahwa para perunding di Posisi Asali, dengan mengandalkan Prinsip Perbedaan, secara rasional akan memilih untuk menciptakan masyarakat yang menekankan kesejahteraan bagi semua, terutama bagi mereka yang paling tidak beruntung. Dalam hal ini, mereka lebih memilih untuk menjamin kondisi minimum yang lebih baik daripada mengambil risiko dalam sistem yang tidak pasti, seperti Wealthmaximizia, yang mungkin tidak memberikan manfaat yang sama bagi semua orang. Prinsip ini memberikan landasan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Prinsip Perbedaan yang diajukan oleh John Rawls bersifat prioritarian, bukan egalitarian. Ini berarti bahwa fokus utamanya adalah memberikan prioritas kepada kesejahteraan kelompok yang paling tidak beruntung dalam masyarakat. Berikut adalah penjelasan mengenai sifat prioritarian dari Prinsip Perbedaan dan implikasinya terhadap ketidaksetaraan:

1. Prioritas untuk yang Paling Tidak Beruntung

Prinsip Perbedaan menetapkan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dapat diterima jika ketidaksetaraan tersebut memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung. Dalam konteks ini, Rawls menekankan bahwa kebijakan dan sistem sosial harus dirancang untuk memastikan bahwa individu-individu dalam posisi terendah (misalnya, pekerja tidak terampil) menerima keuntungan yang paling besar dari ketidaksetaraan yang ada.

Rawls berpendapat bahwa, meskipun ketidaksetaraan mungkin ada, yang lebih penting adalah bagaimana hasil dari ketidaksetaraan tersebut memengaruhi mereka yang paling rentan. Ini berarti bahwa perbaikan dalam kondisi hidup orang-orang yang tidak beruntung harus menjadi prioritas utama.

2. Ketidaksetaraan Radikal yang Dapat Diterima

Sifat prioritarian dari Prinsip Perbedaan memungkinkan untuk adanya ketidaksetaraan yang signifikan dalam masyarakat. Rawls mengakui bahwa untuk mendorong inovasi, investasi, dan pertumbuhan ekonomi, beberapa tingkat ketidaksetaraan mungkin diperlukan. Namun, ketidaksetaraan ini harus dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling tidak beruntung.

 Dalam konteks ini, Rawls tidak membatasi ketidaksetaraan pada tingkat tertentu. 

Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa ketidaksetaraan radikal yang lebih besar dari yang pernah ada sebelumnya di dunia mungkin dapat diterima jika ketidaksetaraan tersebut mengarah pada peningkatan kesejahteraan bagi kelompok yang paling tidak beruntung. Ini mengarah pada pemikiran bahwa jika, misalnya, pengusaha atau profesional mendapatkan kekayaan yang sangat besar, tetapi ini juga berarti bahwa pekerja tidak terampil mendapat manfaat dari peluang kerja dan akses terhadap layanan yang lebih baik, maka ketidaksetaraan tersebut bisa dianggap sah.

3. Bedanya dengan Egalitarianisme

Egalitarianisme berfokus pada pencapaian kesetaraan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya, sehingga setiap individu menerima bagian yang sama dari manfaat masyarakat. Dalam pandangan egalitarian, ketidaksetaraan sering kali dianggap tidak adil, terlepas dari dampaknya terhadap kelompok yang lebih rendah.

Dalam hal ini, Prinsip Perbedaan Rawls berbeda dari pandangan egalitarian karena ia tidak berusaha untuk menghilangkan ketidaksetaraan, melainkan untuk memastikan bahwa ketidaksetaraan yang ada diarahkan untuk memberikan manfaat yang maksimal bagi mereka yang paling tidak beruntung. 

Rawls mengakui bahwa kehidupan yang lebih baik untuk yang beruntung secara sosial atau ekonomi tidak harus mengorbankan kesejahteraan mereka yang kurang beruntung, tetapi harus menyertainya.

Dengan demikian, Prinsip Perbedaan mencerminkan pendekatan prioritarian dalam menanggapi masalah keadilan sosial. Ia memungkinkan untuk adanya ketidaksetaraan yang lebih besar dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kelompok yang paling tidak beruntung, sehingga mengedepankan prinsip keadilan yang mempertimbangkan hasil sosial dan ekonomi secara lebih holistik. 

Rawls berpendapat bahwa dengan memastikan bahwa keuntungan dari ketidaksetaraan mengalir kepada mereka yang paling rentan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.

Pandangan John Rawls tentang keadilan mencakup pemahaman mendalam tentang timbal balik dalam hubungan sosial dan ekonomi. Dalam konteks ini, Prinsip Keadilan Kedua Rawls menekankan bahwa klaim keadilan seseorang atas sumber daya atau hasil produksi masyarakat harus didasarkan pada kontribusi mereka terhadap proses produksi tersebut. Berikut adalah penjelasan tentang prinsip ini dan implikasinya:

1. Keadilan sebagai Timbal Balik

Rawls memahami keadilan sebagai suatu bentuk timbal balik yang adil, di mana individu memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari hasil produksi sosial jika mereka berkontribusi terhadapnya. Dalam hal ini, keadilan tidak hanya dilihat sebagai pembagian yang adil, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap peran individu dalam masyarakat.

Menurut Rawls, Anda memiliki klaim keadilan atas "produk sosial" hanya jika Anda berpartisipasi dalam proses produksi tersebut. Konsep ini menggarisbawahi pentingnya kontribusi dalam masyarakat; jika seseorang tidak terlibat dalam produksi, klaim mereka atas hasil produksi itu menjadi lebih lemah.

2. Kewajiban terhadap Mereka yang Tidak Berkontribusi

Rawls mengakui bahwa ada individu yang mungkin tidak dapat berkontribusi, seperti mereka yang memiliki cacat fisik atau mental yang serius. Dalam situasi ini, Rawls berpendapat bahwa meskipun kita mungkin memiliki kewajiban moral untuk berbuat baik kepada mereka, kewajiban tersebut bersifat moral dan bukan karena klaim keadilan.

Rawls menyarankan bahwa kita mungkin memiliki kewajiban alami untuk membantu dan menunjukkan kasih sayang kepada individu yang tidak mampu berkontribusi. Namun, ini bukanlah kewajiban keadilan. Dengan kata lain, meskipun ada rasa tanggung jawab sosial untuk membantu mereka yang kurang beruntung, bantuan tersebut tidak dapat diartikan sebagai kewajiban keadilan dalam konteks kontribusi.

3. Implikasi terhadap Distribusi Sumber Daya

Prinsip ini memiliki implikasi penting dalam bagaimana masyarakat seharusnya mendistribusikan sumber daya. Rawls berargumen bahwa sumber daya tidak seharusnya dialokasikan secara sembarangan kepada mereka yang tidak dapat berkontribusi. Sebaliknya, distribusi sumber daya harus didasarkan pada kontribusi individu kepada masyarakat.

Dalam pandangan Rawls, menyediakan sumber daya kepada individu yang tidak berkontribusi dapat dilihat sebagai bentuk derma, yang bersifat altruistik, bukan sebagai keadilan. Keadilan seharusnya melibatkan pengakuan dan penghargaan terhadap peran yang dimainkan oleh individu dalam masyarakat, dan distribusi harus mencerminkan kontribusi tersebut.

Dengan demikian, prinsip keadilan kedua Rawls menekankan bahwa keadilan bukan hanya tentang membagikan sumber daya secara merata, tetapi lebih tentang memberikan klaim kepada mereka yang telah berkontribusi terhadap masyarakat. 

Rawls mengakui bahwa dalam konteks moral, kita memiliki kewajiban untuk membantu mereka yang tidak dapat berkontribusi, tetapi ini bukanlah kewajiban keadilan. Sebagai hasilnya, sistem sosial dan ekonomi yang adil harus memprioritaskan kontribusi dan membedakan antara klaim keadilan dan tindakan kebaikan hati.

Prinsip-prinsip keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls, meskipun sangat berpengaruh dalam teori politik dan filsafat moral, bersifat abstrak dan memerlukan penerapan praktis dalam konteks dunia nyata. Berikut adalah penjelasan mengenai sifat abstrak dari prinsip-prinsip ini dan tantangan yang dihadapi dalam penerapannya:

1. Abstrak dan Teoretis

Prinsip-prinsip keadilan Rawls, terutama Prinsip Kebebasan dan Prinsip Perbedaan, memberikan kerangka kerja yang ideal untuk mencapai keadilan sosial. Namun, sifatnya yang abstrak berarti bahwa prinsip-prinsip ini tidak secara langsung memberi tahu kita bagaimana menciptakan sistem sosial dan ekonomi yang konkret.

Penerapan prinsip-prinsip ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang spesifik. Misalnya, untuk menentukan institusi-institusi yang sesuai dengan prinsip keadilan, kita perlu melakukan analisis sosial dan empiris yang luas.

2. Tantangan dalam Penerapan

Menerapkan prinsip-prinsip keadilan Rawls ke dalam kebijakan publik atau struktur institusi melibatkan tantangan yang signifikan:

a. Pengetahuan Ilmiah Sosial

Diperlukan banyak pengetahuan ilmiah sosial untuk memahami dinamika pasar, perilaku individu, dan interaksi sosial. Penelitian tentang bagaimana masyarakat berfungsi dan bagaimana kebijakan tertentu mempengaruhi hasil sosial adalah kunci untuk menerapkan prinsip-prinsip Rawls dengan benar.

b. Asumsi tentang Pasar dan Pemerintah

Rawls percaya bahwa prinsip-prinsip keadilannya dapat diwujudkan melalui masyarakat pasar yang sangat teregulasi. Namun, keefektifan pendekatan ini sangat bergantung pada asumsi-asumsi tertentu, seperti:

1) Fungsi Pasar

Asumsi bahwa pasar dapat berfungsi dengan baik dan bahwa regulasi pemerintah dapat memperbaiki kegagalan pasar untuk mencapai hasil yang adil.

2) Kemampuan Pemerintah

Asumsi bahwa pemerintah dapat mengatur pasar secara efektif tanpa terjebak dalam praktik korupsi atau bias yang merugikan kelompok tertentu.

3. Konsekuensi dari Penerapan yang Tidak Tepat

Jika prinsip-prinsip keadilan Rawls tidak diterapkan dengan cara yang benar, ada risiko bahwa upaya untuk menciptakan keadilan sosial dapat menghasilkan hasil yang tidak diinginkan:

a. Ketidakadilan

 Implementasi yang buruk dapat memperburuk ketidakadilan, di mana kelompok-kelompok tertentu masih mendapat manfaat yang tidak proporsional dibandingkan dengan yang lain.

b. Ketidakpuasan Sosial

Jika penerapan prinsip-prinsip keadilan tidak menghasilkan hasil yang diharapkan, hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan ketidakpercayaan terhadap institusi.

Secara keseluruhan, prinsip-prinsip keadilan Rawls memberikan kerangka kerja yang bermanfaat untuk berpikir tentang keadilan sosial, tetapi penerapan praktisnya memerlukan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial dan ekonomi yang kompleks. 

Keberhasilan penerapan prinsip-prinsip ini tergantung pada konteks tertentu dan kemampuan institusi untuk mewujudkan tujuan keadilan yang ditetapkan oleh Rawls. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan pengetahuan empiris dan analisis sosial dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip keadilan secara efektif.

G. A. Cohen, seorang filsuf Marxis terkemuka, mengemukakan kritik terhadap pandangan keadilan John Rawls dengan menyoroti kelemahan dalam pendekatan Rawls terhadap kesetaraan ekonomi. Berikut adalah penjelasan mengenai kritik Cohen terhadap Rawls:

1. Kritik terhadap Prinsip Perbedaan

Cohen berargumen bahwa prinsip keadilan Rawls, terutama Prinsip Perbedaan, tidak cukup kuat untuk membenarkan ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat. Menurut Cohen, Rawls menerima ketidaksetaraan sebagai suatu hal yang sah, asalkan ketidaksetaraan tersebut memberikan manfaat bagi mereka yang paling tidak beruntung. Namun, Cohen mempertanyakan mengapa ketidaksetaraan ini dibenarkan sama sekali, jika tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Bagi Cohen, tujuan utama dari keadilan sosial haruslah kesetaraan yang substansial, bukan hanya kesetaraan formal. Ia berargumen bahwa dalam masyarakat yang benar-benar adil, tidak hanya harus ada kesetaraan dalam kesempatan, tetapi juga dalam hasil ekonomi. 

Dengan kata lain, setiap orang harus memiliki sumber daya yang cukup untuk hidup sejahtera, dan ini tidak dapat dicapai melalui mekanisme yang memperbolehkan ketidaksetaraan.

2. Kritik terhadap Sifat Manusia

Cohen juga berpendapat bahwa Rawls mengakomodasi "bagian-bagian buruk" dari sifat manusia dalam teorinya. Dengan menerima ketidaksetaraan sebagai sesuatu yang diperlukan untuk memotivasi individu untuk bekerja keras dan menggunakan bakat mereka, Rawls dianggap memberikan alasan bagi ketidakadilan yang seharusnya tidak diterima.

Cohen meyakini bahwa dalam masyarakat yang ideal dan benar-benar adil, semua orang dapat memiliki akses yang sama terhadap sumber daya tanpa perlu mengandalkan ketidaksetaraan untuk mendorong produktivitas. Ia berpendapat bahwa jika masyarakat diatur dengan cara yang benar, nilai-nilai solidaritas dan kerja sama dapat menggantikan kebutuhan untuk memotivasi individu melalui ketidaksetaraan.

3. Konsekuensi Moral dan Etis

Cohen menganggap bahwa menerima ketidaksetaraan sebagai suatu keharusan, seperti yang dilakukan Rawls, menciptakan konsekuensi moral dan etis yang negatif. Dengan mengizinkan ketidaksetaraan, masyarakat tidak hanya gagal dalam menciptakan keadilan sosial, tetapi juga membiarkan praktik yang tidak adil terus berlanjut.

Cohen menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dalam menciptakan masyarakat yang adil. Ia berargumen bahwa setiap individu memiliki klaim moral terhadap kekayaan sosial, yang harus didistribusikan secara adil di antara semua anggota masyarakat. Dalam pandangan ini, menegakkan kesetaraan adalah bukan hanya sebuah ideal, tetapi suatu kewajiban moral yang harus dipenuhi oleh masyarakat.

Kritik G. A. Cohen terhadap John Rawls menunjukkan bahwa meskipun prinsip-prinsip keadilan Rawls memberikan kerangka kerja yang berguna untuk berpikir tentang keadilan sosial, mereka mungkin tidak cukup kuat untuk menghadapi tantangan yang diajukan oleh ketidaksetaraan. 

Dengan menekankan perlunya kesetaraan substansial dan mengkritik penerimaan ketidaksetaraan, Cohen mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali apa arti keadilan dalam konteks ekonomi dan sosial. Bagi Cohen, tujuan akhir dari keadilan sosial haruslah menciptakan masyarakat di mana semua orang tidak hanya setara dalam kesempatan, tetapi juga dalam hasil dan kesejahteraan.

Kritik G. A. Cohen terhadap argumen John Rawls mengenai keadilan dan ketidaksetaraan menyoroti pandangan idealis yang diusung Rawls tentang "masyarakat yang tertata dengan baik." Berikut adalah penjelasan mengenai pandangan Cohen terhadap tujuan Rawls dan argumentasinya mengenai ketidaksetaraan:

1. Masyarakat yang Tertata dengan Baik

Rawls mendefinisikan "masyarakat yang tertata dengan baik" sebagai masyarakat di mana semua individu secara kolektif peduli terhadap keadilan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam konteks ini, setiap anggota masyarakat memiliki komitmen untuk memastikan bahwa sistem sosial dan ekonomi berfungsi dengan cara yang adil dan seimbang.

Dalam masyarakat yang tertata dengan baik, warga negara diharapkan untuk tidak hanya mengikuti hukum, tetapi juga untuk aktif berpartisipasi dalam mencapai dan mempertahankan keadilan. Dengan kata lain, setiap individu harus berusaha untuk memperbaiki keadaan bagi semua orang dan tidak hanya memikirkan keuntungan pribadi mereka.

2. Kritik terhadap Pandangan Egois

Cohen berargumen bahwa Rawls, dengan membenarkan ketidaksetaraan sebagai cara untuk meningkatkan kondisi semua orang, tampaknya berasumsi bahwa individu secara alami egois dan tidak peduli terhadap keadilan. Cohen merasa bahwa pendekatan ini tidak mencerminkan potensi manusia yang lebih baik dan ideal.

 Cohen menekankan bahwa dalam masyarakat yang benar-benar adil, individu akan memiliki komitmen intrinsik untuk keadilan, bukan hanya sekadar motivasi egois untuk mendapatkan keuntungan dari ketidaksetaraan. Jika semua orang berkomitmen untuk mencapai keadilan, maka tidak perlu ada ketidaksetaraan yang dibenarkan.

3. Argumen Keadilan yang Konsisten

Menurut Cohen, jika kita mengakui bahwa individu memiliki komitmen untuk keadilan dalam masyarakat yang tertata dengan baik, maka semua orang seharusnya berusaha untuk mencapai kesetaraan yang lebih besar, bukan menerima ketidaksetaraan yang dibenarkan. Cohen berpendapat bahwa jika semua orang peduli terhadap keadilan, maka kebijakan yang memperbolehkan ketidaksetaraan tidak hanya tidak perlu, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan itu sendiri.

Cohen percaya bahwa dalam masyarakat yang berorientasi pada keadilan, tanggung jawab untuk menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan bagi semua adalah kewajiban moral. Masyarakat yang ideal harus didasarkan pada prinsip bahwa setiap individu berhak atas sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, tanpa harus bergantung pada ketidaksetaraan untuk memotivasi pertumbuhan atau produktivitas.

Kritik Cohen terhadap Rawls mengajak kita untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi dasar mengenai sifat manusia dan komitmen terhadap keadilan dalam konteks sosial. Dengan mengklaim bahwa dalam masyarakat yang tertata dengan baik, setiap orang akan berkomitmen untuk mencapai keadilan, Cohen menekankan pentingnya kesetaraan yang substansial sebagai tujuan akhir. 

Ia mendorong kita untuk melihat keadilan bukan hanya sebagai sistem yang memperbolehkan ketidaksetaraan untuk keuntungan bersama, tetapi sebagai sebuah kewajiban moral yang harus dijunjung oleh setiap individu dalam masyarakat.

Pernyataan ini menggambarkan kritik terhadap pandangan John Rawls tentang ketidaksetaraan dalam masyarakat, terutama dalam konteks komitmen individu terhadap keadilan dan kesejahteraan kolektif. Berikut adalah penjelasan mengenai kritik ini:

1. Pandangan tentang Ketidaksetaraan

Cohen mengkritik bahwa Rawls mengizinkan ketidaksetaraan sebagai cara untuk meningkatkan keadaan semua orang, namun argumen ini mungkin bertentangan dengan ideal keadilan yang sejati. Dalam pandangan Rawls, ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan jika itu berdampak positif bagi yang paling tidak beruntung. Namun, kritik Cohen berfokus pada dua aspek:

a. Kewajiban Moral

Cohen berpendapat bahwa orang-orang yang berbakat dan memiliki kemampuan yang lebih harus merasa terikat oleh kewajiban moral untuk menggunakan bakat mereka demi kebaikan semua orang. Mereka seharusnya tidak hanya berfokus pada keuntungan pribadi, tetapi juga pada kontribusi mereka terhadap masyarakat. Jika mereka berkomitmen pada keadilan, mereka seharusnya bekerja keras untuk semua orang tanpa mengharapkan imbalan yang lebih besar.

b. Penghapusan Ketidaksetaraan yang Tidak Perlu

Jika individu yang berbakat memahami keadilan sebagai komitmen untuk kesejahteraan kolektif, mereka mungkin akan setuju bahwa ketidaksetaraan yang tidak perlu tidak seharusnya ada. Dalam pandangan ini, seharusnya tidak ada alasan bagi mereka untuk mengharapkan imbalan yang lebih tinggi hanya berdasarkan bakat mereka. Jika semua orang bekerja untuk tujuan yang sama, ketidaksetaraan menjadi tidak perlu dan tidak dapat dibenarkan.

2. Komitmen terhadap Keadilan

Cohen menginginkan pandangan yang lebih idealis tentang keadilan. Ia berpendapat bahwa dalam masyarakat yang benar-benar adil, individu seharusnya saling mendukung dan bekerja untuk kesejahteraan satu sama lain, terlepas dari perbedaan bakat dan kemampuan. Dalam hal ini, orang-orang yang berbakat seharusnya tidak merasa perlu untuk meminta imbalan lebih, karena mereka memilih untuk menggunakan bakat mereka untuk kebaikan bersama.

Cohen berargumen bahwa keadilan seharusnya menjadi pilihan moral yang dijunjung tinggi oleh setiap individu. Dalam masyarakat yang ideal, setiap orang harus merasa terikat untuk bekerja demi kesejahteraan bersama dan memperjuangkan keadilan, bukan hanya mengejar kepentingan pribadi.

3. Kritik Terhadap Teori Keadilan Rawls

Cohen menganggap bahwa argumen Rawls tentang ketidaksetaraan sebagai hal yang dapat diterima hanya jika itu bermanfaat bagi semua orang, bukan merupakan teori keadilan yang konsisten. Menurutnya, jika Rawls benar-benar menginginkan masyarakat yang adil, maka semua individu, termasuk yang berbakat, harus berkomitmen untuk menciptakan kesetaraan dan menghilangkan ketidaksetaraan yang tidak perlu.

 Kritik ini menimbulkan pertanyaan apakah Rawls mampu menjawab tantangan ini dengan cara yang memadai. Jika ketidaksetaraan dibenarkan hanya dalam konteks memperbaiki keadaan semua orang, apakah itu cukup untuk mendefinisikan keadilan? Cohen berpendapat bahwa prinsip-prinsip keadilan seharusnya menuntut lebih dari sekadar menjamin bahwa yang paling tidak beruntung diuntungkan oleh ketidaksetaraan; seharusnya ada upaya aktif untuk mencapai kesetaraan yang lebih substansial.

Kritik Cohen terhadap Rawls menunjukkan bahwa pendekatan Rawls mungkin tidak mencerminkan prinsip keadilan yang lebih dalam, di mana semua individu---terutama mereka yang berbakat---seharusnya memiliki komitmen moral untuk bekerja demi kesejahteraan bersama. Dalam pandangan Cohen, ketidaksetaraan tidak seharusnya menjadi bagian dari keadilan; sebaliknya, keadilan harus berfokus pada penciptaan kesetaraan yang lebih besar dan menghilangkan ketidaksetaraan yang tidak perlu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun