“Kenapa harus kamu sih, Ga? Baru ketemu aja sudah bikin hari aku lebih buruk,” balas Alya sambil melipat tangan di dadanya, alisnya terangkat tinggi.
Arga mengangkat bahunya, ekspresinya datar seperti biasa. “Aku nggak minta ketemu kamu juga. Jalanmu aja yang nggak hati-hati.”
Mereka berdua sering bertemu, tapi setiap pertemuan selalu diwarnai dengan argumen kecil. Bukannya tak kenal, mereka adalah teman masa kecil, tetangga yang sering kali terpaksa menghabiskan waktu bersama saat masih kecil. Namun, seiring bertambahnya usia, hubungan mereka lebih mirip seperti kucing dan anjing.
Alya mendesah, merasa hari ini semakin melelahkan. “Kamu dapat proyek kelompok juga, kan?”
“Iya,” jawab Arga singkat, seolah tak peduli.
“Harapanku, semoga kamu bukan partner aku. Aku butuh yang bisa diajak kerja sama,” kata Alya dengan nada sinis.
Arga tersenyum tipis, tatapan matanya tetap tenang. “Kamu beruntung, Alya. Ternyata aku partner kamu.”
Alya terdiam sejenak, lalu menatap Arga dengan ekspresi tak percaya. “Kamu serius?”
Arga mengangguk pelan. “Aku juga nggak suka ini. Tapi ya, mau gimana lagi. Kita berdua harus menyelesaikan ini bersama.”
Alya menahan diri untuk tidak berteriak frustrasi. Dari semua orang di kelasnya, kenapa harus Arga? Orang yang paling sering membuatnya kesal! Semakin dipikirkan, semakin ia merasa hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya.
“Kita harus mulai bekerja besok, siapkan waktumu,” ujar Arga sambil melirik jam tangannya. Tanpa menunggu jawaban dari Alya, dia berbalik dan berjalan pergi.