Mentari pagi bersinar terang, seolah enggan melewatkan momen penting dalam keluarga Bagus. Di ruang tamu sederhana, Linda tengah membantu Bagus mengenakan kemeja batik lusuh. Karin, yang sudah rapi dengan seragam kampusnya, berdiri di samping mereka.
"Ayah sudah siap?" tanya Karin lembut.
Bagus tersenyum, meski guratan lelah masih terlihat di wajahnya. "Sudah, Nak. Ayo berangkat."
Mereka bertiga berjalan kaki menuju rumah sakit jiwa. Hari ini adalah hari terakhir Bagus menjalani perawatan inap. Dokter menyatakan kondisi Bagus sudah cukup stabil dan bisa melanjutkan pemulihan di rumah.
Perjalanan menuju rumah sakit dipenuhi keheningan. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Linda mengenang perjuangan berat yang telah mereka lalui, Karin memikirkan masa depannya, dan Bagus dihantui rasa bersalah yang tak kunjung padam.
Sesampainya di rumah sakit, perawat membantu Bagus membereskan barang-barangnya. Suasana haru menyelimuti mereka saat mengucapkan salam perpisahan kepada para perawat dan pasien lain yang sudah dianggap keluarga.
Keluar dari gerbang rumah sakit, Bagus langsung terkesiap. Di hadapannya, bukan lagi rumah megah yang dulu mereka tempati, melainkan sebuah kontrakan sederhana berpagar kayu reyot. Linda sigap menjelaskan.
"Maaf, Yah," lirih Linda. "Rumah kita terpaksa dijual untuk melunasi sebagian hutang."
Bagus mengangguk pelan. Ia paham konsekuensi dari tindakannya. Ia tak lagi berhak mengeluh.
"Tapi, kita masih punya keluarga," lanjut Linda, suaranya bergetar. "Kita bisa memulai semuanya lagi, bersama-sama."
Karin, yang selama ini diam saja, mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Bagus erat. "Iya, Yah. Ayo kita bangun rumah tanpa tembok, rumah yang penuh cinta dan kebersamaan."