Bagus menatap Karin dan Linda bergantian. Air matanya mengalir tak tertahan. Ia sadar, meski banyak hal yang telah hilang, cinta keluarganya adalah harta yang tak ternilai dan tak bisa direnggut oleh siapa pun.
Dengan langkah mantap, Bagus memasuki rumah kontrakan sederhana itu. Ia tak lagi memikirkan kekuasaan, jabatan, apalagi mimpi yang telah pupus. Kini, yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan keluarganya, kebahagiaan yang ia janjikan dan nyaris gagal ia wujudkan.
Mungkin, rumah mereka tak lagi berdinding megah, namun dengan cinta dan kebersamaan, mereka yakin bisa membangun kembali kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang diwarnai keikhlasan, kesederhanaan, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.
Bab 6: Aroma Nasi Pecel dan Bisikan Masa Depan
Setahun berlalu sejak Bagus keluar dari rumah sakit jiwa. Kehidupan mereka jauh dari kata mewah, namun dipenuhi kehangatan dan rasa syukur. Mereka menghuni kontrakan sederhana, namun terasa luas karena dipenuhi cinta dan tawa.
Linda tetap berjualan nasi pecel, tapi kini ia dibantu oleh Bagus. Gerobak mereka selalu ramai pembeli, tak hanya karena rasanya yang lezat, tapi juga karena keramahan mereka.
Suatu sore, saat jam pulang kantor, Anton datang berkunjung. Wajahnya sumringah, tak seperti dulu yang tampak muram dan tertekan.
"Wah, ramai sekali!" seru Anton, matanya berbinar melihat antrean pembeli.
Linda dan Bagus tersenyum ramah. "Silahkan duduk, Ton," kata Linda, mempersilakan Anton duduk di bangku plastik yang disediakan.
"Sudah lama nih kita nggak ngobrol," ujar Anton. "Oh ya, aku mau kasih kabar baik."
Bagus dan Linda saling pandang, penasaran.