"Kita harus bawa dia ke dokter jiwa," bisik Anton kepada Linda, suaranya bergetar.
Linda mengangguk setuju, air mata kembali mengalir di pipinya. Mimpi suaminya menjadi anggota dewan, kini tak hanya berujung pada kehancuran finansial, tapi juga berpotensi membawa mereka ke jurang kehancuran yang lebih dalam.
Bab 3: Jeruji dan Jeritan Pilu
Rumah sakit jiwa daerah Ponorogo itu hening, sesekali diselingi oleh jeritan dan gumaman para pasien. Linda, dengan tatapan kosong, duduk di ruang tunggu. Ia baru saja mengantar Bagus ke ruang pemeriksaan. Dokter yang menangani Bagus mengatakan suaminya mengalami gangguan jiwa akibat stress berat.
Pikiran Linda melayang ke masa lalu. Ia teringat perjuangan Bagus selama kampanye. Hari-hari yang melelahkan, uang yang mengalir deras, dan janji-janji manis yang terucap dari bibir para tim sukses.
"Bu, kalau Pak Bagus menang, kita bisa hidup enak," bujuk Anton kala itu, "Kita bisa bangun rumah baru, Karin bisa kuliah di luar negeri."
Linda, yang kala itu terlena oleh mimpi dan ambisi, tak kuasa menolak bujukan Anton dan tim sukses lainnya. Ia merelakan perhiasannya untuk digadaikan, tanah warisan orang tuanya pun terpaksa diikutkan. Kini, melihat Bagus terbaring lemah di ruang pemeriksaan, Linda diliputi rasa penyesalan yang mendalam.
"Bu Linda?" panggil seorang perawat, suaranya lembut. "Bapak Bagus sudah selesai diperiksa. Dokter ingin bicara dengan Anda."
Linda bangkit, kakinya terasa lemas. Ia mengikuti perawat itu menuju ruang dokter. Di sana, dokter menjelaskan kondisi Bagus dan rencana perawatan yang akan dijalani.
"Bu," kata dokter itu dengan nada prihatin, "kondisi mental Bapak Bagus cukup terganggu. Beliau membutuhkan perawatan intensif dan pendampingan psikologis yang baik."
Linda tertunduk lesu. "Berapa biayanya, Dok?"