Pikiran Bagus semakin kacau. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan pahit ini. Tekanan batin yang teramat berat perlahan menggerogoti kewarasannya. Senyum getir kembali terlukis di bibirnya, senyum yang tak lagi mampu menyembunyikan keputusasaan yang menguasai dirinya.
"Tenanglah, Bu," gumam Bagus, suaranya bergetar. "Ayah akan memikirkan cara untuk menyelesaikan semuanya."
Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, Bagus sendiri tak yakin dengan ucapannya. Mimpi yang selama ini ia perjuangkan, kini berubah menjadi mimpi buruk yang menghantuinya.
Bab 2: Bisikan Para Penagih
Hari-hari berlalu bagai siksaan bagi Bagus. Ia mengurung diri di kamar, enggan bertemu siapa pun. Linda, yang khawatir dengan kondisi suaminya, tak henti-hentinya mencoba mengajak Bagus bicara. Namun, Bagus hanya terdiam, tatapannya kosong, seolah jiwanya telah melayang ke tempat yang jauh.
Suatu pagi, Linda dibangunkan oleh suara gaduh dari ruang tamu. Ia bergegas keluar dan mendapati beberapa pria berbadan kekar tengah duduk di sofa. Wajah mereka garang, tatapan mereka tajam menusuk ke arah Linda.
"Ibu Linda Priyono?" tanya salah satu pria itu, suaranya berat.
Linda mengangguk pelan, meski hatinya berdebar cemas. "Betul, ada apa ya?"
"Kami dari PT. Makmur Jaya," kata pria itu lagi. "Kami ingin bertemu dengan Bapak Bagus Priyono."
"Suami saya sedang tidak enak badan," jawab Linda terbata-bata. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Begini, Bu," pria itu melanjutkan, "Bapak Bagus memiliki hutang kepada perusahaan kami sebesar 200 juta rupiah. Sesuai perjanjian, hari ini adalah batas waktu pelunasan."