Linda terkesiap. Jumlah yang disebutkan pria itu terbilang fantastis. Ia tahu suaminya memang berhutang untuk kampanye, tapi ia tak menyangka jumlahnya sebesar itu.
"Bapak... Bapak bisa tunggu dulu?" pinta Linda lirih. "Suami saya sedang dalam kondisi sulit saat ini."
Pria itu mendengus. "Kami sudah cukup sabar, Bu. Kami sudah kasih toleransi selama seminggu. Kalau dalam tempo satu jam, hutang itu belum dilunasi, kami terpaksa mengambil tindakan sesuai dengan perjanjian."
Linda nyaris pingsan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak memiliki uang sebesar itu, apalagi saat ini Bagus seperti orang linglung. Dengan gemetar, Linda menghubungi Anton, sahabat sekaligus tim sukses Bagus selama kampanye.
Tak lama kemudian, Anton datang tergopoh-gopoh. Ia terkejut melihat Linda yang tampak pucat dan para penagih yang duduk dengan wajah garang. Setelah mendengar penjelasan Linda, Anton menghela napas panjang.
"Tenang dulu, Bu Linda," hibur Anton. "Saya coba bicara dengan mereka."
Anton lantas menemui para penagih itu. Percakapan mereka berlangsung alot. Anton berusaha bernegosiasi, meminta penundaan pelunasan atau keringanan pembayaran. Namun, para penagih itu bergeming. Mereka tetap kukuh menagih hutang tersebut.
Buntu dengan perdebatan, Anton terpaksa mengajak para penagih itu masuk ke kamar Bagus. Ia berharap Bagus bisa diajak bicara dan menyelesaikan masalah ini.
Namun, sesampainya di kamar, mereka mendapati pemandangan yang mengejutkan. Bagus tengah berbicara sendiri, matanya melotot, air liurnya meleleh di pipi. Ia terlihat mengacungkan tangan ke udara, seolah tengah berdebat dengan seseorang yang tak terlihat.
"Ayah... Ayah tidak gila!" teriak Bagus histeris. "Ayah hanya ingin kursi itu! Kursi itu yang akan menyelamatkan kita semua!"
Linda dan Anton saling pandang, kengerian terpancar di wajah mereka. Kondisi Bagus yang tak terurus dan tekanan batin yang berat akibat kekalahan pemilu, tampaknya telah berdampak pada kesehatan mentalnya.