"Ayah... gagal, Karin," Bagus berbisik, suaranya parau. "Ayah tidak jadi anggota dewan."
Karin mengernyit bingung. "Gagal? Maksudnya gagal apa, Yah?"
Bagus menarik napas dalam. "Pemilu, Nak. Ayah kalah dalam pemilihan anggota dewan."
Karin terdiam sejenak, menyerap informasi tersebut. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Tapi... kan selama ini Ayah selalu bilang, kalau menang, Karin bisa kuliah di luar negeri?"
Bagus tertunduk, rasa sesak semakin menghimpit dadanya. Ia teringat janji-janjinya pada Karin, janji yang kini terasa hampa. Janji yang diucapkan dengan penuh keyakinan, yang kini musnah ditelan kekalahan.
"Maafkan Ayah, Karin. Ayah... Ayah belum bisa mewujudkan mimpi itu sekarang," lirih Bagus.
Karin terisak pelan, air mata mengalir membasahi pipinya. Bagus semakin mengeratkan pelukannya, berusaha meredam tangis sang putri sekaligus menahan gejolak emosi di dadanya sendiri.
Tiba-tiba, suara derap langkah tergesa-gesa memecah suasana haru di beranda. Linda, istri Bagus, muncul dengan wajah panik. "Gus, kamu lihat berita di koran itu?!" serunya histeris.
Bagus melepaskan pelukannya pada Karin. "Sudah Ibu tahu," jawabnya datar.
Linda ternganga. "Kamu... kamu tidak apa-apa? Bagaimana dengan semua uang yang kita keluarkan? Bagaimana dengan hutang-hutang itu?!" cecarnya bertubi-tubi.
Bagus terdiam seribu bahasa. Pertanyaan Linda menohok kesadarannya. Ya, kekalahan ini bukan hanya pukulan telak bagi harga dirinya, tapi juga bencana finansial bagi keluarganya. Ratusan juta rupiah yang ia gelontorkan untuk kampanye, kini terasa sia-sia. Belum lagi hutang yang ia pinjam sana-sini untuk memuluskan ambisinya.