Sinopsis
Bagus Priyono, seorang pengusaha sukses di Ponorogo, tergoda untuk terjun ke dunia politik. Ia mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Ponorogo pada Pemilu 2024. Demi meraih kursi, Bagus rela menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk kampanye. Ia bahkan rela menjaminkan asetnya dan berhutang kepada banyak orang. Namun, ambisi Bagus kandas. Ia gagal mendapatkan kursi di DPRD. Kekalahan ini membawa Bagus ke jurang kehancuran.
 Ia dihantui rasa frustrasi, stress, dan depresi. Hutang-hutangnya yang menumpuk semakin memperparah kondisinya. Tertekan oleh kenyataan pahit ini, Bagus perlahan kehilangan akal sehatnya. Ia menjadi pemurung, paranoid, dan sering mengamuk. Kehidupannya yang dulunya stabil dan harmonis berubah menjadi kacau balau. Hutang Kursi, Gila Kekuasaan menceritakan kisah tragis Bagus Priyono, seorang caleg gagal yang terjerat dalam ambisi dan ketamakan. Novel ini mengeksplorasi sisi gelap dunia politik dan dampaknya pada individu yang terobsesi dengan kekuasaan.Â
Bab 1: Mimpi yang Berubah Mimpi Buruk
Angin malam Ponorogo berdesir menerpa wajah Bagus Priyono yang tegang. Lelaki paruh baya itu berdiri tegak di beranda rumahnya, sorot matanya kosong menatap kerlip lampu jalanan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Di tangan kanannya, tergenggam erat koran lokal dengan berita terpampang di halaman depan: "Hasil Tetap Pemilu 2024: Kursi DPRD Kabupaten Ponorogo Dipenuhi Wajah Lama."
Bagus meremas koran itu hingga lusuh. Dadanya sesak, hatinya bagai tertusuk ribuan jarum. Mimpi yang selama ini ia rintihkan, yang ia bayar dengan segunung uang dan tetesan keringat, pupus sudah. Ia gagal. Gagal melenggang ke gedung DPRD Kabupaten Ponorogo sebagai anggota dewan terhormat.
"Ayah," panggil Karin, putri semata wayangnya, lirih. Suaranya memecah keheningan malam, membuyarkan lamunan Bagus. Karin berdiri di ambang pintu, matanya sembap bekas menangis.
Bagus menoleh, memaksakan senyum getir. "Belum tidur, Karin?"
Karin menggeleng pelan. "Ayah kenapa? Mama bilang Ayah belum makan dari tadi sore."
Bagus melangkah mendekati sang putri, merangkulnya erat. Aroma khas sampo Karin yang selalu ia sukai, kini tak mampu meredakan gurat kekecewaan di hatinya. Ia tak tega melihat kesedihan di wajah Karin, tapi ia pun tak sanggup berbohong.