Mohon tunggu...
agusprasetyo
agusprasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa pascasarjana unma banten

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peran Teori Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

22 Januari 2025   17:39 Diperbarui: 22 Januari 2025   17:39 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PERAN TEORI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Agus Prasetyo, SH.

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mathla'ul Anwar Banten

email: agoespras3tyo@gmail.com

ABSTRAK

Teori hukum berfungsi sebagai kerangka acuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Teori ini memberikan panduan tentang bagaimana hukum seharusnya dibentuk, diterapkan, dan diinterpretasikan. Dalam konteks Indonesia, terdapat berbagai teori hukum yang berpengaruh, seperti positivisme hukum, realisme hukum, dan teori hukum progresif. Positivisme hukum, yang dipelopori oleh Hans Kelsen, menekankan bahwa hukum adalah seperangkat norma yang ditetapkan oleh otoritas yang sah. Sementara itu, realisme hukum, yang dikembangkan oleh Oliver Wendell Holmes, menekankan pentingnya praktik hukum dan dampaknya terhadap masyarakat. Teori-teori ini memberikan landasan bagi legislator dalam merumuskan undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.

Kata Kunci: Unma Banten, Pascasarjana, Firmancandra, Teori Hukum

ABSTRACT

Legal theory functions as a frame of reference in the formation of laws and regulations. This theory provides guidance on how law should be formed, applied, and interpreted. In the Indonesian context, there are various influential legal theories, such as legal positivism, legal realism, and progressive legal theory. Legal positivism, pioneered by Hans Kelsen, emphasizes that law is a collection of norms established by legitimate authorities. Meanwhile, legal realism, developed by Oliver Wendell Holmes, emphasizes the importance of legal practice and its impact on society. These theories provide a basis for legislators in formulating laws that suit the needs and developments of contemporary society.

Keywords: Unma Banten, Postgraduate, Firmancandra, Legal Theory

PENDAHULUAN

Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem hukum di Indonesia. Sebagai produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif, peraturan ini berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menjamin kepastian hukum. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 1 ayat 3, Indonesia adalah negara hukum, yang berarti bahwa semua tindakan pemerintah dan masyarakat harus berdasarkan hukum.

Teori hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam konteks ini, teori hukum tidak hanya berfungsi sebagai landasan filosofis, tetapi juga sebagai alat analisis yang membantu dalam merumuskan, mengembangkan, dan mengevaluasi regulasi yang ada. Dalam sistem hukum Indonesia, yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, teori hukum menjadi acuan dalam menciptakan peraturan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum.

Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dalam sistem hukum dan perundang-undangan, terutama setelah reformasi pada tahun 1998. Perubahan ini mendorong perlunya peninjauan kembali terhadap teori-teori hukum yang ada dan bagaimana penerapannya dalam konteks Indonesia. Sebagai contoh, munculnya teori hukum progresif, yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, menekankan perlunya hukum untuk tidak hanya menjadi alat kontrol sosial, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai keadilan sosial.[1] Teori ini menjadi relevan dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap dinamika sosial masyarakat.

Dalam artikel ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai peran teori hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, dengan fokus pada beberapa teori hukum yang signifikan dan contoh-contoh konkret dalam praktik legislasi. Dengan memahami peran teori hukum, diharapkan kita dapat lebih menghargai pentingnya proses legislasi yang tidak hanya formal, tetapi juga substansial dalam menciptakan hukum yang berkeadilan.

METODE PENELITIAN

Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana akan menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penulisan artikel ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan bentuk penelitian kepustakaan. Penulis menggunakan data sekunder sebagai pendekatan penelitian normatif yang mencari dan menggunakan bahan kepustakaan seperti tulisan-tulisan karya ilmiah maupun jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku tentang hak asasi manusia sebagai referensi dan juga mempelajari perundang-undangan berkenaan dengan hak asasi manusia.

PEMBAHASAN

Definisi dan Klasifikasi Teori Hukum

Pengertian Teori Hukum Menurut Para Ahli 

Teori hukum merupakan suatu kajian yang berupaya menjelaskan dan menganalisis hukum sebagai suatu sistem yang kompleks. Menurut Hans Kelsen (1960), teori hukum adalah studi tentang norma-norma hukum yang membentuk tatanan sosial. Kelsen menekankan pentingnya memahami hukum dalam konteks norma yang saling berhubungan dan berfungsi untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam bukunya "General Theory of Law and State", Kelsen menyatakan bahwa hukum tidak hanya sekadar aturan, tetapi juga mencakup nilai-nilai yang mendasari keberadaan aturan tersebut.[2]

Selanjutnya, H.L.A. Hart (1961) dalam karya terkenalnya "The Concept of Law" menjelaskan bahwa teori hukum mencakup analisis tentang struktur dan fungsi hukum dalam masyarakat. Hart berargumen bahwa hukum terdiri dari aturan primer yang mengatur perilaku individu dan aturan sekunder yang mengatur pengakuan, perubahan, dan penegakan hukum. Dengan demikian, teori hukum berperan penting dalam memahami bagaimana hukum beroperasi dan berfungsi dalam konteks sosial yang lebih luas.[3]

Dalam perspektif Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja (1982) menekankan bahwa teori hukum harus mempertimbangkan konteks budaya dan sosial masyarakat Indonesia. Ia berpendapat bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai lokal dan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat. Dalam bukunya "Hukum dan Pembangunan", Kusumaatmadja menyatakan bahwa teori hukum harus mampu menjembatani antara norma hukum yang berlaku dan realitas sosial yang ada.[4]

Selain itu, Robert Alexy (2002) dalam bukunya "A Theory of Legal Argumentation" mengemukakan bahwa teori hukum juga berkaitan erat dengan argumen hukum dan bagaimana hukum diterapkan dalam praktik. Alexy menekankan bahwa teori hukum harus mampu memberikan panduan dalam pengambilan keputusan hukum yang adil dan berkeadilan. Ia berargumen bahwa hukum tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memerlukan penalaran dan argumentasi yang baik untuk mencapai keadilan (Alexy, 2002, hlm. 30).[5]

Dari berbagai pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori hukum memiliki pengertian yang luas dan kompleks. Teori hukum tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan norma-norma hukum, tetapi juga berperan dalam memahami konteks sosial, budaya, dan nilai-nilai yang mendasari hukum itu sendiri. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang teori hukum sangat penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, agar hukum yang dihasilkan dapat mencerminkan keadilan dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Fungsi teori hukum dalam sistem hukum

Teori hukum memiliki beberapa fungsi penting dalam sistem hukum, terutama dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, teori hukum berfungsi sebagai landasan filosofis yang memberikan arah dan tujuan bagi pembentukan hukum. Tanpa adanya teori hukum yang jelas, proses legislasi dapat menjadi tidak terarah dan kehilangan makna. Sebagai contoh, jika sebuah peraturan dibuat tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan, maka peraturan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat.

Kedua, teori hukum berfungsi sebagai alat analisis yang membantu para pembuat kebijakan untuk mengevaluasi dan mengkritisi peraturan yang ada. Dengan menggunakan teori hukum, para legislator dapat menilai apakah suatu peraturan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Hal ini sangat penting dalam konteks Indonesia, di mana banyak peraturan perundang-undangan yang sering kali dianggap tidak konsisten atau bahkan bertentangan satu sama lain. Misalnya, dalam kasus sengketa antara peraturan daerah dan undang-undang nasional, teori hukum dapat membantu menyelesaikan konflik tersebut dengan merujuk pada hierarki norma hukum.

Ketiga, teori hukum juga berfungsi sebagai pedoman dalam penegakan hukum. Dalam praktiknya, penegak hukum sering kali dihadapkan pada situasi yang kompleks di mana mereka harus membuat keputusan berdasarkan hukum yang ada. Teori hukum dapat memberikan panduan bagi penegak hukum dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan yang berlaku, sehingga keputusan yang diambil dapat lebih adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.

Keempat, teori hukum berperan dalam pendidikan hukum dan pembentukan kesadaran hukum di masyarakat. Dengan memahami teori hukum, masyarakat dapat lebih kritis terhadap hukum dan peraturan yang ada. Hal ini penting untuk menciptakan masyarakat yang sadar hukum, di mana setiap individu memahami hak dan kewajiban mereka. Sebagai contoh, pendidikan hukum di sekolah-sekolah dapat membantu generasi muda untuk memahami pentingnya hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Terakhir, teori hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan hukum itu sendiri. Dalam konteks globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, teori hukum dapat membantu merumuskan peraturan yang relevan dengan perkembangan zaman. Misalnya, dengan adanya perkembangan teknologi informasi, teori hukum dapat digunakan untuk merumuskan peraturan yang mengatur penggunaan data pribadi dan privasi di era digital. Dengan demikian, teori hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat analisis, tetapi juga sebagai pendorong inovasi dalam sistem hukum.

Klasifikasi Teori Hukum 

Teori Hukum Positif 

Teori Hukum Positif merupakan salah satu pendekatan utama dalam memahami dan menganalisis hukum yang berlaku di suatu negara. Teori ini berfokus pada hukum yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, seperti pemerintah dan badan legislatif, serta hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Hans Kelsen (1967), dalam bukunya yang berjudul "Pure Theory of Law", hukum positif adalah hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat, terlepas dari pertimbangan moral atau etika. Kelsen menekankan bahwa hukum harus dipahami sebagai suatu sistem norma yang saling terkait, yang dibentuk dan ditegakkan oleh otoritas yang sah. 

Fungsi utama dari teori hukum positif adalah memberikan kerangka kerja bagi pembuatan dan penerapan hukum. Dalam konteks Indonesia, teori ini sangat relevan mengingat sistem hukum yang dianut adalah sistem hukum positif. Hal ini terlihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga legislatif, seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai undang-undang yang mengatur aspek kehidupan masyarakat. Misalnya, Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang bertujuan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja, merupakan contoh konkret dari penerapan teori hukum positif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.[6] 

Teori hukum positif juga berperan dalam menciptakan kepastian hukum. Dengan adanya peraturan yang jelas dan tegas, masyarakat dapat memahami hak dan kewajiban mereka. Sebagai contoh, dalam kasus sengketa tanah antara masyarakat dan pengembang, penerapan hukum positif yang jelas dapat membantu menyelesaikan konflik tersebut melalui mekanisme hukum yang telah ditetapkan, sehingga mengurangi ketidakpastian yang mungkin timbul. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2020, sekitar 70% masyarakat mengaku merasa lebih aman dan nyaman ketika hukum yang berlaku jelas dan transparan.[7] 

Namun, kritik terhadap teori hukum positif juga muncul, terutama terkait dengan keterbatasan dalam menjawab masalah-masalah sosial yang kompleks. Beberapa ahli berpendapat bahwa teori ini cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan yang seharusnya menjadi bagian dari hukum. Misalnya, dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, penerapan hukum positif yang kaku sering kali tidak mampu memberikan keadilan bagi korban. Sebuah studi oleh Amnesty International pada tahun 2021 menunjukkan bahwa meskipun ada peraturan yang melindungi hak asasi manusia, pelanggaran masih sering terjadi karena kurangnya penegakan hukum yang efektif.[8] 

Dalam konteks Indonesia, penting untuk mengintegrasikan teori hukum positif dengan pendekatan lain, seperti teori hukum sosial dan teori hukum kritikal, untuk menciptakan sistem hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk melakukan reformasi hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, teori hukum positif tidak hanya berfungsi sebagai dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan, tetapi juga sebagai alat untuk mendorong perubahan sosial yang lebih baik. 

Teori Hukum Alam

Teori Hukum Alam merupakan salah satu klasifikasi dalam teori hukum yang berakar pada pemahaman bahwa ada norma-norma moral dan etika yang bersifat universal dan tidak tergantung pada hukum positif yang berlaku di suatu negara. Teori ini berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip moral yang dianggap sebagai bagian dari "alam" itu sendiri. Menurut Thomas Aquinas (1965), hukum alam adalah bagian dari hukum ilahi yang mengatur perilaku manusia dan dapat dikenali melalui akal budi.[9] 

Dalam konteks Indonesia, teori hukum alam memiliki relevansi yang cukup signifikan, terutama dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Misalnya, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mengandung nilai-nilai moral yang diharapkan dapat menjadi acuan dalam pembuatan hukum. Pancasila mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan persatuan yang merupakan cerminan dari hukum alam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya sekadar aturan yang dibuat oleh manusia, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai yang dianggap benar dan adil oleh masyarakat. 

Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap hukum yang berlandaskan pada moralitas. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2020, sekitar 70% responden setuju bahwa hukum harus mencerminkan nilai-nilai moral yang diterima oleh masyarakat.[10] Hal ini menunjukkan bahwa ada harapan dari masyarakat agar hukum yang dibentuk tidak hanya bersifat formal, tetapi juga substansial dalam menciptakan keadilan. 

Namun, tantangan yang dihadapi dalam penerapan teori hukum alam di Indonesia adalah adanya perbedaan pandangan mengenai nilai-nilai moral yang dianggap universal. Berbagai kelompok masyarakat memiliki interpretasi yang berbeda mengenai apa yang dianggap baik dan benar, sehingga dapat menimbulkan konflik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, penting bagi pembuat undang-undang untuk melakukan dialog dan musyawarah yang inklusif agar dapat mencapai kesepakatan mengenai nilai-nilai yang akan dijadikan acuan dalam hukum. 

Secara keseluruhan, teori hukum alam memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan menekankan pentingnya nilai-nilai moral dan etika, teori ini mendorong agar hukum yang dihasilkan tidak hanya sekadar kumpulan aturan, tetapi juga mencerminkan keadilan dan kemanusiaan yang diharapkan oleh masyarakat. Sebagai langkah ke depan, penting untuk terus mengembangkan pemahaman akan teori ini dalam konteks hukum di Indonesia agar dapat menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan berkelanjutan. 

Teori Hukum Sosial

Teori Hukum Sosial merupakan salah satu pendekatan dalam memahami hukum yang menekankan pada interaksi sosial dan konteks masyarakat dalam pembentukan dan penerapan hukum. Teori ini berfokus pada bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat dan bagaimana hukum dapat mencerminkan nilai-nilai sosial yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, teori ini sangat relevan mengingat keragaman budaya, adat, dan norma sosial yang ada di berbagai daerah.

Salah satu ciri khas dari Teori Hukum Sosial adalah penekanan pada aspek keadilan sosial. Menurut Soerjono Soekanto, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pengatur, tetapi juga sebagai instrumen untuk mencapai keadilan sosial dalam masyarakat.[11] Dalam konteks ini, hukum harus mampu merespons kebutuhan masyarakat dan memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Sebagai contoh, dalam kasus pengesahan Undang-Undang Perlindungan Anak, terdapat upaya untuk melindungi hak-hak anak yang sering kali terabaikan dalam sistem hukum yang ada.

Menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2021, terdapat lebih dari 4.000 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan. Hal ini menunjukkan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas dan efektif untuk melindungi anak-anak di Indonesia. Teori Hukum Sosial berperan penting dalam mendorong legislator untuk menciptakan peraturan yang lebih berpihak kepada anak dan masyarakat yang rentan.

Lebih lanjut, Teori Hukum Sosial juga menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan hukum. Dalam konteks Indonesia, partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sangat penting untuk memastikan bahwa hukum yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Misalnya, dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja, terdapat berbagai forum diskusi yang melibatkan masyarakat, pekerja, dan pengusaha untuk mendapatkan masukan yang konstruktif. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial di mana hukum itu berlaku. 

Teori Hukum Sosial juga menghadapi tantangan dalam implementasinya. Terkadang, terdapat kesenjangan antara teori dan praktik di lapangan. Meskipun ada peraturan yang dirancang untuk melindungi hak-hak sosial, sering kali pelaksanaannya tidak berjalan sesuai harapan. Sebagai contoh, meskipun Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis telah ada, diskriminasi masih sering terjadi di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan pekerjaan. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi dan penegakan hukum yang lebih baik untuk memastikan bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial. 

Teori Hukum Sosial memberikan perspektif yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan menekankan pada keadilan sosial, partisipasi masyarakat, dan konteks sosial, teori ini membantu memastikan bahwa hukum yang dihasilkan tidak hanya formalitas, tetapi juga mencerminkan realitas dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi para pembuat kebijakan dan praktisi hukum untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip dari Teori Hukum Sosial dalam setiap tahap proses legislasi. 

Teori Hukum Kritikal  

Teori Hukum Kritikal merupakan pendekatan yang berusaha untuk menganalisis dan mengevaluasi hukum dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi. Pendekatan ini tidak hanya melihat hukum sebagai seperangkat aturan yang harus diikuti, tetapi juga mempertanyakan struktur kekuasaan yang mendasari hukum tersebut. Teori ini berakar dari pemikiran kritis yang berusaha untuk mengungkapkan ketidakadilan dan ketimpangan yang ada dalam sistem hukum. Menurut P. G. McCormick, dalam bukunya "Critical Legal Studies: A Political History", teori hukum kritikal berfokus pada bagaimana hukum dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan bagaimana hukum itu sendiri dapat menjadi agen perubahan sosial.[12] 

Salah satu ciri khas dari teori hukum kritikal adalah penekanan pada konteks sosial di mana hukum beroperasi. Para penganut teori ini berargumen bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial yang ada. Sebagai contoh, dalam konteks Indonesia, hukum sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi yang mendominasi. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, di mana hukum sering kali digunakan untuk melindungi kepentingan tertentu daripada menegakkan keadilan. 

Teori Hukum Kritikal juga mengajak kita untuk mempertimbangkan dampak dari hukum terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Dalam konteks ini, hukum sering kali menciptakan atau memperkuat ketidakadilan sosial. Misalnya, dalam kasus penggusuran paksa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, hukum yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat sering kali digunakan untuk mendukung kepentingan pengembang properti. Penelitian oleh R. S. Putri (2019) dalam artikelnya "Hukum dan Ketidakadilan Sosial: Kasus Penggusuran di Jakarta" menunjukkan bahwa hukum sering kali berfungsi untuk mengesahkan tindakan yang merugikan masyarakat kecil, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan protes sosial.[13] 

Lebih jauh lagi, teori hukum kritikal juga mengkritisi ide-ide yang dianggap sebagai "kebenaran" dalam hukum. Dalam hal ini, teori ini berusaha untuk membongkar asumsi-asumsi yang mendasari hukum positif yang sering kali dianggap netral dan objektif. Misalnya, dalam kasus diskriminasi terhadap perempuan dalam hukum waris, teori hukum kritikal menyoroti bagaimana norma-norma budaya dan patriarki dapat mempengaruhi penerapan hukum waris yang seharusnya adil. 

Dengan demikian, teori hukum kritikal memberikan perspektif yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melalui analisis yang mendalam terhadap struktur kekuasaan dan dampak sosial dari hukum, teori ini dapat membantu pembuat kebijakan untuk merumuskan hukum yang lebih adil dan inklusif. Dalam konteks ini, penting bagi para pembuat undang-undang untuk tidak hanya mempertimbangkan aspek legalitas, tetapi juga implikasi sosial dari setiap kebijakan yang diambil. 

Peran Teori Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 

Teori Hukum Positif 

Prinsip-Prinsip Utama 

Teori hukum positif merupakan salah satu pendekatan penting dalam memahami dan menerapkan hukum dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara umum, teori ini menekankan bahwa hukum adalah seperangkat norma yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang dan diakui oleh masyarakat. Salah satu prinsip utama dari teori hukum positif adalah bahwa hukum bersifat objektif dan terpisah dari moralitas. Hal ini berarti bahwa suatu peraturan hukum dapat dianggap sah meskipun tidak sejalan dengan nilai-nilai moral atau etika tertentu yang dianut oleh masyarakat.[14] 

Prinsip kedua adalah bahwa hukum harus dapat diakses dan dipahami oleh masyarakat. Dalam konteks ini, peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus jelas, konsisten, dan mudah diinterpretasikan agar masyarakat dapat mematuhi dan menjalankannya. Hal ini juga mencakup pentingnya publikasi peraturan hukum yang memadai, sehingga masyarakat memiliki akses yang cukup untuk mengetahui dan memahami hukum yang berlaku.[15] 

Selanjutnya, teori hukum positif juga menekankan pentingnya sanksi sebagai elemen kunci dalam penegakan hukum. Setiap peraturan perundang-undangan harus dilengkapi dengan sanksi yang jelas bagi pelanggar, agar ada kepastian hukum dan efek jera bagi pihak-pihak yang tidak mematuhi hukum. Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam berbagai undang-undang yang mengatur sanksi administratif, pidana, maupun perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Prinsip keempat adalah bahwa hukum positif harus bersifat dinamis dan responsif terhadap perubahan masyarakat. Dalam konteks ini, pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mampu mengakomodasi perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi. Misalnya, dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang transaksi elektronik dan perlindungan data pribadi (UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). 

Teori hukum positif juga menekankan pentingnya prosedur dalam pembentukan hukum. Proses legislasi yang transparan dan partisipatif menjadi kunci untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan mencerminkan kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif di Indonesia memiliki peran penting dalam merumuskan dan mengesahkan undang-undang, termasuk melibatkan masyarakat dalam proses konsultasi publik. 

Salah satu contoh penerapan teori hukum positif dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang ini disusun dengan tujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan meningkatkan lapangan kerja. Dalam proses pembentukannya, pemerintah dan DPR menggunakan pendekatan hukum positif yang menekankan pentingnya kepatuhan terhadap prosedur legislasi yang telah ditetapkan, meskipun terdapat kritik dari berbagai kalangan masyarakat yang menilai bahwa undang-undang ini mengabaikan aspek perlindungan lingkungan dan hak-hak pekerja.[16] 

Dalam konteks ini, teori hukum positif menunjukkan bahwa hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi, meskipun sering kali dihadapkan pada tantangan dari perspektif sosial dan lingkungan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa setelah penerapan UU Cipta Kerja, terjadi peningkatan investasi sebesar 15% dalam sektor industri, meskipun di sisi lain, banyak pekerja yang melaporkan penurunan hak-hak mereka (BPS, 2022). Ini menggambarkan dinamika antara hukum positif dan realitas sosial yang ada di masyarakat. 

Selain itu, penerapan teori hukum positif juga terlihat dalam pengaturan terkait perlindungan data pribadi di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022. Undang-undang ini menekankan pentingnya kepatuhan terhadap norma-norma yang ditetapkan oleh negara dalam pengelolaan data pribadi, sehingga menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan teknologi informasi. Dalam hal ini, hukum positif berfungsi sebagai jaminan bagi individu untuk mendapatkan perlindungan atas data pribadi mereka, meskipun terdapat tantangan dalam implementasinya di lapangan.[17] 

Dengan demikian, teori hukum positif tidak hanya memberikan kerangka kerja bagi pembentukan peraturan perundang-undangan, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi tertentu. Namun, penting untuk diingat bahwa penerapan hukum positif harus tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 

Teori Hukum Alam

Konsep Keadilan dan Moralitas

Teori Hukum Alam merupakan salah satu pilar penting dalam kajian hukum yang menekankan bahwa hukum tidak hanya sekadar norma yang ditetapkan oleh manusia, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai moral dan keadilan universal. Konsep ini berakar pada pemikiran filsuf-filsuf besar seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas, yang berpendapat bahwa ada prinsip-prinsip moral yang inheren dalam alam semesta yang seharusnya menjadi dasar bagi pembentukan hukum.[18] 

Dalam konteks Indonesia, penerapan teori hukum alam sangat relevan, terutama dalam upaya untuk mencapai keadilan sosial. Misalnya, dalam proses legislasi, para pembuat undang-undang sering kali dihadapkan pada dilema moral ketika merumuskan aturan yang berdampak pada masyarakat luas. Salah satu contoh konkret adalah Undang-Undang Perlindungan Anak yang diundangkan pada tahun 2002. Dalam proses pembentukan undang-undang ini, nilai-nilai keadilan dan perlindungan hak anak menjadi pertimbangan utama, mencerminkan prinsip-prinsip hukum alam yang menuntut perlindungan terhadap kelompok yang paling rentan dalam masyarakat.[19] 

Data statistik menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kekerasan terhadap anak yang cukup tinggi. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2020 terdapat lebih dari 1.500 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada regulasi, tantangan dalam implementasi hukum tetap ada. Oleh karena itu, teori hukum alam mengingatkan kita bahwa hukum harus berfungsi untuk mencapai keadilan yang lebih tinggi, bukan hanya sebagai alat untuk menegakkan norma.[20] 

Lebih lanjut, konsep keadilan dalam teori hukum alam juga menekankan pentingnya moralitas dalam setiap aspek kehidupan hukum. Hal ini terlihat dalam upaya pemerintah untuk memberantas korupsi melalui berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. 

Dalam kesimpulannya, penerapan teori hukum alam dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia menunjukkan bahwa hukum harus berlandaskan pada nilai-nilai moral dan keadilan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap regulasi yang dihasilkan tidak hanya memenuhi aspek formalitas, tetapi juga mampu memberikan keadilan substantif bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, teori hukum alam berperan penting dalam membimbing proses legislasi agar selaras dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan moralitas.[21] 

Implikasi Terhadap Pembentukan Peraturan di Indonesia 

Teori Hukum Alam berakar pada pemahaman bahwa hukum tidak hanya merupakan produk dari kekuasaan manusia, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral dan keadilan yang universal. Dalam konteks Indonesia, penerapan teori ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara historis, nilai-nilai hukum alam telah menjadi bagian integral dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah reformasi 1998 yang menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. 

Salah satu implikasi utama dari teori hukum alam adalah penekanan pada keadilan sebagai landasan dalam pembentukan hukum. Dalam konteks ini, pembuat undang-undang di Indonesia dituntut untuk mempertimbangkan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Misalnya, dalam penyusunan Undang-Undang Perlindungan Anak, para legislator harus memperhatikan prinsip-prinsip keadilan sosial serta hak-hak anak yang diakui secara internasional, seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak (UNICEF, 1989). Ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya diatur oleh norma positif, tetapi juga oleh norma moral yang diakui secara luas. 

Selanjutnya, teori hukum alam juga mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan. Dalam konteks Indonesia, hal ini terlihat dari berbagai forum diskusi publik yang diadakan sebelum pengesahan undang-undang. Misalnya, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Iklim, pemerintah melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk LSM, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan tidak hanya sesuai dengan kepentingan politik, tetapi juga mencerminkan keadilan ekologis dan sosial.[22] 

Selain itu, teori hukum alam juga mengimplikasikan adanya pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan legislatif. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berperan penting dalam memastikan bahwa setiap undang-undang yang disahkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Sebagai contoh, dalam putusan-putusan tertentu, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan undang-undang yang dianggap diskriminatif atau melanggar hak-hak dasar warga negara, seperti pada kasus UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pernah dianggap tidak adil terhadap perempuan. 

Terakhir, penerapan teori hukum alam dalam pembentukan peraturan di Indonesia juga mengarah pada penguatan nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya dan agama, undang-undang yang dihasilkan diharapkan dapat mencerminkan keberagaman tersebut dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah konflik yang mungkin timbul akibat ketidakadilan dalam penerapan hukum. 

Teori Hukum Sosial 

Hubungan Antara Hukum dan Masyarakat 

Teori hukum sosial menekankan pentingnya hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, hukum tidak hanya dipandang sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh negara, tetapi juga sebagai refleksi dari nilai-nilai, norma, dan budaya masyarakat. Hukum berfungsi untuk mengatur interaksi sosial dan menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Friedman, hukum merupakan bagian dari budaya yang lebih luas dan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya.[23] Dalam hal ini, hukum berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ketidakadilan sosial masih menjadi isu yang signifikan di Indonesia. Misalnya, dalam laporan BPS tahun 2022, terdapat 9,54% penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini mencerminkan perlunya peraturan perundang-undangan yang tidak hanya bersifat formal, tetapi juga substantif, yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang terpinggirkan. Dalam konteks ini, teori hukum sosial berperan penting dalam mendorong pembentukan peraturan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. 

Contoh dari penerapan teori hukum sosial dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Undang-undang ini lahir sebagai respons terhadap kondisi sosial masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan bantuan dari negara. Dalam proses pembentukannya, berbagai elemen masyarakat, termasuk LSM dan komunitas lokal, dilibatkan untuk memberikan masukan. Hal ini mencerminkan bagaimana hukum dapat dibentuk melalui partisipasi masyarakat, sehingga lebih relevan dan sesuai dengan realitas sosial yang ada. 

Selanjutnya, hubungan antara hukum dan masyarakat juga terlihat dalam pengembangan hukum adat di Indonesia. Hukum adat, yang merupakan produk dari budaya lokal, sering kali diakui dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional. Misalnya, dalam beberapa kasus, pengadilan di Indonesia mengakui hukum adat dalam penyelesaian sengketa tanah, yang menunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan budaya di mana ia berada. Hal ini menunjukkan bahwa teori hukum sosial memberikan kontribusi signifikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih adil dan berorientasi pada masyarakat.

Dalam konteks global, teori hukum sosial juga berperan dalam mempengaruhi kebijakan publik di Indonesia. Misalnya, dalam isu perlindungan lingkungan, gerakan masyarakat sipil yang mengedepankan hak-hak lingkungan telah mendorong pemerintah untuk merumuskan peraturan yang lebih ketat terkait perlindungan lingkungan hidup. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan salah satu contoh di mana suara masyarakat dan kepentingan sosial diakomodasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum harus responsif terhadap dinamika sosial yang ada di masyarakat.

Dengan demikian, teori hukum sosial memiliki peran penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hukum tidak hanya sebagai instrumen formal, tetapi juga sebagai cerminan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat. Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara hukum dan masyarakat, diharapkan peraturan yang dihasilkan dapat lebih efektif dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Pengaruh Terhadap Kebijakan Publik dan Peraturan 

Teori Hukum Sosial berfokus pada interaksi antara hukum dan masyarakat, serta bagaimana hukum dapat mencerminkan dan mempengaruhi nilai-nilai sosial. Dalam konteks Indonesia, di mana pluralitas budaya dan nilai-nilai sosial sangat beragam, teori ini sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam pembentukan kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan. Hukum tidak hanya dilihat sebagai seperangkat aturan yang harus dipatuhi, tetapi juga sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. 

Salah satu contoh nyata dari pengaruh teori hukum sosial terhadap kebijakan publik di Indonesia dapat dilihat dalam pengembangan Undang-Undang Perlindungan Anak. Undang-undang ini tidak hanya didasarkan pada norma hukum yang ada, tetapi juga mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya yang melatarbelakangi perlunya perlindungan anak. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat setiap tahunnya, sehingga mendorong pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat (KPPPA, 2021). 

Di samping itu, teori hukum sosial juga berperan dalam pembentukan peraturan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Misalnya, dalam konteks pengaturan tentang kebebasan berekspresi, terdapat kebutuhan untuk menyeimbangkan antara hak individu dan kepentingan umum. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan pada tahun 2008, meskipun bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penyebaran informasi yang merugikan, juga menuai kritik terkait dengan potensi penyalahgunaan yang dapat membatasi kebebasan berekspresi.[24] 

Lebih jauh lagi, teori hukum sosial menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah mulai mengadopsi pendekatan partisipatif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Misalnya, dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja, pemerintah melibatkan berbagai stakeholder, mulai dari pengusaha, pekerja, hingga masyarakat sipil, untuk memberikan masukan yang konstruktif. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari konteks sosialnya dan harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat.[25] 

Terakhir, pengaruh teori hukum sosial juga terlihat dalam upaya pemerintah untuk menanggulangi isu-isu sosial yang mendesak, seperti kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Kebijakan pengentasan kemiskinan yang diusulkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengintegrasikan aspek sosial ke dalam kebijakan hukum. Dengan mengedepankan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pada kebutuhan masyarakat, diharapkan hukum dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan sosial yang lebih baik.[26] 

Dalam kesimpulannya, teori hukum sosial memberikan perspektif yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan memperhatikan konteks sosial dan budaya, serta melibatkan partisipasi masyarakat, hukum dapat berfungsi tidak hanya sebagai alat penegakan aturan, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Teori Hukum Kritikal  

Analisis Kritis Terhadap Hukum dan Kekuasaan 

Teori hukum kritikal merupakan pendekatan yang berfokus pada hubungan antara hukum dan kekuasaan, serta bagaimana hukum dapat menjadi alat untuk mempertahankan atau menantang struktur kekuasaan yang ada. Dalam konteks Indonesia, analisis kritis terhadap hukum sering kali mengungkapkan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai instrumen penegakan norma, tetapi juga sebagai sarana untuk mengatur dan mengontrol masyarakat. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai kasus di mana hukum digunakan untuk kepentingan politik atau untuk mempertahankan status quo. Misalnya, dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, sering kali hukum diinterpretasikan dan diterapkan secara selektif, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan kesetaraan di depan hukum. 

Dalam kajian ini, penting untuk memahami bahwa hukum tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terhubung dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi. Hukum dapat mencerminkan kepentingan kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi kelompok lain. Sebagai contoh, dalam kasus penggusuran masyarakat miskin untuk pembangunan infrastruktur, hukum sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan tersebut, meskipun secara etis dan moralitas, tindakan tersebut merugikan banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa analisis kritis terhadap hukum diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi ketidakadilan yang mungkin terjadi. 

Lebih lanjut, teori hukum kritikal juga menekankan pentingnya peran masyarakat dalam proses pembentukan hukum. Masyarakat harus dilibatkan dalam setiap tahap, mulai dari perumusan hingga penerapan hukum. Dengan demikian, analisis kritis terhadap hukum dan kekuasaan dapat mendorong terciptanya hukum yang lebih adil dan inklusif. 

Sehingga penting untuk diingat bahwa reformasi hukum di Indonesia tidak dapat terlepas dari analisis kritis terhadap hubungan antara hukum dan kekuasaan. Hanya dengan memahami dinamika ini, kita dapat mengidentifikasi kelemahan dalam sistem hukum yang ada dan mendorong perubahan yang lebih substantif. 

Peranan Dalam Reformasi Hukum di Indonesia 

Teori hukum kritikal berperan penting dalam mendorong reformasi hukum di Indonesia, terutama dalam konteks perubahan sosial dan politik yang terjadi di negara ini. Teori ini menekankan analisis mendalam terhadap hubungan antara hukum dan kekuasaan, serta bagaimana hukum sering kali digunakan untuk mempertahankan kepentingan kelompok tertentu. 

Salah satu contoh penerapan teori hukum kritikal dalam reformasi hukum di Indonesia adalah dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Sejak lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002, teori hukum kritikal memberikan perspektif baru untuk memahami bagaimana hukum dapat digunakan sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat sekaligus menantang kekuasaan yang korup. KPK, sebagai lembaga independen, berupaya untuk menegakkan hukum dengan cara yang lebih transparan dan akuntabel, dan hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang diusung oleh teori hukum kritikal.[27] 

Lebih jauh, teori hukum kritikal juga menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan hukum. Dalam konteks ini, gerakan masyarakat sipil di Indonesia, seperti yang terlihat dalam berbagai aksi protes dan advokasi hukum, menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat dapat berperan aktif dalam reformasi hukum. 

Selain itu, teori hukum kritikal juga mendorong penegakan hak asasi manusia (HAM) sebagai bagian integral dari reformasi hukum di Indonesia. Dalam banyak kasus, pelanggaran HAM sering kali terjadi dalam konteks kekuasaan yang tidak seimbang. Oleh karena itu, penerapan teori ini mendorong penguatan lembaga-lembaga yang bertugas untuk melindungi dan menegakkan HAM, seperti Komnas HAM dan lembaga-lembaga independen lainnya. 

Peran teori hukum kritikal dalam reformasi hukum di Indonesia juga terlihat dalam upaya untuk mendekonstruksi hukum yang diskriminatif. Dalam konteks ini, isu-isu seperti diskriminasi gender, ras, dan kelas sosial menjadi fokus utama. Teori ini menekankan pentingnya hukum yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua lapisan masyarakat. 

Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia 

Tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 

Inisiasi

Inisiasi merupakan tahap awal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada tahap ini, ide atau usulan untuk membuat peraturan baru muncul dari berbagai sumber, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun lembaga legislatif. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, inisiasi dapat dilakukan oleh Presiden, DPR, DPD, atau masyarakat melalui aspirasi yang disampaikan kepada lembaga terkait (UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 5). 

Data menunjukkan bahwa dalam periode 2015-2020, terdapat lebih dari 200 RUU yang diusulkan oleh DPR dan pemerintah, mencerminkan dinamika kebutuhan hukum yang terus berkembang di masyarakat (Badan Legislasi DPR RI, 2020). Contoh konkret dari tahapan inisiasi ini adalah RUU Cipta Kerja yang diusulkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan investasi. RUU ini menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap berbagai sektor. 

Proses inisiasi tidak hanya melibatkan pengusulan, tetapi juga memerlukan analisis mendalam mengenai isu yang akan diatur. Hal ini penting untuk memastikan bahwa peraturan yang akan dibentuk benar-benar relevan dan dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Misalnya, dalam inisiasi RUU Perlindungan Data Pribadi, berbagai stakeholder dilibatkan untuk memberikan masukan mengenai pentingnya perlindungan data di era digital (Kominfo, 2021). 

Inisiasi yang baik harus didasarkan pada data dan fakta yang akurat. Oleh karena itu, penggunaan survei dan penelitian menjadi penting untuk mendukung usulan yang diajukan. Dalam konteks ini, teori hukum berperan sebagai landasan untuk memahami norma-norma yang berlaku dan kebutuhan masyarakat yang harus diakomodasi. 

Tahap inisiasi menjadi sangat krusial dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena menentukan arah dan fokus dari peraturan yang akan disusun selanjutnya. 

Penyusunan 

Setelah tahap inisiasi, langkah berikutnya adalah penyusunan peraturan perundang-undangan. Pada tahap ini, draf peraturan disusun berdasarkan usulan yang telah diajukan. Penyusunan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk tim ahli, biro hukum, dan stakeholder terkait. Proses penyusunan harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, seperti kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.[28] 

Selama penyusunan, penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis dampak dari peraturan yang akan dibuat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kajian akademis dan konsultasi publik. Contoh nyata dari proses penyusunan ini adalah RUU Omnibus Law yang melibatkan banyak stakeholder dalam diskusi untuk merumuskan isi peraturan yang komprehensif dan tidak tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada (Kemenko Perekonomian, 2020). 

Dalam penyusunan, teori hukum berperan dalam memberikan kerangka berpikir yang sistematis. Misalnya, teori hukum positif menekankan pentingnya kepatuhan terhadap norma hukum yang berlaku, sedangkan teori hukum progresif mendorong pencarian solusi yang lebih inovatif untuk permasalahan hukum yang ada. Oleh karena itu, penyusunan peraturan tidak hanya sekadar merumuskan teks, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang lebih luas. 

Proses penyusunan juga harus memperhatikan aspek teknis, seperti bahasa hukum yang jelas dan mudah dipahami. Hal ini penting agar peraturan yang dihasilkan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. Ketidakjelasan dalam redaksi peraturan dapat menyebabkan multitafsir yang berpotensi menimbulkan sengketa hukum. 

Tahap penyusunan merupakan fase yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, di mana teori hukum berfungsi sebagai panduan untuk menghasilkan peraturan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pembahasan 

Pembahasan adalah tahap di mana draf peraturan yang telah disusun diperiksa dan didiskusikan oleh pihak-pihak terkait, termasuk DPR, pemerintah, dan stakeholder lainnya. Pada tahap ini, pembahasan dilakukan secara mendalam untuk mengevaluasi substansi, tujuan, dan dampak dari peraturan yang diusulkan. Proses ini sangat penting untuk memastikan bahwa peraturan yang akan disahkan benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Dalam pembahasan, teori hukum memainkan peran penting sebagai dasar argumentasi. Misalnya, dalam pembahasan RUU tentang Perlindungan Anak, berbagai teori hukum seperti teori hak asasi manusia dan teori keadilan sosial digunakan untuk mendukung argumen mengenai perlunya perlindungan yang lebih baik bagi anak-anak di Indonesia. Diskusi yang melibatkan berbagai perspektif hukum ini membantu menciptakan peraturan yang lebih komprehensif dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Statistik menunjukkan bahwa partisipasi publik dalam pembahasan peraturan semakin meningkat. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia, sekitar 70% masyarakat merasa penting untuk terlibat dalam proses pembahasan peraturan (LSI, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa pembahasan yang inklusif dapat meningkatkan legitimasi dan penerimaan masyarakat terhadap peraturan yang dihasilkan.

Pembahasan juga sering kali melibatkan penyampaian pendapat dari ahli hukum, akademisi, dan praktisi yang memiliki pengetahuan mendalam tentang isu yang dibahas. Pendapat mereka dapat memberikan perspektif yang lebih luas dan mendalam, serta membantu mengidentifikasi potensi masalah yang mungkin timbul dari peraturan yang diusulkan. 

Tahap pembahasan menjadi sangat krusial dalam memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Teori hukum berfungsi sebagai alat bantu dalam menganalisis dan merumuskan argumen yang kuat selama proses ini.
Pengesahan 

Setelah melalui tahapan inisiasi, penyusunan, dan pembahasan, tahap terakhir dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pengesahan. Pengesahan merupakan proses di mana draf peraturan yang telah disepakati oleh pihak-pihak terkait disetujui secara resmi oleh lembaga legislatif, dalam hal ini DPR. Proses ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa pengesahan dilakukan melalui rapat paripurna DPR (UU No. 12, 2011, Pasal 20). 

Pengesahan tidak hanya merupakan formalitas, tetapi juga merupakan langkah penting untuk memberikan legitimasi hukum terhadap peraturan yang dihasilkan. Dalam konteks ini, teori legitimasi hukum berperan untuk menjelaskan mengapa pengesahan oleh lembaga legislatif menjadi sangat penting. Tanpa pengesahan, peraturan tidak akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.[29] 

Statistik menunjukkan bahwa dalam periode 2015-2020, terdapat sekitar 150 peraturan perundang-undangan yang berhasil disahkan oleh DPR, mencerminkan efektivitas proses legislasi di Indonesia (Badan Legislasi DPR RI, 2020). Namun, tantangan yang dihadapi dalam proses pengesahan sering kali berkaitan dengan perbedaan pendapat antar fraksi di DPR, yang dapat menghambat proses legislasi. 

Setelah pengesahan, peraturan yang dihasilkan harus segera diundangkan untuk mulai berlaku. Proses ini juga harus dilakukan dengan transparan dan akuntabel, agar masyarakat dapat mengakses dan memahami peraturan yang baru disahkan. Dalam hal ini, teori hukum berperan untuk memastikan bahwa proses pengesahan dan pengundangan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. 

Tahap pengesahan merupakan puncak dari seluruh proses pembentukan peraturan perundang-undangan, di mana teori hukum berfungsi sebagai landasan untuk memberikan legitimasi dan kekuatan hukum terhadap peraturan yang telah disusun. 

Peran Teori Hukum dalam Setiap Tahapan  

Inisiasi: Dasar Hukum dan Kebutuhan Masyarakat  

Inisiasi merupakan tahap awal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang sangat penting, karena di sinilah ide-ide hukum mulai dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat. Teori hukum berperan dalam memberikan dasar hukum yang kuat untuk inisiatif tersebut. Dalam konteks Indonesia, kebutuhan masyarakat sering kali dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dinamis.

Dalam tahap ini, teori hukum yang relevan adalah teori kebutuhan (need theory) yang menekankan pentingnya mengidentifikasi dan memahami kebutuhan masyarakat sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan publik. Oleh karena itu, pengenalan dan pemahaman terhadap kebutuhan masyarakat menjadi krusial dalam inisiasi peraturan perundang-undangan. 

Selain itu, aspek legitimasi juga menjadi perhatian utama dalam tahap inisiasi. Teori legitimasi hukum menjelaskan bahwa setiap peraturan yang diusulkan harus memiliki legitimasi di mata masyarakat. Hal ini dapat dicapai melalui partisipasi publik dalam proses inisiasi, seperti melalui konsultasi publik atau forum dialog. 

Peran teori hukum dalam tahap inisiasi tidak hanya terbatas pada penyediaan dasar hukum, tetapi juga mencakup pemahaman tentang kebutuhan masyarakat dan legitimasi yang diperlukan untuk mendukung proses pembentukan peraturan. Hal ini menjadi landasan penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan dapat diterima dan diimplementasikan dengan baik di masyarakat. 

Penyusunan: Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan  

Pada tahap ini, teori hukum berperan dalam menentukan prinsip-prinsip hukum yang akan menjadi landasan dalam penyusunan. Prinsip-prinsip ini meliputi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Penyusunan peraturan harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip hukum yang adil dalam penyusunan peraturan sangat penting untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 

Teori hukum juga memberikan panduan dalam merumuskan norma-norma hukum yang jelas dan tidak ambigu. Dalam konteks ini, teori hukum normatif berperan untuk memastikan bahwa setiap norma yang dihasilkan dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat. 

Selain itu, keterlibatan berbagai pihak dalam proses penyusunan juga menjadi penting. Teori partisipasi publik dalam hukum menekankan bahwa keterlibatan masyarakat dalam penyusunan peraturan dapat meningkatkan legitimasi dan penerimaan terhadap peraturan yang dihasilkan. 

Peran teori hukum dalam tahap penyusunan mencakup penerapan prinsip-prinsip hukum yang adil, rumusan norma yang jelas, dan keterlibatan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan peraturan yang tidak hanya memenuhi aspek legalitas, tetapi juga keadilan dan kebermanfaatan bagi masyarakat luas. 

Pembahasan: Diskusi dan Argumentasi Berdasarkan Teori Hukum  

Pada tahap ini, teori hukum berperan dalam memberikan kerangka kerja untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen-argumen yang diajukan. Salah satu contoh yang relevan adalah pembahasan RUU tentang Omnibus Law yang memicu banyak perdebatan. Dalam diskusi ini, berbagai teori hukum seperti teori kepentingan publik dan teori keadilan sosial digunakan untuk menganalisis dampak dari kebijakan yang diusulkan. 

Teori hukum juga memberikan panduan dalam merumuskan argumentasi yang logis dan sistematis. Dalam konteks ini, penggunaan metode argumentasi yang baik dapat membantu dalam menjelaskan alasan di balik suatu kebijakan. Selain itu, pembahasan yang melibatkan teori hukum juga mencakup analisis terhadap berbagai konsekuensi hukum yang mungkin timbul akibat penerapan peraturan yang diusulkan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga dapat beradaptasi dengan perubahan di masa depan. 

Peran teori hukum dalam tahap pembahasan sangat vital untuk memastikan bahwa argumen yang diajukan bersifat logis, sistematis, dan mempertimbangkan berbagai perspektif. Hal ini akan membantu dalam menghasilkan peraturan yang lebih komprehensif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. 

Pengesahan: Validasi dan Legitimasi Hukum  

Pengesahan merupakan tahap akhir dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang menentukan apakah suatu rancangan peraturan akan menjadi hukum yang sah. Pada tahap ini, teori hukum berperan dalam memberikan kerangka untuk validasi dan legitimasi hukum. 

Salah satu contoh penting dalam konteks ini adalah pengesahan RUU tentang Penanggulangan Bencana yang harus memenuhi prinsip-prinsip hukum internasional serta konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, teori hukum berperan dalam memberikan panduan untuk memastikan bahwa semua aspek hukum telah dipertimbangkan sebelum suatu peraturan disahkan. 

Legitimasi hukum juga menjadi fokus utama dalam tahap pengesahan. Teori legitimasi hukum menjelaskan bahwa untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, suatu peraturan harus dianggap adil dan bermanfaat. Dengan demikian, peraturan yang disahkan akan lebih diterima oleh masyarakat dan lebih mudah untuk diimplementasikan. 

Selain itu, pengesahan juga melibatkan pertimbangan terhadap dampak sosial dan ekonomi dari peraturan yang diusulkan. Teori dampak sosial dalam hukum berfungsi untuk memastikan bahwa setiap peraturan yang disahkan tidak hanya memenuhi aspek legalitas, tetapi juga mempertimbangkan konsekuensi bagi masyarakat luas. 

Peran teori hukum dalam tahap pengesahan tidak hanya mencakup validasi hukum, tetapi juga legitimasi dan pertimbangan dampak sosial. Hal ini penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat. 

Studi Kasus Penerapan Teori Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia 

Kasus Undang-Undang Perlindungan Anak 

Analisis berdasarkan teori hukum positif dan alam 

Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, merupakan salah satu contoh nyata penerapan teori hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Teori hukum positif menekankan bahwa hukum adalah seperangkat norma yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang dan diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini, Undang-Undang Perlindungan Anak disusun untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran. 

Dari sudut pandang hukum positif, Undang-Undang Perlindungan Anak tidak hanya menciptakan norma-norma baru, tetapi juga memberikan sanksi bagi pelanggar. Misalnya, Pasal 76B Undang-Undang tersebut mengatur tentang larangan terhadap kekerasan fisik dan psikis terhadap anak, dengan ancaman hukuman penjara hingga 5 tahun. Hal ini mencerminkan bahwa hukum positif berfungsi sebagai alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi kelompok rentan, dalam hal ini anak-anak. Penegakan hukum yang tegas diharapkan dapat mengurangi angka kekerasan terhadap anak, yang menjadi isu serius di Indonesia. 

Namun, dalam perspektif teori hukum alam, yang menekankan pada prinsip moral dan hak asasi manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak juga dapat dilihat sebagai bentuk pengakuan atas hak-hak dasar anak. Teori hukum alam berargumen bahwa hukum harus mencerminkan nilai-nilai moral yang universal, termasuk hak atas perlindungan dan kesejahteraan anak. Dalam konteks ini, Undang-Undang Perlindungan Anak bukan hanya sekadar norma hukum, tetapi juga merupakan manifestasi dari komitmen moral masyarakat untuk melindungi generasi penerusnya. 

Dalam implementasinya, tantangan muncul ketika hukum positif dan hukum alam tidak selalu sejalan. Meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak telah diundangkan, masih terdapat banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak ditindaklanjuti secara hukum. 

Sebagai kesimpulan, Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia merupakan contoh penerapan teori hukum positif dan hukum alam dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Meskipun telah ada regulasi yang mengatur perlindungan anak, tantangan dalam implementasi dan penegakan hukum masih menjadi hambatan yang harus diatasi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara norma hukum yang ada dengan kesadaran moral masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi hak-hak anak. Upaya ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan melindungi generasi penerus bangsa. 

Kasus Undang-Undang Cipta Kerja 

Tinjauan dari Perspektif Teori Hukum Sosial dan Kritikal  

Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 menjadi salah satu regulasi yang paling kontroversial di Indonesia. Dari perspektif teori hukum sosial, undang-undang ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi demi pertumbuhan ekonomi. Namun, kritik muncul dari berbagai kalangan yang menilai bahwa proses pembuatannya tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Teori hukum sosial, yang berfokus pada interaksi antara hukum dan masyarakat, menekankan pentingnya keadilan sosial dan representasi dalam pembuatan hukum. Dalam konteks ini, kritik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan bahwa regulasi tersebut lebih mengutamakan kepentingan pengusaha dan investor dibandingkan dengan perlindungan hak-hak buruh dan masyarakat. 

Data dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 70% responden merasa tidak dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, yang menunjukkan adanya jarak antara pemerintah dan masyarakat.[30] Hal ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap legitimasi hukum yang dihasilkan, di mana masyarakat merasa bahwa kepentingan mereka diabaikan. Dalam konteks teori hukum kritikal, yang mengedepankan analisis terhadap struktur kekuasaan dan dominasi dalam hukum, Undang-Undang Cipta Kerja dapat dilihat sebagai produk dari kekuatan politik yang lebih besar yang mengabaikan suara masyarakat. 

Lebih lanjut, kritik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja juga muncul dari perspektif hak asasi manusia. Menurut Amnesty International, undang-undang ini berpotensi mengancam hak-hak buruh, termasuk hak untuk berserikat dan bernegosiasi. Dalam konteks ini, teori hukum kritikal berfungsi untuk mengeksplorasi bagaimana hukum dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan mengabaikan kepentingan kelompok yang lebih lemah. 

Sebagai contoh, pasal-pasal yang mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan upah minimum menjadi sorotan utama. Banyak pekerja yang merasa bahwa hak-hak mereka terancam, dan ini menjadi bukti bahwa hukum tidak selalu berfungsi sebagai instrumen keadilan. Dalam hal ini, teori hukum sosial dan kritikal saling melengkapi untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai dampak sosial dari regulasi tersebut. 

Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji lebih jauh bagaimana teori hukum dapat berperan dalam evaluasi dan revisi undang-undang yang ada. Dengan mengadopsi perspektif hukum sosial dan kritikal, diharapkan dapat tercipta regulasi yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sebagai penutup, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi contoh nyata bagaimana teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami dinamika antara hukum, masyarakat, dan kekuasaan, serta pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi. 

KESIMPULAN   

Simpulan

Teori hukum memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melalui berbagai pendekatan teoritis, pembuat kebijakan dapat memahami dan menganalisis norma-norma hukum yang ada, sehingga menghasilkan peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi juga berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum. Sebagai contoh, teori hukum positivisme yang menekankan pada pentingnya norma yang tertulis, memberikan landasan bagi pembentukan undang-undang yang jelas dan terukur.

Integrasi teori hukum dalam proses legislasi sangat penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga responsif terhadap perkembangan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, di mana masyarakatnya sangat beragam, pemahaman yang mendalam tentang teori hukum dapat membantu legislatif dalam merumuskan peraturan yang inklusif dan adil. Dengan demikian, integrasi teori hukum dalam proses legislasi tidak hanya meningkatkan kualitas hukum, tetapi juga legitimasi hukum di mata masyarakat. 

Saran 

Untuk meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan, perlu ada upaya sistematis dalam meningkatkan pemahaman teori hukum di kalangan pembuat kebijakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pelatihan dan workshop yang melibatkan ahli hukum dan akademisi. Dengan demikian, para pembuat kebijakan dapat memahami berbagai perspektif teori hukum yang relevan dan menerapkannya dalam proses legislasi. 

Dialog antara teori dan praktik dalam pembentukan peraturan perlu diperkuat untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan tidak hanya memenuhi aspek legal formal, tetapi juga relevan dengan kondisi nyata di masyarakat. Melibatkan praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat sipil dalam proses legislasi dapat menjadi langkah strategis untuk menciptakan peraturan yang lebih baik. 

DAFTAR PUSTAKA 

Rahardjo, Satjipto. (2009). Hukum Progresif: Sebuah Sintesis Hukum dan Keadilan. Penerbit Buku Kompas. 

Kelsen, H. (1960). General Theory of Law and State. Harvard University Press. 

Hart, H.L.A. (1961). The Concept of Law. Oxford University Press. 

Kusumaatmadja, Mochtar. (1982). Hukum dan Pembangunan. Alumni.

Alexy, Robert. (2002). A Theory of Legal Argumentation. Oxford University Press. 

BPS. (2021). Statistik Ketenagakerjaan. Badan Pusat Statistik.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Indonesia. (2020). Studi Tentang Kepastian Hukum di Indonesia. 

Amnesty International. (2021). Pelaporan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. 

Aquinas, T. (1965). Summa Theologica. New York: Benziger Bros. 

Lembaga Survei Indonesia (LSI). (2020). Survei Publik tentang Persepsi Hukum di Indonesia. Jakarta: LSI. 

McCormick, P. G. (2010). Critical Legal Studies: A Political History. New York: Routledge. 

Putri, R. S. (2019). Hukum dan Ketidakadilan Sosial: Kasus Penggusuran di Jakarta. Jurnal Hukum. 

Hart, H.L.A. (1961). The Concept of Law. Oxford University Press. 

Dworkin, R. (1977). Taking Rights Seriously. Harvard University Press.

Suharto. (2021). Hukum dan Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar.

Rahardjo, S. (2022). Hukum dan Teknologi Informasi. Rajawali Pers.

Peters, R. (2010). Natural Law: A Historical Perspective. Oxford University Press.

Suharto, A. (2015). Child Protection Law in Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

KPAI. (2020). Laporan Tahunan KPAI 2020. KPAI.

Rahardjo, S. (2016). The Role of Natural Law in Indonesian Law. Bandung: Alumni.

Bappenas. (2021). Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim.

Friedman, L. M. (1975). The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation.

Husni, 2019, Hukum dan Kebebasan Berpendapat di Era Digital, Penerbit Universitas Indonesia.

Setiawan, 2020, Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan Publik, Jurnal Hukum dan Masyarakat.

Bappenas, 2020, RPJMN 2020-2024, Kementerian PPN/Bappenas.

Rizki, M. (2020). Peran KPK dalam Pemberantasan Korupsi: Perspektif Teori Hukum Kritikal. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Mardjono R. S. (2019). Teori Hukum dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Suhardi, A. (2020). Legitimasi Hukum dalam Pembentukan Peraturan. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. 

Lembaga Survei Indonesia. (2021). Survei Publik tentang Undang-Undang Cipta Kerja. LSI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun