Mohon tunggu...
zuhaili zulfa
zuhaili zulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa. Pengajar.

Hobi Menulis, olahraga dan bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hikmah Larangan dalam QS. Al-Isra', Ayat 32: Pendekatan Spiritual dan Sosial

14 Januari 2025   10:26 Diperbarui: 14 Januari 2025   10:26 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepasang kekasih (Sumber: https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/700x465/photo/2023/08/10/untitledjpg-20230810114051.jpg)

Zina adalah perbuatan hubungan yang dilakukan di luar ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam. Para ulama fikih (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah) memberikan definisi yang beragam tentang istilah ini, dengan fokus pada unsur-unsur yang membedakan perbuatan tersebut. Berikut ringkasannya:

  • Hanafiyyah: Zina adalah hubungan di luar nikah yang dilakukan dengan seseorang yang bukan pasangan sahnya dan tidak dalam kondisi yang meragukan (syubhat).
  • Malikiyyah: Zina adalah hubungan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang Muslim yang baligh dan sengaja, tanpa adanya syubhat.
  • Syafi'iyyah: Zina adalah tindakan yang melibatkan pelanggaran aturan hubungan dengan seseorang yang tidak halal, disertai syahwat dan tanpa syubhat.
  • Hanabilah: Zina adalah tindakan yang melibatkan seseorang dengan orang lain tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah atau alasan yang dibenarkan syariat (syubhat).           

Para ulama sepakat bahwa zina adalah pelanggaran aturan syariat yang terjadi di luar ikatan pernikahan yang sah. Adapun keadaan syubhat merujuk pada situasi di mana seseorang secara keliru meyakini bahwa pasangannya adalah halal baginya, misalnya karena kesalahan identifikasi. Perbedaan di antara ulama lebih terletak pada status pelaku, seperti apakah sudah baligh atau mukallaf. Secara umum, zina melibatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sah secara agama.

Laki-laki dan perempuan yang melakukan zina adakalanya memiliki status yang masih perjaka dan perawan atau sudah pernah nikah, maka zina dibagi menjadi dua, yaitu: zina ghair muhshan dan zina muhshan.

Zina ghair muhshan adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah. Tentunya pernikahan yang sah menurut aturan syariat Islam.

Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah.

Perbuatan zina memiliki dampak negatif bagi masyarakat secara luas. Sementara itu fitrah manusia menghendaki kebaikan bagi dirinya dan orang sekitarnya. Dengan demikian, Islam memberikan tuntunan hukuman bagi pelaku perbuatan zina ini secara proposional. Hukuman ini dinamakan dengan hadd. Hadd secara bahasa berarti "batas". Bentuk hukuman perbuatan zina dinamakan demikian sebab pelakunya melanggar batas yang telah ditentukan Allah, yaitu larangan mendekati zina (Baca: QS. Al-Isra': 32).

Hukuman yang diberikan kepada pelaku zina ghairu muhshan adalah dengan mendera masing-masing pelaku 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Ini didasarkan ada tuntunan Allah yang terdapat dalam surah Al-Nur, ayat 2:

Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin. (QS. Al-Nur: 2)

Dan juga hadits Nabi Saw.(Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 15, n.d.):

: . .

 Diriwayatkan dari 'Ubadah bin As-Shamit RA, ia berkata: 'Rasulullah SAW bersabda: "Ambilah hukuman zina dariku, ambilah hukuman zina dariku, sungguh Allah telah menjadikan jalan (hukum baru) bagi wanita muslimah pelaku zina. Orang yang belum punya pasangan (suami atau istri) yang berzina dengan orang yang belum punya pasangan hukumannya adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan setahun, dan orang yang sudah punya pasangan (suami atau istri) yang berzina dengan orang yang sudah punya pasangan hukumannya adalah dirajam. (HR. Muslim)

Adapun hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah dengan merajamnya sampai meninggal dunia. Ini didasarkan pada hadits Nabi Saw. di atas.

Besar dan beratnya hukuman ini menunjukkan bahwa perbuatan zina  termasuk dosa besar ( kabaa'ir). Dosa besar didefinisikan dengan, perbuatan dosa yang disifati sebagai besar secara mutlak. Ia memiliki tanda, yaitu menetapkan hadd, ancaman mendapat siksa neraka, pelakunya disebut sebagai seorang fasik, mendapatkan laknat, dan lain sebagainya (KH. Abdul Muhith, n.d.-b, pp. 6--7). Dengan demikian, jelaslah bahwa perbuatan zina termasuk dosa besar, sebab pelakunya akan dikenai hadd.

Hukuman bagi pelaku zina diterima selama ia masih hidup di dunia. Jika zina dilakukan oleh remaja perjaka dan gadis yang belum pernah menikah, dengan syarat-syarat tertentu yang terpenuhi, mereka akan dihukum dengan didera dan diasingkan. Hukuman ini berlaku hanya di dunia. Namun, apabila mereka tidak bertaubat hingga ajal menjemput, mereka akan menghadapi siksa yang lebih pedih di akhirat. Hal yang sama berlaku untuk perbuatan zina yang dilakukan oleh duda atau janda (muhshan).

(Syams al-Din Abi Abdullah Muhammad bin Ahmed bin Otsman bin Qaymaz al-Dhahabi, n.d.) dalam Al-Kabaa'ir-nya menuliskan beberapa alasan mengapa perbuatan zina termasuk dosa besar. Berikut ini kutipannya:

  • Hukuman yang diterima oleh pelaku zina ghairu muhshan atau muhshan hanya berlaku di dunia. Apabila hukuman tersebut tidak terlaksanakan,  serta pelaku meninggal dalam keadaan tidak bertaubat dari perbuatan zina, maka ia akan mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat kelak.
  • Seorang mukmin tidak akan melakukan perbuat ini sebab keimanannya menjaga darinya. Perbuatan zina ini terjadi jika seseorang tidak memiliki iman yang kuat, sehingga menjaganya dari perbuatan itu.
  • Nabi Saw. memberikan gambaran keadaan iman seorang mukmin yang melakukan perbuatan zina. Iman itu diibaratkan seperti pakaiannya. Apabila ia melakukan perbuatan maksiat, maka Allah melepaskan pakaian itu. Dan apabila ia bertaubat, maka Allah akan mengembalikan iman tersebut. Penggambaran Nabi Saw. ini bermakna bahwa, sesungguhnya tidaklah seseorang melakukan kemaksiatan apapun jika ia memiliki iman yang hidup, yang menuntun perjalanan kehidupannya ke jalan yang benar sesuai dengan tuntunan Allah Saw. Kemaksiatan atau kemungkaran yang dilakukan seseorang menunjukkan kosongnya jiwanya dari iman tersebut atau lemah keimanan tersebut.

Lantas, apa yang dapat menambah dan memperkuat iman seseorang?

Secara umum, ketaatan kepada Allah Swt. merupakan hal-hal yang dapat menambah dan memperkuat keimanan.

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin. (Al-Baqarah [2]:278)

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa kepada-Nya. Bentuk takwa itu tentunya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu perintah-Nya adalah meninggalkan riba.

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (li 'Imrn [3]:102)

Kemudian, hal-hal lain yang dapat menambah dan memperkuat keimanan adalah (KH. Abdul Muhith, n.d.-a, pp. 5--6):

  • Mendengarkan firman-firman Allah Swt. dan sabda-sabda Nabi Saw. tentang kehidupan Akhirat. Juga mendengarkan kisah-kisah para nabi dan rasul dan orang-orang salih.
  • Teliti dalam setiap tindakan yang akan dilakukan dan juga peristiwa yang terjadi, supaya dapat mengambil ibrah yang tersirat di baliknya.
  • Memperbanyak amal-amal yang baik, dan menjauhi segala amal-amal yang buruk.

Setidaknya ada empat ayat dalam Alquran yang menjelaskan tentang larangan zina, yaitu:  surah Al-Isra ayat 32, Al-Furqan ayat 68-69, dan An-Nur ayat 2. Dalam tulisan ini penulis akan memfokuskan pada surah Al-Isra', ayat 32.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Isr' [17]:32:

Ayat di atas merupakan ayat ke 32 dari surah Al-Isra'. Surah Al-Isra' sendiri tergolong surah Makkiyyah. Surah ini memiliki 111 ayat, yang memiliki topik-topik pembicaraan yang berbeda-beda, namun saling terkait antara satu sama lain. Secara umum, topik-topik tersebut adalah tentang akidah. Sebagian yang lain membicarakan tentang kaidah-kaidah perilaku individu dan kolektif dan adab-adab yang berasaskan akidah tersebut. Selain itu, dibicarakan juga kisah-kisah (Sayyid Quthb, n.d., p. 2208). Menurut Al-Biqa'i tema utama surah ini adalah ajakan menuju ke hadirat Allah Swt., dan meninggalkan selain-Nya, karena hanya Allah Pemiliki rincian segala sesuatu dan juga mengutamakan sesuatu atas lainnya. Thabathaba'i berpendapat bahwa surah ini memaparkan tentang Keesaan Allah Swt. dari segala macam persekutuan (Shihab, 2005) Berikut ini adalah perincian topik-topik tersebut (Maulana Muhammad Ali, 2010, p. 640):

  • Surah ini diawali dengan uraian tentang Isra'-Mi'raj Nabi Muhammad Saw. yang memiliki arti kebesaran yang dicapai oleh beliau dan juga oleh umat Islam. Kaum muslimin diperingatkan akan nasib yang dialami oleh Bani Israil, yang mengalami dua kali hukuman karena kedurhakaan mereka setelah memperoleh kedudukan yang tinggi.
  • Ajaran abadi yang tak pernah berubah, yaitu bahwa setiap perbuatan ada buahnya, sebagai akibat
  • Ajaran akhlak (perilaku mulia) yang harus diamalkan oleh setiap muslim
  • Orang-orang kafir semakin keras kepala terhadap ajaran-ajaran tersebut
  • Siksaan bagi para musuh Kebenaran, baik pada zaman dahulu maupun zaman akhir
  • Isyarat bahwa para pembuat bencana akan selalu berhadapan dengan orang tulus
  • Perlawanan terhadap dakwah Nabi Muhammad Saw.
  • Penjelasan bahwa perlawanan akan dibuat tidak berdaya, karena kepalsuan pasti akan hancur menghadapi Kebenaran
  • Penjelasan bahwa Al-Quran adalah mukjizat paling besar
  • Penjelasan remehnya dalih yang mereka kemukakan untuk menolak  Al-Qur'an dan penjelasan bahwa pembalasan yang ditimpakan kepada mereka adalah paling adil
  • Menaruh perhatian akan peringatan Nabi Musa As. Kepada Firaun

Ayat tentang larang mendekati perbuatan zina di atas termasuk dalam kelompok ayat yang membicarakan topik Akhlak yang harus Diamalkan oleh setiap Muslim. Kelompok ayat ini terbentang dari ayat 22 menurut (Sayyid Quthb, n.d.), atau 23 menurut (Shihab, 2005) sampai dengan 39.

Secara umum, kelompok ayat dengan topik tersebut berbicara bahwa, landasan setiap perilaku baik seorang muslim adalah dengan beriman kepada Allah, tidak menyekutukannya. Iman merupakan salah satu akhlak muslim (Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi, n.d.-a, p. 123) yang dengannya menjadi landasan bagi amal-amalan positif lainnya. Seorang muslim tentu percaya bahwa segala perbuatan akan ada akibatnya, baik di dunia, terlebih di akhirat. Berdasarkan kepercayaan ini, maka ia berharap bahwa amal baiknya diterima oleh Allah dan Dia akan membalasnya dengan yang lebih baik di akhirat kelak. Ini tidak terjadi jika tanpa iman. Dengan demikian, iman menjadi syarat pokok bagi diterima amal baiknya oleh Allah, sekaligus pondasi bagi amal tersebut agar diikhlaskan karena-Nya.

Beriman kepada Allah Swt. menjadi keharusan bagi setiap muslim. Ini adalah akhlak yang sifatnya pribadi atau individu. Dan ini sifatnya adalah akhlak kepada Allah, atau kewajiban dirinya kepada Allah (hablum minallah).

Akhlak ini memiliki pengaruh yang sangat besar sehingga seorang muslim diperintahkan, atas dasar iman ini, untuk berbuat baik kepada orang yang paling dekat dengan diri dalam hubungannya dengan sesama manusia (hablum minan naas), yaitu kedua orang tua. Dalam konteks berbakti kepada orang tua ini, seorang muslim, sebagai anak, dituntun secara tahap demi tahap. Dimulai dengan:

  • Tidak menampakkan kejemuan dan kejengkelan, serta ketidaksopanan kepada kedua orang tua.
  • Mengucapkan kata-kata yang mulia. Ini lebih tinggi daripada yang pertama, sebab ia mengandung pesan menampakkan penghormatan dan pengagungan melalui ucapan-ucapan.
  • Perintah berperilaku yang menggambarkan kasih sayang sekaligus kerendahan di hadapan kedua orang tua.
  • Akhirnya, seorang anak dituntun untuk mendoakan kedua orang tua, sambil mengingat jasa-jasa mereka, terlebih waktu sang anak masih kecil dan tidak berdaya (Shihab, 2005).

Setelah berbuat baik kepada kedua orang tua, seorang muslim diperintahkan untuk  memenuhi hak keluarga dekat, orang miskin, dan musafir. Hak ini mencakup mempererat tali persaudaraan, membantu kebutuhan mereka, serta memberikan bantuan kepada musafir yang bertujuan baik sesuai syariat. Selain itu, Allah melarang pemborosan dalam menggunakan harta, yaitu membelanjakan tanpa perhitungan yang bijak atau melebihi batas kebutuhan.

Akhlak selanjutnya yang harus diamalkan oleh seorang muslim adalah sikap ketika dirinya dimintai pertolongan oleh seseorang yang sangat membutuhkannya, sementara dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk menolong. Allah mengajarkan bahwa apabila hal itu terjadi, maka hendaklah yang dimintai pertolongan itu mengatakan kepada orang yang minta pertolongan dengan perkataan yang sopan dan lemah lembut. Jika ia memiliki kesanggupan di waktu yang lain, maka hendaklah ia berjanji dengan janji yang bisa dilaksankan dan memuaskan hati yang minta pertolongan.

Terkait harta yang dimiliki, Allah mengajarkan akhlak yaitu, agar seorang muslim untuk membelanjakan dengan cara yang hemat, layak, dan wajar. Tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros. Sebab, terlalu bakhil menjadikan dirinya tercela, sementara itu, perilaku terlalu boros mengakibatkan dirinya bangkrut dan merugi.

Masih berkaitan dengan akhlak seorang muslim terhadap hartanya, sebelum memberikan gambaran-gambaran kebiasaan pada masa Jahiliyyah terkait hubungan dalam masyarakat, yang kemudian Allah menghapus kebiasaan tersebut, Dia menegaskan bahwa Dialah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia pula yang membatasi-nya. Semuanya berjalan menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah terhadap para hamba-Nya dalam usaha mencari harta dan cara mengembang-kannya.

Penegasan tersebut didahulukan, mengingat di antara kebiasaan masa Jahiliyyah adalah membunuh anak-anak perempuan mereka karena kemisikinan yang sedang atau kekhawatiran kemiskinan yang akan menimpa mereka. Allah Swt. melarang kaum muslimin membunuh anak-anak mereka, seperti kebiasaan bangsa Arab Jahiliah tersebut, sebab  rezeki itu berada dalam kekuasaan-Nya. Dia yang memberikan rezeki kepada mereka dan orang tuanya. Allah menyatakan bahwa takut pada kemiskinan itu bukanlah alasan untuk membunuh anak-anak perempuan mereka.

Allah swt menegaskan bahwa membunuh anak-anak itu adalah dosa besar, karena hal itu menghalangi tujuan hidup manusia. Tidak membiarkan anak itu hidup berarti memutus keturunan, yang berarti pula membinasakan kehidupan manusia itu sendiri dari muka bumi.

Setelah menjelaskan akhlak-akhlak yang harus diamalkan oleh seorang muslim, dan juga larangan yang harus dijauhi olehnya, yaitu membunuh anak karena kemiskinan, sampailah larang selanjutnya yang juga harus dijauhi, yaitu larangan mendekati dan melakukan perbuatan zina. Larangan ini terdapat pada ayat 32 dari surah Al-Isra'.

    Janganlah kalian dekati zina!

Tujuan penciptaan manusia, sekaligus tujuan hidupnya adalah agar ia menjadi pengurus (khalifah) bumi. Allah menciptakan manusia untuk mengembangkannya dan berusaha di dalamnya untuk melakukan apa yang membuatnya bahagia dan mendatangkan kebaikan dan kebenaran (Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi, n.d.-b). Allah Maha Mengetahui apa yang ada pada makhluk-Nya, dan apa yang baik baginya. Agar tujuan penciptaan dan hidup manusia tercapai, maka Allah membuat tuntunan-tuntunan dalam agama-Nya (Islam). Tuntunan ini dinamakan dengan syariat.

Tuntunan-tuntunan itu Allah tetapkan atas manusia demi membebaskan manusia dari ketundukan kepada hawa nafsu, baik hawa nafsu dirinya maupun hawa nafsu orang lain. Tuntunan-tuntunan itu juga memelihara ketertiban masyarakat dan kelanggengan kebaikannya melalui kelanggengan kebaikan anggota-anggota masyarakat. Akhirnya, tujuan dari ditetapkannya syariat itu adalah untuk menciptakan kebaikan dan keadilan serta mengantar manusia untuk melakukan yang baik bagi diri pribadinya sekaligus untuk masyarakat/umat manusia (Shihab, 2019, p. 90).

Masyarakat terbentuk dari individu-individu yang terjalin satu sama lain dan memiliki visi dan misi yang sama. Bentuk keterjalinan ini salah satunya adalah dalam bentuk keluarga. Dari keluarga inilah, masyarakat terbentuk. Baik atau buruknya masyarakat ditentukan oleh baik buruknya keluarga-keluarga yang membentuknya itu.

Ikatan keluarga terbentuk melalui perkawinan. Perkawinan inilah inti atau pondasi bagi terwujudnya masyarakat. Ia sudah menjadi hukum alam (sunnatullah), yang menjadikan kehidupan menjadi bernilai. Perkawinan yang lahir dari rasa cinta dan kasih sayang yang sah dan murni  itulah yang membantu dalam pembangunan dan pengembangan keluarga dan, secara luas, alam semesta.

Di antara tuntunan-tuntunan Allah yang ditetapkan untuk manusia adalah memerintahkan pernikahan dan mengharamkan/melarang perzinaan. Allah mensyariatkan pernikahan, mendorongnya, dan menganggapnya sebagai jalan yang suci dan alamiah, yang mempertemukan laki-laki dan perempuan, bukan hanya karena dorongan naluriah semata, akan tetapi di samping dorongan tersebut, mereka bertemu dalam rangka meraih tujuan yang mulia, yaitu melestarikan spesies manusia dan mencari keturunan yang saleh yang akan mengisi dunia, membangun kehidupan manusia, dan menanggung beban khilafah (memakmurkan) di bumi. Kemudian, tugas-tugas tersebut diserahkan kepada generasi selanjutnya dan selanjutnya, sehingga tugas manusia tersebut terus berlanjut dan peradaban manusia berkembang di bayangan prinsip luhur dan nilai-nilai luhur.

Dalam konteks larangan perbuatan zina, Allah tidak hanya melarang perbuatan tersebut, namun mendekati perbuatan tersebut. Maka, dalam penggalan ayat 32 Al-Isra' di atas, Allah melarang perbuatan zina mengunakan ungkapan (jangan dekati kalian), tidak mengunakan ungkapan (jangan kalian berzina). Pengungkapan seperti ini tentunya lebih tegas, sehingga tersirat makna, alih melakukan perbuatan tersebut, mendekati saja tidak boleh.

(Shihab, 2005) dalam Al-Mishbah-nya menulis, saat menafsirkan ayat ini, kata "jangan dekati" seperti ayat di atas, biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa/nafsu untuk melakukannya. Dengan demikia, larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengantarkan kepada langkah melakukannya. Hubungan seks seperti perzinaan, maupun ketika istri sedang haid, demikian pula perolehan harta secara batil, memiliki rangsangan yang sangat kuat. Oleh karena itu, Al-Qur'an melarang mendekatinya.

Agar lebih jelas uraian di atas, ada baiknya kita kutip penafsiran (Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi, n.d.-b) dalam penafsirannya terhadap ayat ini. Beliau mengatakan:

Ketika para ilmuwan membahas tentang manifestasi perasaan dan pengetahuan, mereka membaginya menjadi tiga tahapan: persepsi, kesadaran, dan kecenderungan.

Sebagai contoh, jika Anda sedang berjalan di sebuah taman dan melihat setangkai mawar yang indah, momen saat Anda memandangnya disebut persepsi. Anda menyadari keberadaannya melalui indera penglihatan Anda, tanpa ada halangan untuk menikmati keindahannya. 

Jika Anda merasa menyukai dan terpikat oleh keindahannya, maka ini disebut kesadaran, yaitu reaksi emosional atau internal terhadap apa yang Anda lihat. 

Ketika Anda mengulurkan tangan untuk memetik bunga tersebut, ini disebut kecenderungan, yaitu tindakan nyata berdasarkan perasaan dan kesadaran sebelumnya. 

Syariah mengatur pada tingkatan kecenderungan (hawa nafsu), namun tidak menghalangi persepsi atau kesadaran, kecuali dalam hal tertentu seperti masalah naluri seksual. Dalam hal ini, persepsi, kesadaran, dan kecenderungan saling terkait erat sehingga sulit untuk memisahkan satu sama lain.

Sebagai contoh, ketika seorang pria melihat seorang wanita cantik, pandangan ini dengan cepat dapat memunculkan kekaguman, keinginan, hingga dorongan untuk bertindak yang dilarang. Jika ia menuruti hawa nafsunya, ia akan melakukan perbuatan terlarang. Namun, jika ia menahan diri, ia akan merasakan perjuangan batin melawan dorongan tersebut.

Maha Suci Allah, Sang Pencipta yang paling mengetahui hakikat manusia beserta perasaan dan emosinya. Karena itu, Allah tidak hanya melarang zina, tetapi juga melarang segala hal yang mendekati zina, termasuk memulai dengan larangan memandang sesuatu yang tidak diperbolehkan. Allah SWT berfirman: 

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat. (An-Nr [24]:30)

Hal ini karena jika Anda telah memandang, maka hati akan tergerak, dan jika hati telah tergerak, tindakan bisa terjadi. Jika Anda mengikuti hawa nafsu, Anda akan menghancurkan kehormatan manusia. Namun, jika Anda tetap menjaga diri, Anda akan menghadapi penderitaan batin akibat cinta yang tak terwujud. 

Oleh karena itu, demi melindungi kehormatan diri dan masyarakat, Allah memerintahkan untuk menundukkan pandangan. Dengan demikian, Anda menjaga kehormatan orang lain sekaligus diri sendiri. 

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang melupakan perintah ini dan beralasan dengan hubungan persahabatan, kekerabatan, atau ketetanggaan untuk membenarkan pergaulan yang tidak sesuai syariat. Mereka lupa bahwa Allah, Sang Pencipta, Maha Mengetahui hakikat kondisi mereka. 

Rasulullah bersabda:

"Pandangan mata adalah anak panah beracun dari setan. Barang siapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, Aku akan menggantikannya dengan iman yang manisnya akan dirasakan dalam hatinya."

Dari sini kita memahami maksud firman Allah SWT: 

        Janganlah kalian dekati zina!

Allah tidak hanya mengatakan "jangan berzina," tetapi melarang segala bentuk pendekatan kepada zina. Hal ini karena setiap perbuatan memiliki pendahuluan yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalamnya. Maka, jauhilah segala sesuatu yang mendekati zina, dan abaikan ajakan kepada pergaulan bebas. Sebab, kebatilan, sebesar apa pun pengikutnya, tidak akan pernah menjadi kebenaran.

Uraian untuk penafsiran penggalan ayat ini, penulis tutup dengan menguti penafsiran ayat yang sama oleh (Muhammad bin Ahmed bin Mustafa bin Ahmed, dikenal sebagai Abu Zahra, n.d.) dalam Zahratut Tafaasiir-nya:

Allah SWT tidak berfirman, "Janganlah kamu berzina", tetapi Dia berfirman, "Janganlah kamu mendekati zina." Larangan ini mencakup tidak hanya perbuatan zina itu sendiri, tetapi juga segala sesuatu yang dapat mengarah atau dianggap mengarah kepadanya. 

Contohnya termasuk mencium, menyentuh, melihat bagian tubuh wanita yang menggoda, tarian yang membangkitkan naluri seksual, suara wanita yang dibuat-buat hingga menggoda, cara wanita bergerak dengan cara yang memprovokasi, penyebaran foto-foto tidak senonoh, dan hal-hal serupa yang kita saksikan atau dengar setiap hari. Semua itu hukumnya haram karena termasuk mendekati zina atau menjadi perantara yang dapat menuju perbuatan zina. 

Segala sesuatu yang haram, maka segala perantara yang membawa kepadanya juga diharamkan. Prinsip ini dalam fikih dikenal sebagai sadd al-dzari'ah (mencegah celah atau sarana menuju keburukan). Artinya, segala sesuatu yang mengarah pada perbuatan terlarang menjadi terlarang karena ia dapat membawa kepada dosa tersebut. 

             sesungganya ia adalah perbuatan yang keji, dan seburuk-buruknya jalan

Setelah Allah melarang perbuatan zina dan mendekatinya, mungkin akan muncul pertanyaan: "kenapa zina diharamkan/dilarang, padahal ia, selain sebagai upaya penyaluran kebutuhan biologis, adalah salah satu jalan agar melahirkan keturunan yang dapat melestarikan bumi dan menyambung estafet tugas manusia di bumi, sebagaimana tujuan penciptaan dan hidup manusia?"

            Pada penggalan ayat selanjutnya dari ayat 32 surah Al-Isra', Allah Swt. menjawab, dan seakan berfirman: "sesungguhnya ia, yakni perbuatan zina itu adalah suatu perbuatan amat keji yang melampaui batas dalam ukuran apapun dan suatu jalan yang buruk dalam menyalurkan kebutuhan biologis (Shihab, 2005).

            Kata /fahisyah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ulama. (Abdullah bin Ahmed bin Mahmoud Hafez Al-Din Al-Nasafi, 1998) menafsirkannya sebagai ketidaktaatan (maksiat) yang melampaui batas syariat dan akal sehat. (Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi, n.d.-b) menafsirkannya sebagai sesuatu yang sangat buruk rupa. (Muhammad Jamal al-Din bin Muhammad Saeed bin Qasim al-Qasimi, n.d.) menafsirkannya sebagai tindakan yang sangat buruk yang menyebabkan keterasingan dari pelakunya dan perpecahan di antara orang-orang. (Abu Saud Al-Amadi Muhammad bin Muhammad bin Mustafa, n.d.) menafsirkannya sebagai suatu tindakan yang jelas-jelas buruk dan melampaui batas.

            Firman Allah /saa'a sabiila[n] dipahami oleh sementara ulama sebagai jalan yang buruk, karena mengantarkan menuju neraka. Ibnu 'Asyur memaknai kata dalam arti perbuatan yang menjadi kebiasaan seseorang. Thabathaba'i memaknainya dalam arti jalan untuk mempertahankan kehidupan. Ulama ini menghubungankan makna tersebut dengan surah Al-'Ankabut, ayat 29 yang menyifati kebiasaan buruk kaum Nabi Luth, yakni melakukan homoseksual sebagai /taqtha'unas sabil (memutus jalan). Jalan yang mereka putus merupakan jalan kelanjutan keturunan, karena kebiasaan buruk tersebut tidak menghasilkan keturunan, dan kelanjutan jenis manusia. Lain dengan perzinaan yang melakukannya dapat memperoleh anak, dan kelanjutan jenis pun dapat terwujud, namun cara dan jalan itu adalah jalan yang sangat buruk (Shihab, 2005).

            Akan lebih terang penggalan ayat yang menjadi alasan dilarangnya perbuatan zina di atas dengan mengutip pembicaraan ulama saat menafsirkan ayat ini.

(Muhammad bin Umar bin Al-Hassan bin Al-Hussein Al-Taimi Al-Razi, n.d.) dalam Mafaatihul Ghaib-nya menulis:

Zina memiliki berbagai macam keburukan yang dapat dibagi menjadi enam poin utama:

  • Kerancuan Nasab dan Hilangnya Garis Keturunan

Zina menyebabkan kekacauan dalam nasab. Seseorang tidak dapat memastikan apakah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita hasil zina adalah anaknya sendiri atau anak orang lain. Akibatnya, tanggung jawab terhadap anak tersebut menjadi terabaikan, yang pada akhirnya mengarah pada lenyapnya garis keturunan, kekacauan sosial, dan keruntuhan dunia.

  • Kekacauan Sosial dan Kekerasan

Dalam zina, tidak ada hak yang sah bagi seorang laki-laki terhadap seorang wanita lebih daripada laki-laki lainnya. Hal ini memicu konflik dan pertikaian, yang seringkali berakhir dengan kekerasan. Banyak kasus pembunuhan terjadi karena perebutan wanita akibat zina.

  • Kehilangan Rasa Hormat dan Kestabilan Emosi

Wanita yang terbiasa berzina akan kehilangan kehormatan di mata masyarakat. Naluri manusia yang sehat akan menganggap perbuatan ini menjijikkan. Akibatnya, rasa cinta, keintiman, dan ketenangan dalam hubungan tidak dapat tercapai. Pernikahan pun kehilangan maknanya sebagai ikatan yang suci.

  • Kehilangan Hak Eksklusif dan Kehormatan Perempuan

Jika zina menjadi lumrah, maka tidak ada laki-laki yang memiliki hak eksklusif terhadap seorang wanita. Semua laki-laki dapat mendekati wanita manapun, yang membuat hubungan manusia tidak berbeda dengan hewan. Wanita kehilangan kehormatan dan posisinya sebagai mitra yang berharga.

  • Rusaknya Fungsi Wanita sebagai Mitra Rumah Tangga

Wanita bukan sekadar pemuas nafsu, tetapi juga mitra dalam membangun rumah tangga, menjaga anak-anak, dan mengatur kehidupan domestik. Fungsi ini tidak dapat terlaksana jika wanita menjadi objek banyak pria. Larangan zina adalah cara untuk memastikan stabilitas rumah tangga dan masyarakat.

  • Kehinaan dan Rasa Malu yang Menyertainya

Hubungan seksual di luar pernikahan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan. Hal ini terbukti dari fakta bahwa manusia secara naluriah melakukannya di tempat tersembunyi dan enggan membicarakan tindakan tersebut secara terbuka, terutama terkait dengan keluarga mereka. Kehinaan ini membuktikan bahwa perbuatan zina tidak sejalan dengan martabat manusia.

Dari enam poin tersebut, jelas bahwa zina membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Dalam pernikahan, meskipun ada unsur keintiman yang mirip, hubungan tersebut dibingkai oleh tanggung jawab, kehormatan, dan manfaat yang nyata. Sebaliknya, zina hanya membuka pintu kehinaan dan kerusakan tanpa adanya kemaslahatan. Oleh sebab itu, rasio yang sehat menilai zina sebagai perbuatan buruk.

Kemudian, Allah SWT menggambarkan zina dengan tiga sifat dalam Al-Qur'an: 

  • Perbuatan Keji (Fahisyah)

Zina merupakan perbuatan keji yang mencerminkan rusaknya garis keturunan dan menyebabkan kehancuran dunia. 

  • Dosa Besar (Sayyi'ah)

Zina mengarah pada pertikaian, kekacauan, dan serangan terhadap kehormatan wanita. 

  • Jalan yang Buruk (Sabiil Sayyi')

Perbuatan ini membuat manusia tidak berbeda dengan hewan, karena mengabaikan eksklusivitas hubungan antara pria dan wanita dalam pernikahan.

Ketiga sifat ini menunjukkan bahwa zina adalah perbuatan tercela yang harus dijauhi demi menjaga kehormatan, stabilitas, dan kesejahteraan manusia. Allah tidak hanya melarang zina, tetapi juga segala sesuatu yang mendekati atau mengarah kepadanya.

(Sayyid Quthb, n.d.) dalam Fi Zhilaal Al-Qur'an menulis:

            Larangan berbuat zina ini berada di antara larangan membunuh anak dan larangan membunuh jiwa tanpa hak. Hal ini ada korelasi dan hubungan yang sama.

            Perzinaan sama dengan pembunuhan, jika dilihat dari berbagai segi. Perzinaan adalah pembunuhan, karena perbuatan ini menumpahkan materi asa kehidupan (sperma) tidak pada tempatnya. Biasanya, sesudah melakukan perbuatan tersebut seseorang akan membersihkan diri dari akibat yang ditumbulkan darinya dengan membunuh janin, baik sebelum tercipta maupun sesudah tercipta, atau sebelum lahir maupun sesudah lahir.

            Kalaupun janin tersebut dibiarkan hidup, maka akan hidup secara tidak layak lagi hina. Kehidupannya sia-sia di tengah masyarakat. Ini pun sebuah pembunuhan dalam bentuknya yang lain. Yakni, pembunuhan atas komunitas yang di dalamnya banyak terjadi perzinaan. Hal ini terjadi sebab, hubungan nasab menjadi tercabik-cabik, hubungan darah menjadi rancu, kepercayaan kepada kehormatan dan anak keturunan menjadi hilang, dan pola hubunagn antar anggota masyarakat pun menjadi terbengkalai, hingga akhirnya terjadi mati suri di antara kelompok-kelompok masyarakat.

            Dari sisi lain, perzinaan juga bentuk pembunuhan atas masyarakat. Hal ini terjadi sebab, mudahnya cara pemenuhan nafsu syahwat melalui perbuatan ini akan mengakibatkan kehidupan rumah tangga menjadi hal yang tidak diperlukan lagi. Lembaga keluarga akan dianggap sebagai hal yang membawa konsekwensi yang tidak ada gunanya. Padahal, keluarga merupakan ladang pertumbuhan yang paling baik bagi generasi yang baru tumbuh, di mana fitrahnya tidak mungkin menjadi baik dan pendidikannya tidak akan jernih, kecuali dilakukan di dalamnya. Setiap bangsa yang membiarkan perbuatan zina tumbuh subur di dalamnya, pasti akan membawanya kepada kehancuran.

            Al-Qur'an melarang, walaupun hanya sekadar mendekati, perbuatan zina, dalam rangka untuk menunjukkan sikap kehati-hatian dan tindakan antisipasi yang lebih besar. Pasalnya, perbuatan zina itu terjadi karena dorongan nafsu birahi yang sangat kuat. Sikap kehati-hatian untuk mendekati perbuatan ini lebih bisa menjamin agar tidak terjerumus ke dalamnya. Mendekati faktor-faktor yang menyebabkan perzinaan, tidak ada jaminan bagi seseorang untuk tidak terjerumus ke dalamnya.

Penutup

Dalam pandangan Islam, perzinaan adalah salah satu perbuatan dosa besar yang memiliki dampak negatif yang sangat luas, baik secara individu maupun sosial. Larangan mendekati zina, sebagaimana diungkapkan dalam QS. Al-Isra', ayat 32, menunjukkan betapa Islam tidak hanya melarang perbuatan itu sendiri, tetapi juga semua faktor yang dapat mendekatkan kepadanya. Dengan memberikan panduan syariat yang jelas dan sanksi yang tegas, Islam bertujuan menjaga kehormatan,  stabilitas keluarga, dan kesejahteraan masyarakat.

            Keluarga yang kuat dan terhormat adalah pondasi utama bagi terciptanya masyarakat yang sehat. Oleh karena itu, pernikahan dipandang sebagai jalan suci dan alami untuk memenuhi kebutuhan biologis sekaligus melestarikan generasi manusia. Sebaliknya, perzinaan tidak hanya merusak kehormatan dan garis keturunan, tetapi juga mengancam keberlangsungan masyarakat secara keseluruhan.

            Dengan memahami hikmah dari larangan dan tuntunan Allah dalam Al-Qur'an, seorang mukmin didorong untuk menjauhkan diri dari zina dan segala hal yang mendekatinya. Menjaga iman, meningkatka ketaatan kepada Allah, serta menanamkan nilai-nilai yang mulia adalah langka utama dalam menjaga diri dari godaan ini.

Wallahu a'lam

Referensi

Abdullah bin Ahmed bin Mahmoud Hafez Al-Din Al-Nasafi. (1998). Madarik Al-tanzil wahaqayiq Al-taawili (1st ed., Vols. 1--3). Dar al-kalm al-tayib.

Abu Saud Al-Amadi Muhammad bin Muhammad bin Mustafa. (n.d.). 'iirshad aleaql alsalim 'iilaa mazaya alkitaab alkarim. dar "iihya" alturath alearabii.

KH. Abdul Muhith. (n.d.-a). Aamantu Billah. Ponpes Al-Fithroh Jejeran.

KH. Abdul Muhith. (n.d.-b). Tetebah Doso. Ponpes Al-Fithroh Jejeran.

Maulana Muhammad Ali. (2010). Qur'an Suci: Teks Arab, Terjemah dan Tafsir. Darul Kutubil Islamiyyah.

Muhammad bin Ahmed bin Mustafa bin Ahmed, dikenal sebagai Abu Zahra. (n.d.). Zahratut Tafaasiir (Vol. 8). .

Muhammad bin Umar bin Al-Hassan bin Al-Hussein Al-Taimi Al-Razi. (n.d.). Mafatih Al-ghayb. dar "iihya" alturath alearabii.

Muhammad Jamal al-Din bin Muhammad Saeed bin Qasim al-Qasimi. (n.d.). Mahasin Al-taawil (1st ed.). Dar Al-kutub Al-eilmia.

Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi. (n.d.-a). Khuluqul Muslim fi Al-Qur'anil Karim. Al-Maktabah Al-Tawfiqiyyah.

Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi. (n.d.-b). Tafsir Al-Sya'rawi (Vol. 14). .

Sayyid Quthb. (n.d.). Fi Zhilal Al-Quran. Dar Al-Syuruq.

Shihab, M. Q. (2005). Tafsir al-Mishbh: Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur'an (Cet. 6). Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2019). Islam yang saya anut: Dasar-dasar ajaran Islam (Cetakan keempat). Lentera Hati.

Syams al-Din Abi Abdullah Muhammad bin Ahmed bin Otsman bin Qaymaz al-Dhahabi. (n.d.). Al-Kabaa'ir. .

Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 15. (n.d.). NU Online. Retrieved January 9, 2025, from https://nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-an-nisa-ayat-15-Kuqp4

. (n.d.). . Retrieved January 8, 2025, from https://www.alhodacenter.com/question/10188

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun