Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tujuh Putri Bintang ( fantasi ) part-1

13 Juni 2016   15:14 Diperbarui: 10 Oktober 2016   13:19 2554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap sejarah kebudayaan Bangsa Indonesia, berikut ini adalah salah satu legenda rakyat Jawa yang saya kembangkan menjadi sebuah cerita fantasi ^,^

 

“Aku tidak mengerti kenapa kita harus pergi kesana,” gerutu Electra seraya mengetuk-ngetukkan jarinya diatas meja, “Apa menariknya sih ?”

“Disana kan tempat nenek moyang kita berasal kak,” sahut Merope yang terlihat sibuk mencermati layar Media-Pencari-Berita di hadapannya.

“Iya. Tapi tempat itu kan masih primitif. Aku …”

“Jangan bilang begitu kak,” sela Merope, “Mereka kan sedang dalam proses membangun peradabannya kembali. Kebetulan saja kita beruntung karena para pendahulu kita dulu sempat menyelamatkan diri saat banjir besar melanda. Kalau tidak, saat ini mungkin kita yang berada di posisi mereka.”

“Maka dari itu kukatakan mereka primitif, Merope. Teknologi mereka pasti masih kuno sekali.”

“Kita ini kan hendak berlibur kak,“ Alcyone muncul di belakang mereka dengan membawa sebuah kotak besar di tangannya, “Tidak harus selalu ke tempat yang penuh dengan teknologi maju kan ?”

“Kita ini seharusnya sibuk mempersiapkan segala sesuatu sebagai tuan rumah Konferensi Semesta Raya yang sebentar lagi akan berlangsung. Bukannya bersantai,” tukas Electra.

“Tidak ada salahnya bersantai sedikit kak,“ Taygeta merangkul bahu Electra, “Justru karena selama beberapa waktu ke depan kita akan sibuk sekali, makanya kita perlu beristirahat sebentar.”

“Ini namanya buang waktu.”

“Tidak akan ada waktu yang terbuang, Electra,” kata Maia dari belakang layar navigasi-dua, “Celaeno bisa membawa kita melalui jalan tersingkat.”

“Hanya nol koma sembilan puluh tujuh daur Bulan Serena melalui Portal Cyenne,” sahut Celaeno.

“Aku belum pernah dengar nama portal itu,” Electra menatap Celaeno penuh selidik.

“Aku dan team-ku baru menemukannya saat penjelajahan lalu. Belum dipatenkan.”

“Dan kau yakin aman ?”

“Tinggal menyesuaikan  kecepatan dan menurunkan tekanan di saat yang  tepat. Ya. Aku yakin kak.”

“Terserah kalian lah.”

“Alaa.… aku tahu. Kak Electra kesal karena hari ini tidak bisa bersama-sama dengan Jenderal Elqiyore kaan,” goda Sterope sambil tertawa terkikik.

“Tidak ada hubungannya, Sterope !  Kami kan memang harus bekerjasama menyusun strategi keamanan untuk acara konferensi mendatang,” bantah Electra kesal, “Dan bagaimana jika ada kondisi darurat yang mengharuskan kita untuk segera kembali ?  Kita ini pergi tanpa ijin !”

“Kita kan punya Taygeta,” sahut Maia tenang, “Ia bisa langsung tahu berita apa saja yang disebarkan oleh Pusat Kendali Gugusan dengan kekuatan pikirannya yang sangat diatas rata-rata itu.”

 

…….

 

“Bersiap memasuki Portal Cyenne!” seru Celaeno sembari berkonsentrasi pada layar navigasi-satu di hadapannya.

Semua duduk di kursi masing-masing dan mengaktifkan kunci pengaman.

Lantai terasa bergetar. Dengungan hampa udara memenuhi gendang telinga.  

“Kau tidak akan menyesal ikut kesana kak,“ ujar Merope setelah mereka bisa saling mendengar lagi, “Tempatnya indah sekali. Juga menyehatkan. Air danaunya masih sangat murni karena tidak ada yang berani masuk kesana. Para penduduk sekitar menganggap hutan lebat itu dihuni oleh makhluk halus.”

“Padahal sebenarnya  tidak ada apa-apa di dalam sana,” Sterope melanjutkan, “Area hutan itu dipenuhi oleh tumbuhan sejenis perdu yang mengandung zat halusinogen klasifikasi B. Goresan sekecil apapun pada setiap lembar daunnya dapat membuat zat tersebut menyebar di udara. Dan siapapun yang menghirupnya akan mengalami halusinasi yang biasanya menyeramkan. Kecuali kita tentunya. Efek halusinasinya juga bisa bertambah parah akibat kerapatan molekul udara di hutan itu yang sangat renggang. Kurasa di dalam tanahnya memiliki kandungan…..”

“Tunggu dulu,” potong Electra, “Hutan ?  Kita akan berlibur di hutan ? Kak Maia, memangnya kendaraan kuno-mu ini dilengkapi dengan perisai-dimensi ?”

“Tentu saja tidak,” sahut Maia sambil tersenyum pada Celaeno yang duduk di sampingnya, “Ini kan model lama.”

“Apa ?” Electra bertambah gusar, “Lalu bagaimana caranya kita akan mendarat dengan ukuran sebesar ini ?  Katamu tadi hutannya lebat, Merope ? Dan aku yakin barang rongsokan ini bahkan tidak memiliki pintu-teleport kan ?  Aku hanya melihat sebuah tangga pendek di ujung sana !”

“Siapa yang bilang kita akan mendarat kak ?  Itu sih terlalu biasa dan tidak mengasikkan,” Alcyone membuka kotak besar yang tadi diletakkannya di atas meja, “Kita akan turun menggunakan ini.”

Electra, Taygeta, Sterope dan Merope melihat ke dalam kotak.

“Hei !  Ini kan sayap-sayap kita saat masih kecil dulu !”

“Benar,” Alcyone mulai mengeluarkan isi kotaknya, “Akan kubagikan satu persatu. Merah Kak Maia, jingga Kak Electra, kuning Kak Taygeta, hijau milikku, biru Celaeno, nila Sterope, dan ungu Merope.”

“Ohh sayapkuu….,” Celaeno memeluk sayap miliknya.

“Waah….. serasa kembali ke masa kecil ya !” kata Merope.

“Aku sampai tak ingat pernah punya benda secantik ini,” decak Maia kagum.

Sterope membelai bulu-bulu halus sayapnya dengan perasaan penuh nostalgia.

Taygeta memakainya dan berputar-putar di tengah ruangan.

Electra memegangi sayapnya jauh-jauh dengan dua jari.

“Memangnya benda ini masih bisa dipakai ? Aku tidak mau memakai mainan anak-anak. Aku mau berteleport saja,” Electra mengembalikan sayapnya ke dalam kotak.

“Tidak bisa Electra,” sergah Maia, “Kau kan tahu teleportasi tidak diijinkan di dimensi-luar. Sanksinya diterbangkan keluar gugusan. Lagipula resikonya besar sekali.  Bagaimana jika saat kau tiba di tempat tujuan ternyata ada orang yang melihat ?  Perbuatanmu bisa menimbulkan kehebohan.”

“Bukankah kata Merope hutan itu dianggap angker ?  Seharusnya tidak ada siapa-siapa disitu kan ?” Electra bersikeras.

“Maaf Kak Electra,” sela Sterope, “Tapi kau memang tak bisa berteleport di hutan itu.  Pergeseran tekanan udara disana tidak bisa bersinkronisasi dengan energi tubuh kita.  Hal itu bisa mengakibatkan kau menyimpang dari kordinat tujuanmu dan berpindah jauh sekali walaupun jarak yang dituju sangat dekat.  Jadi kalaupun kendaraan ini dilengkapi dengan pintu-teleport, tetap saja tidak bisa digunakan. Kita harus menggunakan cara manual.”

“Lagipula kak, ini bukan mainan anak kecil lagi lho,“ Alcyone membentangkan sayap miliknya, “Lihat ini. Sudah kulengkapi dengan perisai-takkasatmata pada mode-terbang sehingga tidak ada yang bisa melihat kita saat sedang berada di udara. Dan aku juga sudah menambahkan pendeteksi-DNA sebagai alat identifikasi. Apabila sayap ini dipakai oleh orang lain selain pemiliknya, ia akan otomatis menggulung dan mengunci si pencuri di dalamnya. Selain itu, ia juga mengenali pertambahan berat beban, sehingga akan menolak terbang jika pemiliknya terdeteksi membawa benda asing bersamanya.”

“Sesuai dengan Peraturan Kepemilikan Benda Antar Galaksi, Gugusan dan Planet-Planet tentang larangan membawa tandamata dari tempat manapun yang kita kunjungi, “ sela Maia, “Bagus sekali, Alcyone.”

“Oh ya, hampir lupa. Sayap ini juga sudah kuberi lapisan menyala-dalam-gelap. Tombolnya ada di belakang sini. Bisa membantu kita mencari arah dalam kegelapan.”

“Kak Alcyone hebaat ..!” Sterope berseru kagum.  Merope bertepuk tangan.

“Dan aku juga sudah menyiapkan sesuatu supaya penampilan kita mirip dengan orang-orang disana,” Alcyone mengeluarkan sesuatu lagi dari dasar kotaknya.

Tujuh perangkat pakaian dengan warna warni yang indah.

“Ya ampun. Kita harus berdandan dengan pakaian aneh itu juga ?” keluh Electra.

“Ini indah sekali, Alcyone,” puji Taygeta dan langsung memakainya.

“Apa kau sendiri yang mendesainnya kak ? Kau benar-benar berbakat !”

“Pas sekali dengan bentuk tubuhku.”

“Terlihat anggun sekali. Aku merasa bagaikan seorang putri dalam cerita dongeng.”

“Lihat kak ! Punyaku cantik sekali !” Sterope melambai-lambaikan pakaian miliknya di wajah Electra.

“Astagaaa. Malang sekali nasibku. Terjebak dalam keluarga penggemar benda-benda primitif,” cemooh Electra.

 

…....

 

“Lihat ini,” kata Merope yang kembali sibuk diatas Media-Pencari-Beritanya, “Ini ada sebuah aplikasi berisi prediksi nama-nama  yang digunakan oleh masyarakat disana.”

“Dan sekarang kita harus mengganti nama kita juga ?” tanya Electra sinis.

Merope tertawa.

“Tidak kak. Aku hanya ingin menunjukkannya saja padamu. Namanya bagus-bagus dan enak untuk diucapkan.”

“Hei semuanya,” panggil Maia, “Lihat kesini.”

Semua mendekat ke ruang navigasi.

“Saksikanlah !” Celaeno membentangkan lengannya lebar-lebar di depan layar besar di hadapan mereka.

“B u m i.”

 

…….

 

Celaeno mengarahkan pesawat ke dalam kumpulan awan cumulus tebal yang menggantung di langit.

“Tunggu sebentar. Sebelum keluar, pakai ini di tangan kalian semua,” Sterope membagikan sesuatu pada semua saudarinya.

“Apa lagi ini ?” tanya Electra.

“Ini Gelang Regenerasi-Pengganda. Alat berbasis sistem kloning dan regenerasi-sel yang baru selesai kukerjakan bersama team-ku. Untuk mengobati penyakit, luka, sampai menumbuhkan kembali anggota badan yang terpotong dalam waktu singkat.”

“Oh….. sama seperti yang kaulakukan di laboratoriummu ya kak ?” tanya Merope.

“Benar. Sistem yang sama namun dikemas dalam bentuk portable. Anti-air, anti-guncangan dan dapat menahan panas hingga seribu dua ratus derajat kelvin. Alat ini sebenarnya baru akan dipresentasikan saat konferensi nanti sebagai perlengkapan umum wajib untuk perjalanan.”

“Memangnya kita akan mengalami apa di bawah sana sampai harus menggunakan perlengkapan seperti ini ? Bertemu makhluk jahat pemotong anggota tubuh ?” sindir Electra.

“Ini kan sama saja seperti kau membawa perlengkapan pribadi lainnya saat bepergian, Electra,” kata Maia, “Semua pasti ada kegunaannya nanti.”

“Lagipula bentuknya juga bagus. Aku suka,” timpal Taygeta.

“Kak Alcyone yang membuatkan desainnya," Sterope tersenyum pada Alcyone.

"Semua desain Kak Alcyone indah ya," Merope terkagum-kagum.

"Terimakasih," sahut Alcyone senang.

"Sengaja kuminta dibuat seperti asesori biasa sehingga tidak mengganggu penampilan saat dipakai. Apabila hendak digunakan, kalian tinggal tekan tombol kecil ini,” Sterope meraba bagian dalam gelangnya. Kemudian muncul sebentuk layar hologram kecil di udara.

“Disini ada petunjuk pemakaian lengkap sampai menu untuk mengetest apakah hasil akhirnya sudah aman untuk digunakan atau belum.”

“Kau hebat Sterope. Ini akan sangat berguna sekali,” puji Celaeno.

 

……..

 

“Semua siap ?” Maia memimpin di depan adik-adiknya.

“Siap, kak !” jawab Taygeta.

“Terbaang !” Alcyone merentangkan tangannya.

“Mandi !  Mandi !” Sterope menandak-nandak.

“Asiiikk !” seru Celaeno.

“Horeee !” Merope bersorak.

“Kita batalkan saja !” teriak Electra.

“Appaaaa ??” semua berseru serempak.

Maia menoleh menatap Electra.

“Apa maksudmu Electra ?”

“Aku punya prediksi tidak enak tentang hal ini kak,” jawab Electra.

“Yang benar saja kak !  Kita sudah tigaperempat jalan nih !” protes Taygeta.

“Iya kak. Aku sudah ingin sekali melihat Bumi,” rengek Merope.

“Hmm. Kak Electra memang punya sentimen pribadi terhadap Bumi sejak awal,” komentar Celaeno.

“Huuu… kakak !  Aku ingin mandi, kak !” Sterope menggerutu.

“Kakak meragukan kemampuan sayap buatanku ya ?” tuduh Alcyone.

“Ssh… tenang dulu,” lerai Maia, “Electra, apa kau yakin prediksimu tidak dipengaruhi oleh rasa tidak sukamu terhadap tempat yang akan kita  kunjungi ini ?”

Electra terdiam.

“Aku…. yah.…”

“Kami sangat percaya pada keahlianmu dalam ilmu prediksi, Electra,“ ujar Maia lembut, “Tapi kurasa kali ini konsentrasimu banyak terpengaruh oleh faktor lain. Bagaimana menurutmu ?”

“Yah…. mungkin begitu, kak…..”

“Nah, kalau begitu kita lanjutkan saja perjalanan kita. Asalkan kita selalu bersama, aku yakin tidak akan terjadi apa-apa.”

Dan ketujuh putri itu turun ke bumi.

 

…….

 

Mereka tiba di tengah hutan yang sepi.

Kemudian melepas sayap masing-masing dan meletakkannya di tepi danau.

“Waah airnya jernih sekali !” seru Sterope.

“Benar kan kak ?” sahut Merope.

“Kau benar Merope. Tubuhku langsung terasa segar,” Taygeta menenggelamkan tubuh sebatas leher dan bersandar ke bebatuan di belakangnya.

“Benar-benar belum tersentuh oleh manusia,” Maia membasuh wajah dengan air yang dingin.

“Seandainya di tempat kita ada danau seperti ini…..hmm….,” Alcyone memejamkan mata menikmati.

“Asik sekali ya. Aku ingin kita bisa lebih sering datang kesini,” Celaeno mencipak-cipakkan kaki di dalam air.

“Dan kalau hal itu sampai terjadi, aku tak akan pernah ikut lagi,” kata Electra ketus walau tampak sangat menikmati kegiatan berendamnya.

Yang lain tertawa.

 

…….

 

Setelah puas berendam dan bermain air, ketujuh putri bersiap untuk pulang.

Tetapi ternyata salah satu sayap mereka hilang.

Sayap berwarna ungu milik Merope.

“Siapa ??  Siapa pencurinya ??” teriak Electra marah, “Kurang ajar !!”

“Kau yakin tidak meletakkannya di tempat lain Merope ?” tanya Celaeno.

Merope menggeleng dengan bingung.

“Untuk apa kau tanya lagi Celaeno ?  Sudah pasti Merope meletakkannya disini bersama dengan sayap kita yang lain kan ??” Electra masih berteriak.

“Kak, tenang sedikit. Kau membuat keributan,” kata Sterope.

“Tenang bagaimana sih ?  Benda milik kita dicuri orang, Sterope !  Dasar manusia ! Awas kalau…”

“Kita kan juga manusia kak,” potong Taygeta.

“Aku tak mau disamakan dengan manusia barbar seperti pencuri itu !  Dan seharusnya planet ini diikutsertakan dalam Federasi Planet-Planet Semesta Raya supaya mereka tahu peraturan bahwa mencuri itu tidak diperbolehkan !”

“Mereka belum siap, Electra. Kau tahu betul soal itu,” Maia berusaha menenangkan adiknya.

“Dan kau Alcyone !  Apa gunanya alarm anti pencurimu kalau tidak menimbulkan bunyi sama sekali ? Kau seharusnya membuat sayap itu bisa berteriak keras-keras, bukan hanya menangkap pencuri tanpa suara ! Itupun kalau si pencuri mencoba memakainya. Bagaimana kalau dia cuma mengambil dan membawanya ?”

“Aku…. tak berpikir kesitu kak…” jawab Alcyone dengan wajah menyesal.

“Benar-benar mengesalkan !  Awas saja kalau kutemukan dia !” Electra menghentak-hentakan kakinya dengan marah di atas batu besar tempatnya berdiri, “Akan ku…”

“Kak !  Hati-hati !  Kau bisa menghancurkan batu itu !” Celaeno memperingatkan, “Tahan sedikit kekuatanmu !”

“Sudah, sudah. Mari kita cari bersama-sama. Siapa tahu pencuri itu masih ada di sekitar sini,” ajak Maia.

“Lagipula siapa tahu pelakunya bukan manusia. Di hutan ini pasti banyak binatang kan…”

“Tidak mungkin !  Pasti manusia !”

“Sudahlah, mari kita cari saja.”

 

…….

 

Meskipun semua sudah lelah mencari, sayap Merope tetap tak dapat ditemukan.

Lalu mereka mencoba untuk mengangkat Merope bersama-sama.

Tetapi sayap mereka menolak untuk terbang karena Merope terdeteksi sebagai benda asing.

“Hah ! Sayap tak berguna !” maki Electra, “Dan ini gara-gara Kak Maia juga ! Kenapa sih, kita harus pergi memakai kendaraan kuno itu ? Seandainya kita memakai pesawat lain yang dilengkapi dengan perisai-dimensi, kita pasti bisa mendarat dengan mudah di tempat ini ! Pesawatku pasti bisa melakukannya !”

“Bagaimana kalau kita paksakan saja pesawat kita untuk mendarat di bawah sini ?” usul Celaeno.

“Dan merusak benda-benda di tempat ini ?  Kita bisa meninggalkan banyak jejak, Celaeno,” sahut Maia sambil mengerutkan kening, berpikir keras.

“Bagaimana kalau sebagian dari kita kembali ke pesawat dan mencari tempat yang lapang di luar hutan ini untuk mendarat ? Kemudian Merope dan lainnya menyusul melalui jalan darat ?"

“Sepemantauanku dari atas tadi, semua tempat lapang diluar area hutan ini adalah persawahan yang penduduknya banyak. Kita akan terlihat.”

"Lalu bagaimana ?"

“Inilah akibatnya kalau terobsesi pada barang-barang primitif !”

“Ssshh !  Ada pengiriman berita massal dari Pusat Kendali Gugusan !” Taygeta memberi isyarat dengan tangannya supaya semua diam.

Taygeta memejamkan mata. Berkonsentrasi menguatkan pikiran.

“Merope, “ Taygeta membuka matanya setelah beberapa saat, “Maafkan kami. Sepertinya kau harus tinggal disini untuk sementara waktu sampai kami bisa menjemputmu kembali.”

“Apa ?”

“Ada apa ?”

“Apa yang terjadi Taygeta ?”

“Ada masalah. Sekumpulan delegasi dari beberapa galaksi yang seharusnya menjadi peserta konferensi telah mengajukan pembatalan keikutsertaannya. Mereka tidak sepaham dengan beberapa topik yang akan kita bahas karena merasa akan dirugikan seandainya kebijakan-kebijakan baru tersebut nanti disetujui dan terlaksana. Tapi ayah dan para petinggi federasi menolak pembatalan tersebut dan memaksa mereka untuk tetap ikut serta dalam konferensi. Saat ini telah terjadi kerusuhan level dua di area pusat. Dan setelah pulang nanti kita mungkin tidak akan bisa langsung kembali lagi untuk menjemput Merope karena Divisi Pertahanan telah memberlakukan penjagaan tingkat maksimum pada semua akses keluar masuk gugusan. Semua personil diinstruksikan untuk segera kembali dalam batas waktu yang sesuai dengan perijinan masing-masing. Padahal kita saat ini berada diluar batas tanpa ijin. Kita benar-benar harus segera kembali sekarang kalau tidak ingin mendapat masalah.”

“Nah ! Itulah yang sedang berusaha kuprediksikan sewaktu kalian tiba-tiba memaksaku untuk ikut dalam acara tamasya tidak jelas ini !” ujar Electra kesal.

“Aduh… Bagaimana ini ? Aku menyesal sekali tidak mengajukan perijinan dulu sebelum pergi,” keluh Maia.

“Bukan salahmu kak. Mengurus perijinan untuk pergi sejauh ini kan memakan waktu lama. Sedangkan pertimbangan kita pada waktu itu adalah tidak adanya cukup waktu sebelum konferensi dimulai, dan kemungkinan untuk tidak disetujui karena tujuannya hanya untuk berlibur. Ini salah kita bersama.”

“Dan kita tak menyangka akan terjadi keributan. Seharusnya kan ini hanya konferensi biasa.”

“Dan aku tidak bisa memprediksikan hal ini sejak awal karena kalian menyembunyikan acara jalan-jalan ini dariku dan baru memberitahukannya saat kita sudah di tengah perjalanan !” omel Electra lagi.

“Maafkan kami Electra. Kami sengaja berbuat begitu karena kau pasti tidak akan mau ikut kalau diberitahu lebih dulu. Kami hanya ingin kita bertujuh punya waktu sebentar untuk jalan-jalan bersama. Hal yang sudah lama sekali tidak kita lakukan,” kata Maia.

“Sudahlah, sekarang yang penting bagaimana dengan Merope ?  Masa kita harus meninggalkan dia ?”

“Aduh… Merope, aku  tak sanggup meninggalkanmu sendirian disini...”

“Merope…..aku tidak tega.......”

Merope menggeleng dan tersenyum.

“Tidak apa-apa kak.  Aku sudah cukup lama belajar tentang peradaban di berbagai tempat terutama di Bumi. Aku juga sudah menguasai beberapa bahasa mereka dengan baik. Kurasa aku  bisa menyesuaikan diri dan berbaur dengan masyarakat disini.”

“Mana bisa begitu, Merope ! Kau kan masih kecil !  Dan bagaimana kalau kau bertemu binatang buas di hutan ini ?” protes Electra.

"Merope sudah dewasa, Electra. Meskipun ia yang paling muda diantara kita, tapi aku yakin Merope  bisa menjaga dirinya dengan baik. Dan saat ini memang tak ada lagi yang bisa kita lakukan,” kata Maia.

“Iya kak. Jangan khawatirkan aku. Aku akan mencari jalan ke pemukiman penduduk terdekat. Dan aku yakin masih menguasai ilmu pertahanan diri yang kita pelajari sejak kecil. Sekarang sebaiknya kakak semua segera kembali. Kalau sampai ketahuan kita pergi meninggalkan markas masing-masing tanpa ijin, ayah dan ibu pasti akan sangat marah.”

“Kalau begitu aku akan mampir ke markasmu dalam perjalanan pulang dan memberi instruksi kepada Maleaki supaya menggantikan pekerjaanmu untuk sementara waktu,” kata Alcyone, “Tapi alasan apa yang harus kuberikan padanya ?”

“Terimakasih, kak. Maleaki sudah lama sekali menjadi wakilku. Kerjanya bagus dan ia tak pernah bertanya apapun. Kakak katakan saja aku sedang ada urusan untuk jangka waktu yang tak bisa diperkirakan.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Lalu bagaimana  jika ayah atau ibu mencarimu ?” tanya Celaeno.

“Aku yang akan mencari cara untuk mengalihkan perhatian ayah dan ibu,” sahut Maia.   

“Ini tidak baik.  Tidak baik. Benar-benar tidak baik,” gumam Electra berulang-ulang.

“Saat ini kita tak punya pilihan lain lagi, Electra,” ujar Maia.

Taygeta menarik tangan Merope dan menyuruhnya bergeser beberapa langkah.

“Dengar, Merope. Sepertinya aku dapat mengusahakan supaya kita tetap bisa berhubungan melalui telepati. Tetapi hanya pada satu malam di setiap pergantian musim. Karena saat itu adalah waktunya energi tubuhmu meningkat sampai ke batas tertinggi. Koneksinya pun hanya bisa dilakukan ketika tempat tinggal kita sudah berada pada posisi lima puluh derajat di atas kepala,” Taygeta menunjuk ke langit, “Disitu. Dan ingat, kau harus berdiri tepat di tempat kau berdiri saat ini. Harus di titik ini. Mengerti ?”

“Mengerti kak,” jawab Merope.

Dan setelah saling berpelukan erat sebagai ucapan selamat tinggal, keenam putri terbang meninggalkan Merope.

 

*******

 

DESA X.  JAWA TIMUR - INDONESIA.

Jaka mengusap peluh di keningnya.  Ia ingin sekali membawakan daging rusa muda untuk Nenek Imas, tetangga baik hati yang membantu mengurusnya dari kecil sampai sekarang setelah ibunya meninggal. Sayangnya sejak tadi tak terlihat satu hewan buruanpun yang bisa ditangkap dan dijadikan makan malam.

Setelah semakin jauh masuk ke dalam hutan, akhirnya Jaka tiba di batas hutan angker. Tempat yang selalu dihindari oleh semua orang. Para penduduk desa percaya bahwa di hutan ini banyak setan jahat yang akan menangkap siapapun yang berani datang ke sini.

Tetapi karena Jaka adalah pemuda yang pemberani, ia terus saja berjalan memasukinya.

Saat tiba di bagian hutan yang gelap, samar-samar Jaka mendengar suara perempuan yang sedang tertawa-tawa. Sepertinya lebih dari satu orang.  Tanpa rasa takut, dicarinya sumber suara itu.

Dan ia menemukan sebuah danau kecil di tengah hutan.

Ia langsung bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Mengintip dengan hati-hati.

Di  tengah danau itu ada tujuh orang gadis yang sedang asik mandi sambil bersenda gurau.  

Semuanya berparas amat sangat cantik.  Jaka sampai merasa heran bagaimana bisa ada wajah secantik itu di muka bumi ini.

Mungkin karena mereka bukan manusia, pikirnya.

Kemudian Jaka memperhatikan sekelilingnya.

Tak jauh dari tempatnya bersembunyi, ia melihat ada setumpuk benda berwarna-warni yang tergeletak di atas sebuah batu besar.

Ia beringsut-ingsut mendekat.

Ternyata benda itu adalah tumpukan beberapa pasang sayap. Mirip dengan sayap  burung.  Tetapi jauh lebih besar dan terlihat lebih halus.  

Jaka memperhatikan gadis-gadis itu lagi dari balik batu.

Kalau sayap-sayap ini milik mereka, apakah mereka menggunakannya untuk terbang ?  Datang darimana mereka ?

Lalu karena merasa penasaran, Jaka memberanikan diri mengambil salah satu sayap yang letaknya paling atas dan membawanya pergi.

Ia bermaksud mencobanya sebentar.

Setelah jauh dari danau, Jaka memakainya.  

Dan sayap itu langsung menggulungnya.

Memerangkap dan menjatuhkannya ke tanah.

Jaka meronta-ronta.

Sayap itu menjepit tubuhnya dengan sangat erat.

Tetapi Jaka juga adalah seorang pemuda yang tangguh.

Dengan perlawanan sekuat tenaga, akhirnya ia berhasil melepaskan diri.

Kemudian langsung berdiri dan membanting sayap itu ke tanah.

Sayap itu diam tak bergerak.

Setelah menunggu beberapa menit dan sayap itu tetap diam, akhirnya Jaka menyimpulkan bahwa benda itu hanya berbahaya saat sedang dipakai saja.

Kemudian diambilnya sayap itu, lalu berjalan kembali ke arah danau. Ia bermaksud mengembalikannya.

Namun sebelum sampai ke danau, Jaka mendengar gadis-gadis itu sekarang sedang ribut.

Tidak tertawa-tawa lagi seperti sebelumnya.  Sepertinya sedang bertengkar.  

Jaka mengintip lagi.

Rupanya mereka sudah selesai mandi dan mengetahui ada sepasang sayap yang hilang.

Salah satu dari  mereka tampak marah sekali. Gadis itu berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Jaka. Meskipun sangat cantik, tetapi wajahnya terlihat amat menyeramkan akibat kemarahan yang meluap-luap.

Menyaksikan hal itu, Jaka yang masih tidak tahu apakah gadis-gadis itu manusia atau bukan dan tidak tahu apa yang bisa mereka perbuat terhadapnya, akhirnya memutuskan untuk segera kembali saja ke desa.

 

……

 

Malam tiba.

Jaka duduk termenung di depan rumahnya, terus-terusan memikirkan ketujuh gadis di hutan tadi.  

Ia merasa amat bersalah telah mengambil salah satu sayap mereka.  Tadinya ia hanya merasa penasaran dan ingin menyelidiki sebenarnya benda itu digunakan untuk apa.  

Tetapi sekarang ia menyesal sekali telah membawanya.  

Apakah gadis-gadis itu sudah pergi ? Pergi kemana ?  Apakah mereka manusia ?  Atau setan ?  Dan gadis yang terlihat paling marah tadi, apakah dia pemilik sayap yang diambilnya ?  Bagaimana kalau gadis itu tidak bisa pergi karena sayapnya tidak ada ? 

Dan setelah melalui pergumulan batin yang cukup lama, akhirnya rasa tanggung jawabnya sebagai laki-laki membawa Jaka masuk kembali ke dalam hutan.

 

…....

 

Di dalam hutan sudah sangat gelap.  Jaka berusaha mencari jalan ke arah danau.

Tiba-tiba ia mendengar suara tangis perempuan.  

Dicarinya asal suara itu.

Ternyata salah satu dari ketujuh gadis tadi. Sedang duduk di bawah pohon besar sambil menangis menutupi wajahnya.  

Dari warna pakaian yang dikenakannya, Jaka langsung tahu, dia bukanlah si gadis pemarah.

“Kenapa kau menangis ?” tanyanya memberanikan diri.

Gadis itu tersentak dan menengadah.

Wajah cantiknya yang bersimbah air mata berkilau tertimpa cahaya bulan.

“Aku…... tersesat,” jawabnya.

Jaka sedikit terkejut.

Ternyata gadis itu menggunakan bahasa yang sama dengannya. Padahal ia yakin sekali sore tadi ia mendengar mereka berbicara dengan bahasa tak dikenal.

“Dimana tempat tinggalmu ?” tanya Jaka.

“Mmm…. aku..… tidak ingat ,” jawab gadis itu. Ia terlihat bingung.

“Tidak ingat ?  Jadi…. kau tidak ingat bagaimana kau bisa berada di hutan ini ?”

“Aku……. sedang mencari benda milikku yang hilang. Tapi aku lupa benda apa itu,” jawabnya.

“Oh… begitu,” sahut Jaka sembari membatin.  Apakah gadis ini sedang berbohong karena tidak ingin sayap itu diketahui orang lain, atau memang benar ia kehilangan ingatan ?

“Kalau….. namamu ?  Apa kau ingat namamu ?” tanya Jaka lagi.

“Ya…….,” gadis itu berpikir sejenak, “Aku ingat.”  

“Namaku…. Nawangwulan.”

 

…….

 

Merope berjalan tak tentu arah. Hari sudah gelap. Ia tak bisa menemukan jalan keluar dari hutan. Padahal ia sudah merasa lelah sekali. Dan  bingung.

Kalaupun nanti ia berhasil sampai ke pemukiman penduduk, apakah mereka mau  menerimanya ?  Apa yang harus dikatakannya jika ada yang menanyakan tentang asal-usulnya ? Tempat tinggalnya ?  

Menurut buku-buku yang dibacanya, saat ini penduduk bumi belum bisa menerima kenyataan adanya makhluk hidup seperti mereka di planet lain.  Bagaimanapun cara menjelaskannya, mereka tetap tak bisa menerimanya.

Lalu harus bagaimana ?  

Merope duduk di bawah sebatang pohon besar sambil menatap langit malam dibalik rimbunnya dahan dan ranting pohon.  

Ia merasa semakin sedih menyadari betapa jauh jaraknya saat ini dengan keluarga dan tempat tinggalnya. Dan tak tahu kapan bisa pulang kembali.

Merope mulai menangis.

“Kenapa kau menangis ?” tanya sebuah suara.

Merope terkejut dan menengadah. Sesosok laki-laki tegap dan gagah berdiri di sampingnya.

“Aku….. tersesat,” jawab Merope.

“Dimana tempat tinggalmu ?” tanya orang itu.

“Mmm.....aku..… tidak ingat,” Merope tak tahu harus mengatakan apa.

“Tidak ingat ?  Jadi…. kau tidak ingat bagaimana kau bisa berada di hutan ini ?”

Merope berpikir cepat.  Kalau ia katakan sedang mencari sayapnya yang hilang, pasti akan terdengar aneh. Tetapi di sisi lain ia juga berpikir orang ini mungkin nanti bisa membantu mencarikannya. Ia sepertinya bisa dipercaya.

“Aku…… sedang mencari benda milikku yang hilang. Tapi aku lupa benda apa itu,” jawab Merope akhirnya.

“Oh… begitu. Kalau…. namamu ?  Apa kau ingat namamu ?” tanyanya lagi.

“Ya…..” Merope menatap bulan yang bersinar sambil mengingat-ingat aplikasi terakhir yang dibacanya di atas pesawat tadi, ”Aku ingat.  Namaku….. Nawangwulan.”

“Nawangwulan ?  Namamu indah sekali,” sahut laki-laki itu.

”Namaku Jaka. Jaka Tarub.”

 

…….

 

Jaka Tarub mengajak Nawangwulan pulang ke desa.

Dititipkannya Nawangwulan pada Nenek Imas yang langsung menyambut dengan ramah karena beliau memang selama ini hidup sebatang kara.

 

…....

 

Selama menunggu kabar dari kakak-kakaknya, Nawangwulan menghabiskan hari-harinya di desa dengan membantu Nenek Imas menyelesaikan pekerjaan rumah dan bekerja di sawah.  

Ia sering berkumpul dan bersenda gurau dengan para gadis desa sambil mencuci dan mandi di sungai. Menceritakan tentang kehidupan dan alam sekitar untuk membuka pikiran mereka. Supaya mereka bisa membantu menjaga dan memelihara lingkungan bersama-sama.

Di sore hari ia menyempatkan diri untuk bermain dengan anak-anak. Menyanyikan lagu-lagu sederhana dengan irama yang indah. Mengajarkan bermacam-macam permainan dengan memanfaatkan semua yang ada di sekeliling mereka untuk berkreasi.

Ia juga tak segan membantu orang-orang tua di desa yang sudah tak sanggup lagi mengerjakan pekerjaan ringan mereka sehari-hari.

Dan dalam waktu singkat, Nawangwulan menjadi kesayangan penduduk desa.

Ia cantik, pintar, dan pandai bergaul.  Sikap dan tingkah lakunya yang sopan dan hormat kepada semua orang membuat tak ada satupun yang memikirkan lagi tentang siapa sebenarnya Nawangwulan dan darimana asalnya.

Kehadirannya menciptakan suasana baru yang ceria di desa itu.  Semua orang menyukainya.

Begitu pula dengan Jaka Tarub.  

Semakin hari ia semakin jatuh cinta pada Nawangwulan.

Dan atas dorongan dari Nenek Imas, akhirnya Jaka Tarub memberanikan diri untuk melamarnya.

 

……

 

Nawangwulan duduk termenung.

Selama ini ia melihat sosok Jaka Tarub sebagai laki-laki  berhati lembut namun pemberani yang selalu siap membantu siapa saja yang sedang dalam kesulitan.  Seringkali Jaka Tarub berburu binatang sampai jauh ke dalam hutan hanya untuk membagi-bagikan dagingnya kepada semua orang.  Hal yang tidak dilakukan oleh laki-laki lain di desa itu.

Tanpa disadari, Nawangwulan juga telah jatuh cinta pada Jaka Tarub.

Tetapi untuk menikah…..

 

…….

 

Malam ini saatnya pergantian musim.

Merope berdiri di tepi danau memusatkan pikiran.

Merope !

Kak Taygeta ?

Kau baik-baik saja kan Merope ?  Tidak terluka atau sakit ?  

Tidak kak, aku baik-baik saja.

Syukurlah. Maafkan kami Merope. Kondisi disini sangat tidak bagus. Konferensi ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Dan banyak sekali perubahan peraturan yang ditetapkan. Perjalanan antar ruang untuk sekedar saling mengunjungi keluarga ke planet lain saja tidak diperbolehkan. Kalaupun boleh harus dengan ijin khusus dan alasan yang jelas.  Semua personil yang pergi keluar gugusan harus melalui pemeriksaan ketat berlapis untuk mengantisipasi kemungkinan pengkhianatan dari dalam. Untung saja ayah dan ibu menjadi sangat sibuk karena kondisi ini sehingga tak tahu kalau kau tak berada di tempatmu. Kami berenam juga sangat sibuk dengan tugas-tugas baru di markas kami masing-masing. Tapi kami tetap berkomunikasi setiap saat untuk mencari celah supaya bisa menjemputmu secepatnya. Kami harap kau dapat bertahan dan bersabar ya, Merope.

Tidak apa-apa kak.  Aku mengerti.

Bagaimana keadaan disana ? Kau berhasil mendapatkan tempat tinggal ?

Aku tinggal di rumah seorang nenek yang baik hati kak.  Semua penduduk desa juga baik padaku.

Ah, bagus sekali. Lalu bagaimana dengan sayapmu ?  Sudah kau temukan ?

Belum kak.  Ehm….. begini kak, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu.

Soal apa ?  Eh, sebentar. Ada yang ingin berbicara juga denganmu.

Sterope bergabung.

Sterope    :  Merope ?

Merope   :  Kak Sterope !

Sterope   :  Meropeee !  Aku rindu padamuu !

Celaeno dan Maia bergabung.

Maia        :  Merope !  Kau sehat-sehat saja kan ?

Celaeno   :  Hei Merope !  Bagaimana kabar bumi ?

Alcyone bergabung.

Alcyone   :  Meropeee !

Merope   :  Kakaaak !  Aku rindu kalian semua !

Taygeta :  Nah Merope, apa tadi yang mau kau bicarakan ?  Cepat katakan sebelum hubungan ini terputus.

Merope  :  Begini kak.  Ada seorang laki-laki….  Emm…. dia yang waktu itu menemukan dan membawaku ke desa sewaktu aku tersesat di dalam hutan. Dan dia…. eh…. dia ingin…. mm….. melamarku….

Electra bergabung.

Alcyone  :  Waaw….. benarkah Merope ?

Electra    :  Apa ??  Siapa yang mau melamar ?

Maia       :  Apa dia serius mengatakannya Merope ?

Celaeno :  Wah, baru sebentar saja sudah ada laki-laki yang jatuh cinta padamu ya, Merope ?

Taygeta  :  Ya ampun. Adikku sudah mau menikah ?  Aduuh… aku kapan yaa ?

Sterope :  Eh, eh, Merope, seperti apa wajahnya ?  Apa dia tampan ?  Ih, aku jadi irii…

Electra    :  Heeii kalian !!  Siapa yang mau menikah ??  Merope ?? Dengan siapa ??

Merope  :  Namanya Jaka Tarub, kak.  Dia laki-laki yang baik. Dia….

Electra    :  Astaga Merope !  Kau mau menikah dengan  manusia bumi ??  Kau sudah gila ya ?

Maia       :  Sabar Electra.  Biarkan dia bicara dulu.

Merope  :  Jaka Tarub laki-laki yang baik dan bertanggung jawab kak. Semua penduduk desa juga menyukainya.

Maia      :  Lalu bagaimana dengan asal usulmu ?  Apa dia tidak mempertanyakannya ?

Merope  :  Sejauh ini dia tidak pernah bertanya kak, karena sejak awal aku memang berpura-pura hilang ingatan.  Tetapi untuk berjaga-jaga seandainya dia bertanya tentang sakit hilang ingatanku yang tak kunjung sembuh, hal itu nanti akan kujadikan syarat persetujuan menikah dariku.

Taygeta   :  Tapi kau tahu kan Merope, cepat atau lambat kau tetap harus pulang kesini jika keadaan sudah membaik ?

Merope   :  Ya kak. Aku tahu itu.

Electra    :  Lalu apa manfaatnya menikah dengan manusia bumi kalau nanti kau akan pulang juga kesini Merope ?  Lagipula usia mereka kan pendek ??

Merope   :  Untuk sementara ini, aku rasa lebih baik jika kuterima lamarannya kak.  Kami sudah saling mengenal dan cukup dekat. Di tempat ini jika ada sepasang laki-laki dan perempuan berdekatan tetapi tidak terikat pernikahan, akan dianggap hal  yang kurang baik.  

Electra    :  Berarti kau terpaksa melakukannya kan ??

Merope :  Tidak kak.  Aku tidak terpaksa. Aku memang mencintainya.

Maia      :  Dan kau akan melanggar beberapa peraturan dalam Pasal Pengaturan Hubungan Khusus Antar Ras dan Spesies, Merope. Tapi mengingat kondisi dan posisimu saat ini …. yah…

Taygeta :  Sudahlah, restui saja pernikahannya. Dan cepat sampaikan apa yang masih ingin kalian katakan. Aku tak sanggup bertahan lebih lama lagi dengan kalian semua berbicara melalui kepalaku secara bersamaan.

Maia       :  Baiklah. Aku setuju. Kalau laki-laki itu memang benar-benar cinta padamu, dia pasti akan menjagamu dengan sepenuh hati, Merope.

Sterope   :  Menurutku juga begitu.  

Celaeno  :  Benar. Lebih aman bagimu.

Acyone   :  Aku juga setuju.

Electra    :  Aku tidak s….

Hubungan terputus.

 

*******

 

Nawangwulan menerima lamaran itu dengan syarat Jaka Tarub tidak pernah boleh mempertanyakan  darimana asalnya, atau bagaimana caranya nanti menyelesaikan sesuatu pekerjaan.

Jaka Tarub yang memang sangat mencintai Nawangwulan menerima syarat itu.

Dan merekapun menikah.

 

*******

 

Jaka Tarub merasa sangat bahagia dengan pernikahannya.

Nawangwulan dapat mengurus pekerjaan rumah tangga dengan baik. Masakannya enak.

Dan persediaan beras di lumbung juga tak habis-habis.

Sebenarnya Jaka Tarub merasa heran akan hal ini. Tetapi karena ia sudah berjanji tidak akan bertanya apapun pada istrinya, maka ia diam saja. Toh apa yang dilakukan Nawangwulan adalah hal yang baik.  Mereka bisa berhemat.

Larangan khusus untuk tidak membuka tutup dandang saat nasi sedang dimasak juga tak pernah dilanggarnya.

 

*******

 

Sembilan bulan sepuluh hari setelah menikah, Nawangwulan melahirkan seorang anak perempuan yang cantik dan sehat. Mereka memberinya nama Nawangsih.

Semua penduduk desa mengagumi kecantikan Nawangsih yang dikatakan sangat mirip dengan ibunya. Tak lupa Nawangwulan juga memberitahukan kabar gembira ini kepada kakak-kakaknya.

Hari-hari yang dilalui Jaka Tarub dan Nawangwulan semakin membahagiakan dengan hadirnya Nawangsih.

Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

 

*******

 

Berita tentang Jaka Tarub yang mendapatkan istri seorang gadis yang sangat cantik dan melahirkan bayi yang juga amat cantik sudah tersebar luas ke desa-desa lainnya.  Hal ini membuat penasaran banyak orang.

Maka suatu hari empat orang teman Jaka Tarub dari desa-desa tetangga memutuskan untuk berkunjung ke Desa X untuk melihat dengan mata kepala sendiri, secantik apa istri Jaka Tarub yang banyak dibicarakan itu.

 

.......

 

Saat tiba dirumah Jaka Tarub,  keempat orang yang penasaran itu benar-benar terkesima melihat kecantikan Nawangwulan yang memang tiada bandingannya.

Juga kemolekan wajah Nawangsih yang sedang tertidur di dalam gendongan ibunya.

Jaka Tarub merasa sangat bangga melihat reaksi teman-temannya.

Sementara dalam hati keempat orang itu dikuasai oleh rasa cemburu yang amat sangat karena mereka merasa tidak akan bisa mendapatkan istri secantik Nawangwulan.

Setelah mendampingi Jaka Tarub berbincang-bincang sebentar dengan teman-temannya, Nawangwulan minta ijin pergi kebelakang untuk memasak nasi.

Beberapa saat kemudian, Jaka Tarub pergi ke dapur mencari Nawangwulan. Ia bermaksud menanyakan apakah nasinya sudah matang atau belum, karena para tamunya sudah merasa lapar.

Tetapi Nawangwulan tidak ada di dapur.

Dandang nasi berada diatas tungku yang menyala.  Uap tipis menguar dari sela-sela tutupnya.

Jaka Tarub tidak tahu bahwa Nawangwulan baru saja menyalakan api untuk memasak nasi karena sejak tadi sibuk membersihkan Nawangsih yang menumpahkan sesuatu di bajunya.

Yang ia tahu, sudah beberapa waktu berlalu sejak istrinya minta ijin pergi ke dapur.

Maka ia memperkirakan saat ini nasinya pasti sudah matang.

Karena terdorong oleh rasa lapar dan keinginan untuk dapat segera menjamu teman-temannya, akhirnya Jaka Tarub membuka tutup dandang itu.

Melupakan larangan Nawangwulan yang selama ini selalu dipatuhinya.

Dan pemandangan yang dilihatnya sungguh aneh.

 

Cerita selanjutnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun