Aku melotot, melirik tajam ke arah penjual yang masih berteriak seraya mengacungkan kepalan tangan. Astaga, ternyata Nora benar, kata itu terlempar dengan mudah hanya karena kami tak jadi membeli dagangannya.
Aku melihat pakaian kami bertiga. Sopan. Kami semua mengenakan tunik lengan panjang dan celana panjang. Bukan, ini bukan masalah pakaian. Entah apa yang ada di pikiran pedagang itu.
Kami memasuki lorong demi lorong di souk. Bagi Seeda dan Nora, mungkin ini tak lagi menarik. Namun buatku, ini sungguh memanjakan mata. Lalu, kuputuskan untuk membeli beberapa jenis oleh-oleh yang tak terlalu mahal.
"Sudah hampir salat asar, kita ke Koutoubia?" tanya Seeda meminta persetujuanku.
"Oh, oke. Never mind. Ayo."
Sedang asyik berjalan di lapangan Jemaa el-Fna, tahu-tahu Nora berteriak lagi.
Â
"La syukran!
Kulihat seekor monyet mendekati Nora, diikuti seorang lelaki berjubah panjang dan bertopi khas Maroko yang disebut "fez". Dia mengucapkan kata-kata yang tak kupahami. Nora menatap dengan jengkel.
"La syukran!
Nora memberi aba-aba agar kami berjalan lebih cepat, ketika pemilik monyet itu mulai berteriak. Aku dan Seeda mengikutinya. Sepertinya, lelaki pemilik monyet tersinggung, mungkin itu teriakan makian juga.
"Ayo cepat, aku malas meladeni mereka," seru Nora.