Nora menatapku seperti kurang percaya.
"Maksudku, ada seorang sepupuku yang menikah dengan pria Maroko," lanjutku, berusaha meyakinkannya.
Aku merasa wanita di hadapanku ini sedikit frontal dalam berbicara. Membaca penuturannya di media internasional, dia memang cukup blak-blakan.
Bagi Nora Ahblain, kata "pelacur" bukan kata asing di kota asalnya, Marrakesh.
Kata tersebut dilontarkan, mulai dari pintu berwarna merah muda, sampai ke sepeda motor butut yang mesinnya berusaha tetap berjalan di kemacetan jalan utama kota. Tidak mudah bagi perempuan di kota ini untuk berjalan ke luar rumah, tanpa dilecehkan. Begitu katanya di media kala itu.
Dua hari berada di Marrakesh, aku paham apa yang dikatakan Nora. Meski sudah berpakaian tertutup, tetap saja ada mulut-mulut usil yang melontarkan kata-kata tak sopan. Kalau sudah begitu, Seeda pasti buru-buru menarikku untuk menjauh.
"Oh, semoga dia mendapatkan suami yang baik, " ujar Nora.
"Semoga. Mereka baru setahun menikah."
Dia kembali tersenyum, sinis.
"Di sini, apa pun yang Anda lakukan, Anda seorang pelacur," ujar Nora sedikit emosi, lalu melanjutkan, "Jika Anda memakai gincu, Anda seorang pelacur. Sekali pun Anda memakai penutup kepala, Anda tetap dianggap pelacur."
Dia terdiam sejenak.
"Sekali pun Undang-undang telah disahkan, tak langsung menyelesaikan masalah. Karena, masalah utamanya adalah perempuan segan melapor, polisi enggan menyelidiki dan jaksa malas mengajukan tuntutan."