Angin yang Berdansa dengan Sunyi
cerpen oleh: Wening Yuniasri
"Kelak, seberapa panjang langkahmu, Elly?"
Baca juga: Bilangan yang Diangkut Angin Sunyi"Mm?"
"Katakan, apa yang sangat ingin Elly lakukan?"
"Elly ingin bisa menjahit seperti Ibu dan Bibi Hasna."
*
"Bersama saya, akan saya jamin kebutuhan Elly. Tolonglah Kak Rasmi"
Suara seorang perempuan dari ruang makan terdengar dari luar rumah beratap genteng tipis. Rasmi yang dibujuk, bergeming, mencerna segala kata dari pendengarannya.
Muhsin berdiri membelakangi ruangan, menatap pohon kamboja berbunga putih di seberang tembok tinggi. Dia tak menyadari seorang anak lelaki menuntun sepeda yang terlalu besar bagi ukuran badannya, berhenti di dekatnya dan turut menyandarkan punggung sambil sesekali memerhatikan mobil merah yang terparkir, lalu dirinya, lalu mobil merah, lalu dirinya lagi sebelum anak lelaki itu berhenti kemudian mengamati kakinya sendiri yang berdebu.
"... saya memahami perasaan Kak Rasmi. Tolonglah, demi Elly."
Dari dalam ruangan, terdengar suara percakapan. Hasna mencoba membujuk Rasmi, ibunda Elly.
"Paman Elly?" tanya anak lelaki itu.
Muhsin menoleh, tersenyum dan mengangguk.
"Tapi Elly tak pernah punya paman," sahutnya sambil menggaruk paha dan kakinya.
"Paman baru?"
Muhsin tersenyum.
"Paman jauh."
"Ooohh...", sahutnya lagi.
"Pastilah sangat jauh. Paman perlu naik mobil ke sini," tunjuknya.
"Kau ini, teman Elly?"
 "Hm!" angguknya. "... kata Abah, Orang jahat sudah membuat Elly sakit. Semua orang menceritakan Elly!"
Muhsin menunduk mengamati lantai.
"Kasihan! Elly sakit tak bisa main galasin, susah bersepeda. Saya main sendiri. Jadi, Paman perlu kasihan pada saya juga!"
Muhsin tersenyum prihatin. Angin menggulung debu di lapang kampung, daun-daun kamboja terbang mendekati tempat mereka berdiri.
"Ah, sepertinya kita perlu saling memperkenalkan diri. Bukankah begitu, kawan kecil?" tanya Muhsin merundukkan badan.
"Muhsin," ujar Muhsin menghentikan sunyi, mengangsurkan tangan kanannya.
"Sani," jawabnya menyambut jabatan tangan lelaki berperawakan tegap itu.
"Baiklah Sani, bisa antarkan Paman berkeliling kampung ini?"
"Paman boleh pakai sepedaku. Kita berboncengan."
Muhsin menyetujui usul Sani. Mereka bersepeda melewati jalan-jalan sempit, atap-atap rendah perkampungan, dan parit.
Tiada penggerak lain yang membuat Muhsin mengarahkan Brio merahnya ke kampung Sinar Bulan selain bisikan-bisikan di kepalanya, bahwa Elly perlu dibantu. Tetapi melihat bagaimana ibu Elly menolak, Muhsin perlu menemukan cara lain. Ditengoknya Sani di belakang punggungnya.
"Hei Sani, kau tak khawatir Paman setir sepedamu? Tak khawatir Paman larikan ke kebun atau rawa-rawa?"
Sani menyengir kuda, "Coba saja kalau Paman berani. Kampung ini aku punya!" sergahnya berkelakar.
"Ah, Wak Husni!"Â
Sani melambai-lambaikan tangannya, menyapa lelaki bersarung di pekarangan yang mereka lintasi. Lelaki yang awalnya menunduk menata kayu itu, menegakkan badan.
"Hei Sani! Pergi ke mana? Bilang ibumu, suruh ke sini!"Â
Sani menunjuk punggung Muhsin di depannya. Muhsin menunduk memberi salam. Mereka melanjutkan petualangan.
"Paman tahu yang terhebat di sini? Ah, pasti Paman belum tahu. Baru kemarin orang kecamatan kemari. Paman tahu? Danau Selendang Bidadari! Ambil kiri, Paman!" Sepeda itu dikayuh kuat-kuat, meluncur ringan. Rambut di dahi kedua kawan baru itu berkelebat masai dipermainkan angin. Mereka tertawa-tawa.
Mengendalikan kemudi, Muhsin teringat percakapan di rumah yang dikunjunginya tadi. Dia perlu membujuk Rasmi, agar Elly boleh tinggal bersamanya supaya bisa dirawat dan bersekolah. Dia tak juga memiliki kemampuan untuk membela Elly lebih banyak. Lembar-lembar map, berkas dan pertanyaan, akan membuat keluarga Elly kesulitan menghadapi persidangan, sedangkan peristiwa kebakaran itu, siapa yang bertanggung jawab belum tentu bersedia memberi uang pengganti pengobatan dan penjamin yang layak. Musibah, katanya. Tapi Muhsin mengetahui yang orang awam tidak. Mengejar perkara ini bukan hal yang mudah.
*
"Saya kurang suka Elly sakit." Sani mencabut bunga rumput, melempar-lemparnya ke udara. Kakinya dijulurkan menghadap danau.
"Ya, Paman juga." Muhsin menatap permukaan danau yang diombang-ambing angin. Berjongkok di sebelah Sani.
"Saya tidak suka ada orang mencelakai Elly," ujar Sani sungguh-sungguh.
Muhsin menghela napas. "Paman ingin Elly dirawat, agar segera sembuh. Agar Elly bisa bermain keluar. Apa mungkin Sani bisa membantu Paman?"
"Membantu?"
"Beritahu Elly agar mau Paman ajak berobat. Paman tahu tempat yang bagus"
Sani menengok wajah Muhsin.
"... supaya Sani bisa lekas-lekas bermain dengan Elly. Bagaimana?"
"Akan saya pikirkan."
"Pikirkan?"
"Tidak gratis. Paman harus membayar"
Dahi Muhsin mengerut. Pamrih? Bocah hijau ini mengerti perkara uang?
"Ajak saya berkeliling dengan mobil Paman," ujarnya menyeringai.
*
"Kau ini anak buahnya. Bagaimana mungkin memihak pada kami, HAH!"
"... tidak akan kuserahkan Elly padamu! Kau. Kau, dengan menikahi Hasna, putri paman Karim, kau akan menjadi keluarga kami. Lihatlah dengan matamu sendiri! Ini yang terjadi pada anak gadisku!" teriak Rasmi kuat-kuat, segera menoleh ke arah saudari terkasihnya, bangkit berdiri memegangi sandaran kursi. Bendungan di kelopak matanya hampir runtuh.
"Hasna, berhentilah membujukku, atau tolak lamarannya!"
Rasmi terduduk, menyeka air mata. Dipukulnya lengan kanan Hasna yang duduk mendekat.
"Maafkan kami jika membuat Kakak gusar. Kami berniat baik karena memihakmu, Kak," ujar Muhsin hati-hati. Rasmi tergugu, memegang erat kursi ruang makan yang semula disandarinya.
Dari ruang tidur, terdengar igauan Elly. Demamnya meninggi. Tubuhnya membiru. Dalam keadaan panik, Elly mereka bopong keluar, menuju rumah sakit kabupaten. Paginya, tergopoh-gopoh mereka membawa Elly pindah, ke rumah sakit terbesar di kota.
*
Sudah lepas Asar. Kecipak Danau Selendang Bidadari memenuhi telinga. Elly tersenyum gembira, duduk di atas kursi roda. Merasai angin danau meniup-niup wajah. Muhsin di belakangnya, mendorong kursi roda. Mereka berdua berjalan menyusur tepi danau.
"Elly tahu, Sani sudah memberitahu Elly. Paman bukan orang jahat itu. Paman membawa Elly ke rumah sakit di kota. Ibu bilang Paman ikut berbuat jahat pada keluarga Kakek. Tapi, ...." Elly terhenti, tak melanjutkan kalimatnya. Burung dalam kelompok, terbang melintas.
"Dia itu, anak yang menyenangkan, ya?" tanya Muhsin sambil memerhatikan anak lelaki yang berlarian di tepi danau, Sani. Sepedanya tergeletak di rerumputan.
"Sani tidak punya abah. Tapi Sani selalu menyebut abah," ujar Elly.
"Elly tahu ayah sudah pulang," lanjut Elly lagi. Muhsin tertegun. Sebuah kebakaran besar, segerombolan besar orang, dan desingan peluru berkelebat melintasi ingatannya.
"Elly juga akan pulang. Paman boleh mengantar Elly. Mm, dengan lampu atap yang menyala?!"
"Tapi tidak boleh gratis," guraunya teringat kalimat Sani padanya tempo hari.
Elly menyeringai.
"Boneka buatan Elly. Beri Paman satu," lanjut Muhsin lagi.
"Akan Elly buatkan boneka jahitan Elly. Yang paaaliiinggg bagus!"
"Janji, ya?"
Langkah mereka terhenti di depan patung ikan mas raksasa.
"Memangnya ke mana ayah pulang, Paman tidak melihat ayah di rumah beberapa hari ini."
"Ke tempat yang paling indah, Paman. Kata ibu, melebihi semua pemandangan! Elly juga ingin melihat tempat itu."
Muhsin tersenyum getir. Lubang peluru di kaki Elly, membuat hatinya semakin terluka. Menuntut penanggung jawab, bukan perkara mudah. Baiknya menuntut Tuhan, untuk meluaskan jiwa Elly dan ibunya. Pengadilan-Nya tokh, tak akan meleset. Pengadilan yang terhadap dirinya sendiri, Muhsin tak dapat membayangkan nasibnya.
"Paman Muhsin, apakah sangat sulit memiliki lencana berkilau?"
"Lencana?"
"Iya, yang pernah Elly lihat di saku Paman."
"Oh, itu. Mm! Elly tahu bagian tersulitnya?"
Muhsin menghirup dalam-dalam udara tepi danau lalu berkata, "... membuat hati Paman terjaga, dari pikiran buruk. Dengan begitu, Paman menjadikan perilaku Paman baik, ringan hati menolong, tapi di atas itu, yang harus selalu Paman ingat, semua atas pertolongan Allah."
Daun kemiri terlepas dari rantingnya, melayang, dan terapung di atas danau.
"Paman ingin suatu kali nanti ketika Elly membuka rumah jahit, Paman mampir bersama Bibi Hasna, membuat baju yang sama, baju jahitan Elly. Kapan itu, ya?"
"Elly akan rajin berlatih, supaya bisa lekas-lekas pandai!" serunya sambil menahan napas, mencoba tersenyum.
Elly menjulurkan kedua kakinya perlahan, mengayun-ayunkan kaki bergantian. Udara membuatnya menatap takjub. Mata jelinya berpendar-pendar, seperti hendak memekik, Ini menyenangkan!
"Kita bisa begini sepanjang pekan, 'kan Paman?" tanya Elly tanpa menoleh.
"Jangan terlalu sering, pun, jangan terlalu senang," ujar Muhsin. Terkejut agaknya Elly, ia menoleh.
"Mengapa?"
"Nanti Elly jadi lengah, kurang waspada"
"... ?"
"... dan jangan mudah takjub. Pun jika itu sangat ajaib. Jangan pernah. Oke, Elly?"
Elly mengangguk sangat antusias, tapi kemudian dihentikannya. Mengatur napas, ia mengangguk cukup terkendali. Pelan dan mantap.
"Lalu bagaimana jika Elly merasa kagum?"
"Ingatlah Allah. Penyebab dari segala kejadian. Rabbana ..."
"Rabbana"
"... maa khalaqta"
"Maa khalaqta"
"... hadzaa bathila"
"Hadzaa bathila"
"... subhanaka"
"Subhanaka"
"... faqinaa"
"Faqinaa"
"... 'adzaaban naar"
"'Adzaban naar"
"Elly akan mengingatnya?"
Elly mengangguk dan tersenyum.
"Elly senang Paman menemani Elly hari ini. Tapi badan Elly lemas, ibu, akan sangat sulit menggendong Elly. Untunglah Paman berkunjung hari ini! Sepertinya Elly harus berterimakasih!"
Elly menghadapkan badan ke arah Muhsin, lalu menundukkan sebagian tubuhnya. Dibenamkannya wajah benar-benar, dan berbisik, "Terima kasih"
Muhsin menahan baik-baik perasaan haru di dadanya, menutupinya dengan senyuman. Matahari mulai enggan diajak bermain. Rupanya mata dan badan Elly juga.
"Kita pulang, Elly. Menyenangkan sepanjang sore di tempat ini bersama Elly. Akan Paman ingat perjalanan kita sore ini, selamanya."
Air keemasan terpantul. Muhsin berjalan menyusuri tepian sungai dan danau, mendukung badan kecil yang lelah di punggungnya. Elly terpejam, menggumam pelan.
"Paman",
"Mm?"
"... tinggallah bersama Elly."
"Mm", sahut Muhsin tersenyum.
Langit jingga keemasan, sinar matahari membuat bayang-bayang badan terlihat memanjang menjauhi garis tepian danau.
"Elly masih bersama Paman?"
"Mm..."
Muhsin melanjutkan langkahnya. Pucuk pohon kelapa gading di muka rumah Elly mulai terlihat.
"Elly masih bersama Paman?"
Terdengar dengkuran.
"Kita hampir sampai, segera bangun, ya?"
Azan bersambung-sambungan,
"Badan Elly semakin berat saja, makan apa saja hari ini?"
Sani mengekor di belakang, mendorong kursi roda Elly. "Sani, bisa tolong bantu Paman?" tanya Muhsin semakin khawatir. "Paman ke rumah sakit. Beri tahu ibu Elly!" Sani mengangguk cepat-cepat, berlari meraih sepedanya.
Wajah bulan keperakan. Malam itu angin menahan dirinya untuk berdansa dengan sunyi. Karena sunyi telah menggandeng tangan kecil Elly, menetap bersamanya.***[wy]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H