"Kau ini anak buahnya. Bagaimana mungkin memihak pada kami, HAH!"
"... tidak akan kuserahkan Elly padamu! Kau. Kau, dengan menikahi Hasna, putri paman Karim, kau akan menjadi keluarga kami. Lihatlah dengan matamu sendiri! Ini yang terjadi pada anak gadisku!" teriak Rasmi kuat-kuat, segera menoleh ke arah saudari terkasihnya, bangkit berdiri memegangi sandaran kursi. Bendungan di kelopak matanya hampir runtuh.
"Hasna, berhentilah membujukku, atau tolak lamarannya!"
Rasmi terduduk, menyeka air mata. Dipukulnya lengan kanan Hasna yang duduk mendekat.
"Maafkan kami jika membuat Kakak gusar. Kami berniat baik karena memihakmu, Kak," ujar Muhsin hati-hati. Rasmi tergugu, memegang erat kursi ruang makan yang semula disandarinya.
Dari ruang tidur, terdengar igauan Elly. Demamnya meninggi. Tubuhnya membiru. Dalam keadaan panik, Elly mereka bopong keluar, menuju rumah sakit kabupaten. Paginya, tergopoh-gopoh mereka membawa Elly pindah, ke rumah sakit terbesar di kota.
*
Sudah lepas Asar. Kecipak Danau Selendang Bidadari memenuhi telinga. Elly tersenyum gembira, duduk di atas kursi roda. Merasai angin danau meniup-niup wajah. Muhsin di belakangnya, mendorong kursi roda. Mereka berdua berjalan menyusur tepi danau.
"Elly tahu, Sani sudah memberitahu Elly. Paman bukan orang jahat itu. Paman membawa Elly ke rumah sakit di kota. Ibu bilang Paman ikut berbuat jahat pada keluarga Kakek. Tapi, ...." Elly terhenti, tak melanjutkan kalimatnya. Burung dalam kelompok, terbang melintas.
"Dia itu, anak yang menyenangkan, ya?" tanya Muhsin sambil memerhatikan anak lelaki yang berlarian di tepi danau, Sani. Sepedanya tergeletak di rerumputan.
"Sani tidak punya abah. Tapi Sani selalu menyebut abah," ujar Elly.