Muhsin menunduk mengamati lantai.
"Kasihan! Elly sakit tak bisa main galasin, susah bersepeda. Saya main sendiri. Jadi, Paman perlu kasihan pada saya juga!"
Muhsin tersenyum prihatin. Angin menggulung debu di lapang kampung, daun-daun kamboja terbang mendekati tempat mereka berdiri.
"Ah, sepertinya kita perlu saling memperkenalkan diri. Bukankah begitu, kawan kecil?" tanya Muhsin merundukkan badan.
"Muhsin," ujar Muhsin menghentikan sunyi, mengangsurkan tangan kanannya.
"Sani," jawabnya menyambut jabatan tangan lelaki berperawakan tegap itu.
"Baiklah Sani, bisa antarkan Paman berkeliling kampung ini?"
"Paman boleh pakai sepedaku. Kita berboncengan."
Muhsin menyetujui usul Sani. Mereka bersepeda melewati jalan-jalan sempit, atap-atap rendah perkampungan, dan parit.
Tiada penggerak lain yang membuat Muhsin mengarahkan Brio merahnya ke kampung Sinar Bulan selain bisikan-bisikan di kepalanya, bahwa Elly perlu dibantu. Tetapi melihat bagaimana ibu Elly menolak, Muhsin perlu menemukan cara lain. Ditengoknya Sani di belakang punggungnya.
"Hei Sani, kau tak khawatir Paman setir sepedamu? Tak khawatir Paman larikan ke kebun atau rawa-rawa?"