"Elly tahu ayah sudah pulang," lanjut Elly lagi. Muhsin tertegun. Sebuah kebakaran besar, segerombolan besar orang, dan desingan peluru berkelebat melintasi ingatannya.
"Elly juga akan pulang. Paman boleh mengantar Elly. Mm, dengan lampu atap yang menyala?!"
"Tapi tidak boleh gratis," guraunya teringat kalimat Sani padanya tempo hari.
Elly menyeringai.
"Boneka buatan Elly. Beri Paman satu," lanjut Muhsin lagi.
"Akan Elly buatkan boneka jahitan Elly. Yang paaaliiinggg bagus!"
"Janji, ya?"
Langkah mereka terhenti di depan patung ikan mas raksasa.
"Memangnya ke mana ayah pulang, Paman tidak melihat ayah di rumah beberapa hari ini."
"Ke tempat yang paling indah, Paman. Kata ibu, melebihi semua pemandangan! Elly juga ingin melihat tempat itu."
Muhsin tersenyum getir. Lubang peluru di kaki Elly, membuat hatinya semakin terluka. Menuntut penanggung jawab, bukan perkara mudah. Baiknya menuntut Tuhan, untuk meluaskan jiwa Elly dan ibunya. Pengadilan-Nya tokh, tak akan meleset. Pengadilan yang terhadap dirinya sendiri, Muhsin tak dapat membayangkan nasibnya.