Sani menyengir kuda, "Coba saja kalau Paman berani. Kampung ini aku punya!" sergahnya berkelakar.
"Ah, Wak Husni!"Â
Sani melambai-lambaikan tangannya, menyapa lelaki bersarung di pekarangan yang mereka lintasi. Lelaki yang awalnya menunduk menata kayu itu, menegakkan badan.
"Hei Sani! Pergi ke mana? Bilang ibumu, suruh ke sini!"Â
Sani menunjuk punggung Muhsin di depannya. Muhsin menunduk memberi salam. Mereka melanjutkan petualangan.
"Paman tahu yang terhebat di sini? Ah, pasti Paman belum tahu. Baru kemarin orang kecamatan kemari. Paman tahu? Danau Selendang Bidadari! Ambil kiri, Paman!" Sepeda itu dikayuh kuat-kuat, meluncur ringan. Rambut di dahi kedua kawan baru itu berkelebat masai dipermainkan angin. Mereka tertawa-tawa.
Mengendalikan kemudi, Muhsin teringat percakapan di rumah yang dikunjunginya tadi. Dia perlu membujuk Rasmi, agar Elly boleh tinggal bersamanya supaya bisa dirawat dan bersekolah. Dia tak juga memiliki kemampuan untuk membela Elly lebih banyak. Lembar-lembar map, berkas dan pertanyaan, akan membuat keluarga Elly kesulitan menghadapi persidangan, sedangkan peristiwa kebakaran itu, siapa yang bertanggung jawab belum tentu bersedia memberi uang pengganti pengobatan dan penjamin yang layak. Musibah, katanya. Tapi Muhsin mengetahui yang orang awam tidak. Mengejar perkara ini bukan hal yang mudah.
*
"Saya kurang suka Elly sakit." Sani mencabut bunga rumput, melempar-lemparnya ke udara. Kakinya dijulurkan menghadap danau.
"Ya, Paman juga." Muhsin menatap permukaan danau yang diombang-ambing angin. Berjongkok di sebelah Sani.
"Saya tidak suka ada orang mencelakai Elly," ujar Sani sungguh-sungguh.