Mohon tunggu...
Waidjie S.
Waidjie S. Mohon Tunggu... -

Mengarang cerita fiksi di setitiktintawaidjie.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

do re mi 1: Bab 3 Modus ke Tingkat Atas

19 Maret 2017   23:16 Diperbarui: 27 Maret 2017   03:00 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cewek manis yang selalu dampingi Rara minta ditemani ke lantai dua. “Rahasia banget,” pikir Rara. Lolie berhenti. Dia pun memutar bola mata ke Rara.

Rara menangkap maksud hati pemilik wajah berkulit putih. Tak perlu dijelaskan. Mata bening Lolie menceritakan bahwa dia berharap penuh kepada Rara. “Kau dulu maju, Ra!” desak Lolie.

“Kau…,” terpaksa lanjutin langkahnya yang mandek. Ah, ternyata melenceng.

Ada sesuatu mengganjal di pikirannya.

Jika dia berdiri mematung 'kan aneh. Dianggap orang apa? Ngapain di sini? Dia keburu menjadi pusat perhatian manusia-manusia di sekelilingnya. Dengan penuh dorongan di pinggangnya. Dorongan Lolie dari belakang.

“Suit… suit.”

“Aduh! Lolie, kalau butuh bantuan. Ngomong dong. Aku gak ada plan. Mesti bilang apa,” Rara membatin setengah mati.

Cowok berparas pas-pasan (menurut Rara nih) itu kebetulan berpaling kepada Rara.

“Kak Hardi, saya boleh pinjam buku paket tahun lalu?” *modus

“Buku apa? Ra…ra…” Dia lihat nama jahitan bordir di bagian kanan seragam Rara.

Rara tak nyaman. Sedikit menyamping. Garuk-garuk kepala, “Gile, Lolie. Buku apa ini? Buku Bahasa Indonesia apa buku diari?”

Entah dapat wangsit darimana dia jadi segera tahu buku apa sebenarnya diincar Lolie. Kakak kelas yang Lolie sangat kagumi. Semua bermula pada saat orientasi penerimaan murid baru. Diantara semua kegiatan, murid-murid diwajibkan mengirim surat kepada kakak kelas mereka. Dari sepucuk surat yang dilontarkan lebih dari setengah tahun lalu itu masih bertengger di hati Lolie. Isi beserta bau-bau wangi di amplop itu masih teringat oleh Lolie. “Kak Hardi, lucu kalau pakai topi.” Tak lama Kak Hardi pun datang ke kelas Lolie. Dia ingin tahu bagaimanakah rupawati si pengkritik itu?

Setelah itu tiada kelanjutan perkembangan. Lolie berharap Kak Hardi bertanya-tanya lebih kepadanya. Tapi sebaliknya. Doi cuman numpang muka di depan kelas atau pengen tahu tampilan Lolie.

“Bahasa Inggris.”

“Kamu anak kelas berapa?”

“X-B.”

“Gimana, Kak, boleh?”

“Boleh. Lagian aku bisa flashback pelajaran lalu. Kalau kamu mau kuajari. Jadinya simbiosis mutualisme. Dan... asal dibalikin. Kalau enggak, kutagih. Aku ngoprek dulu di rumah. Masih ada apa nggak. Kadang ada yang minjam.”

“Baik.”

Hardi menelengkan kepala. “Lolie, kau juga ke sini?”

“Iya, Kak.” Lolie senyum malu-malu. Hatinya berbunga. Hardi masih mengingat namanya.

Lalu Rara berkata, “Makasih, kak.”

“Pamit ya, Kak,” sambung Lolie. Hardi membalas dengan senyuman.

Rara menyikut Lolie di anak tangga. Lolie mengeluh, “Aduh.”

“Jeng, lain kali kasih tahu aku dong!”

“Aku pikir aku bisa ngomong ke dia, Ra.” Lolie usap-usap kedua tangannya, “Maaf, Ra.”

“Yah udah deh.” Make gaya ala Korea lagi memohon ampun. Kejangkitan virus drama Korea,pikir Rara.

***

Semua orang berpaling. Pasang wajah keheranan. Arahnya di pintu kelas.

“Kayak artis mau datang. Kok pada ngeces?” Rara berkata pada dirinya sendiri. Rara membalikkan badan. Deg. Seorang cowok celingak-celinguk. Kemudian dia tersenyum. Hampiri bangku Rara. “Nih.”

“Hah?” Rara masih setengah bingung.

“Kamu kan yang mau pinjam bukuku?”

Rara mengetuk polpennya ke meja. Oh, iya. Lolie.

“Nih.”

“Terima kasih udah antar, Kak,” ucap Rara, sedikit senyum. Rara mengulur tangan untuk sambut buku pinjaman.

“Ingat yah kembalikan!”

“Iiiiya.” Rara cengengesan. Orang bukan aku yang minjem kok.

“Eh… Nomor pin BB kau berapa?”

“Agh…”

“Atau Handphone?”

Entah mengapa Lolie begitu menyukai cowok ini. Bagi Rara, cowok ini lumayanlah, aktif di kegiatan OSIS. Entah mengapa dia tak tertarik padanya. Dan entah mengapa pula kenapa bisa cowok di depannya sekarang meminta nomor hapenya.

Apa aku mau diajak jalan atau apa gitu?

“Gak…”

“Enggak punya, ya?”

“Bukan… Maksudku kenapa minta nomor telponku?”

“O… Bukan maksudku jelek. Ntar kalau suatu saat kamu lupa. Aku bisa nagih buku milikku.”

Rara mengangguk. “O, iya.”

“Aku.. untuk berjaga-jaga. Soalnya aku berpengalaman adik kelasku ada minjem tapi gak pernah ngasih kembali. Bahkan tanpa bersalah dan pura-pura gak tahu gitu dia lupa kalau dia masih utang sama aku.”

Rara sedikit terkejut. “Oh, gitu yah?”

“Tapi bukan maksudku kau orang seperti itu. Dan bukan maksudku menyindirmu.” Dia melanjutkan lagi, “Aku bukan menuduhmu seperti orang tersebut. Tolong jangan salah paham!”

“Ah.. enggak kok, Kak.”

“Kamu tadi ragu-ragu mau kasih aku nomor hapemu,” ujarnya pelan.

“Aku cuman gak ngerti aja kok langsung minta nomor hapeku?”

“O… gitu ya. Hehe.”

Terjadilah tukar menukar nomor telepon dan pin BB antar keduanya. Lalu Kak Hardi balik ke kelasnya atau ke tempat lain. Entahlah kemana. Setengah berharap dia berpapasan dengan Lolie. Siapa tahu Lolie beruntung ketemu Kak Hardi. Kemana sih Lolie?

“Kenapa?”

Bukan Rara tak mendengar. Dia mengenal suara itu.

“Kenapa gampang gitu?”

Rara melirik tajam di sudut matanya. Terhadap seseorang di sebelahnya. “Apa?”

“Kenapa kau mau bagi nomormu kepada orang yang baru kau kenal?”

“Napa...” Rara membalas tanggapan itu tanpa berbicara tatap muka dengan orang itu, “...masalah?”

“Bukan masa…”

“Hei, Revi,” Rara menoleh ke samping kanan, baru menyadari sesuatu, “kau nguping obrolan kami dari tadi?”

“Nguping? Enggaklah ya. Aku dari tadi duduk sini. Siapa yang gak jelas dengar omongan kalian. Kau juga genat-genit gimana gitu ngomong sama dia. Siapa sih dia?”

“Mana ada lebay seperti yang kau tuduh?”

“Bukan lebay tapi kenapa kau ngomong halus ke dia?”

“Hissh!” geram Rara. Gertakkan gigi.

“Bukan urusanmu. Urus dirimu sono.”

“Tiada hari tanpa pertengkaran,” Lolie menggeleng-geleng. Lalu pandangannya jatuh ke meja Rara, berkata, “Lho buku ini?”

Untung Lolie memotong peleraian cekcok singkat sebelum nyaris ke tingkat maha dewa. “Untung juga dia gak dengar omanganku dengan Revi,”

“Barusan dia ke sini.”

Benar sudah dan tepat apa yang kulakukan buat sahabatku. Aku gak perlu kasih tahu jika Kak Hardi yang meminta duluan nomor hapeku.

Lolie menepuk kedua belah tangan, “Aduh! Sayangnya!”

“Lho kau gak ‘tabrakan’ dengan dia di luar?”

Melihat ekspresi wajah Lolie yang kecut. Rara mulai mengacau, “Maksudku kau berlari-lari lalu tiba-tiba di persimpangan gak sengaja kau tertabrak seseorang.”

Lolie duduk menyamping di bangku depan Rara dan face to face sama Rara. Sikutnya bertengger di meja Rara. “Enggak.”

“Eh… apaan sih tabrakan? Enggaklah, Ra.”

“Kasian. Kau gak hoki kayak aku.” Rara kembali mengenang antara dirinya dengan Falen. Telengkan kepala di kedua tangannya yang menopang sikut ke meja.

“Mungkin kau belum waktunya.” Rara bersikap genit kepada Lolie. Sengaja memanasin sahabat kentalnya.

“Mungkin kita berlawanan arah.”

Lolie memberangut.

Rara tersenyum tipis, “Nih nomor pin BB plus hp.”

“Benarkah?” Raut muka Lolie mendadak berseri-seri mengkilat.

“Sobat, demi kau lho aku minta nomor gebetanmu. Aku turunkan derajatku sebagai cewek martabat. Kau jangan sepelekan usahaku lho yah!”

“Hadueh... Hadueh. Pakai martabat lagi.”

“Iya deh, Ra. Kau baik banget kepadaku. Aku banyak berterima kasih padamu, Rara.”

“Pokoke bakso semangkok habis pulang.”

Lolie beranjak dari tempat duduk. Merangkul Rara. Hampir saja Rara sesak napas dibuatnya. Kencang banget.

Di seberang sana di hadapan Rara, Revi memandang Rara. Rara pun mendenguskan hidungnya kepada Revi. Mementahkan anggapan Revi terhadapnya barusan.

Ini baru ide mutakhir dan berhasil mem-PDKT gebetan senior sekolah. Betapa tak kalah girang bila Miranda mendengar kabar ini.

“Untung kau ajak aku. Kalau enggak, jika kau bawa Mi habis deh sakumu. Jebol.”

“Hihihi.”

“Rara, gimana kau ngomong minta nomor hp ke Kak Hardi?”

Waduh! Mampus aku.

“Gini, aku bilang ke dia. Kak Hardi boleh dong minta nomor hape Kakak?”

“Terus.”

“Lol, Rara…”

“Apaan sih?” Rara menjauhkan dengan menjontok kepala Revi ke belakang.

“Lol…” pekik Re.

“Revi! Jangan manggil aku Lol dong! Kau anggap aku LOL gitu?”

“Tau gak artinya apa?”

“Namamu kan Lol…”

“…ieee,” sambung Revi.

Rara menarik bahu Lolie supaya menghadap dia. “Gak usah dengarin dia, Lolie.”

Bagus-bagus dari tadi dia diam.Ini, langsung ikut campur. Mau merusak hubunganku dengan Lolie? Jangan harap!

“Ya dia… langsung ngasih ke aku.”

“Mmm.”

“Gituch.. deh.”

Di belakang Lolie, Revi bicara isyarat alias bibir bergerak tanpa suara. Revi membuka lebar-lebar rongga mulutnya, “Pem-bo-hong!”

Rara memperolok Revi. Menjulurkan lidah.

“Ra, kau gak ada ambil kesempatan, kan, Rara.”

“Lolie…” Rara merenggangkan rangkulan.

“Tunggu, Ra. Aku bukan meragukan ketulusan hatimu nolongin aku. Tapi aku mau tahu kebenaran dan tanya langsung kepadamu daripada aku mikir yang gak karuan terhadapmu.”

Rara meletakkan kedua tangannya ke pundak Lolie. “Percayalah, tak sedikit pun aku main curang di belakangmu, sobat.” Lalu dia mengangkat tangan ke atas.

“Yeah, begitu teman sejati.”

Saling tepuk tos di udara.

“Yap.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun