"Maaf mengganggu tidurmu Ngger."
Sembada mengucek-ucek matanya dengan tangan, mengusir kantuk yang masih menggelayut.
"Kakek mau kemana ? Pagi-pagi begini. ?"
"Mau ke pategalan. Â Ambil ketela pohon untuk sarapan cucu-cucu kakek."
Sembada memandangi cucu-cucu si kakek sambil tersenyum. Hari masih pagi mereka telah bersemangat mengikuti kakeknya ke pategalan.
Sesudah mandi di pakiwan dan berganti baju yang masih bersih, Sembada menyusul kakek ke pategalan. Â Ternyata nenekpun sudah di sana memetik sayuran. Â Sedangkan si kakek sibuk menggerak-gerakkan batang singkong yang sulit ia cabut. Â Sembada lantas menghampirinya, kemudian menolong mereka mencabutnya.
Dengan tenaga cadangannya yang tersalur di kedua tangannya dengan mudahnya pohon singkong tercerabut dari tanah. Buahnya ternyata besar-besar dan panjang-panjang. Sembada dan semua yang berdiri di situ tersenyum melihat buah ketela pohon itu.
"Wooo tanaman kakek hebat sekali. Â Buahnya banyak dan besar-besar"
"Itu karena tanah ini subur ngger. Â Bukan karena kakek."
Kakek itu lantas memotong tangkai singkong dari pohonnya. Cucunya yang sulung memasukkannya dalam keranjang. Mereka hanya mengambil satu batang pohon hari itu. Â Sisanya untuk persediaan hari-hari berikutnya.
"Siapa sebenarnya nama kakek ?"