"Sudah-sudah, masuk sana. "
Nenek itu kemudian masuk rumah.
Sembada dan kakek tua itu lantas mencicipi ketela rebus yang masih hangat. Â Sebenarnya Sembada merasa ragu untuk ikut makan jatah makan malam si kakek. Â Dalam kondisi hidup miskin mereka masih menanggung tiga cucu yang belum bisa apa-apa.
"Desa ini namanya desa apa Kek ?" Tanya Sembada.
"Dusun Suwaluh. Â Wilayah desa Sambirame. Desa ini dulu cukup makmur. Â Namun setelah Medang jatuh, semakin hari semakin semrawut. Â Kepala desanya tidak seperti dulu, bijaksana, rajin, dan bersemangat meningkatkan kesejahteraan kawula. Â Kepala desa yang sekarang senangnya hanya berfoya-foya." Jawab si kakek.
'Sudah berganti ?" Tanya Sembada lagi.
"Yah. Â Bukan anaknya yang menggantikan. Â Kepala desa yang lama berserta keluarga habis terbunuh. Â Gerombolan yang menyerbunya adalah pendukung Raja Wura-wari. Â Pemimpin gerombolan itulah yang kini jadi kepala desa di sini. " terang si kakek.
"Apakah desa-desa sekitar ini juga mengalami hal yang sama ? Â Pemimpinnya berganti orang lain ?" Sembada bertanya lagi.
"Ya. Â Nasibnya semua sama. Â Hanya Kademangan Majaduwur yang belum tersentuh. Â Demang Majaduwur pengikut setia Prabu Darmawangsa, kecuali dia sendiri orang sakti, ia juga memiliki barisan pengawal yang kuat. Â Sudah beberapa kali terjadi penggempuran kademangan itu, namun belum satu kekuatanpun yang mampu melengserkan kedudukannya."
Sembada mengangguk-angguk. Â Ia semakin penasaran untuk segera sampai ke kademangan itu sebagaimana perintah gurunya.
"Masih jauhkah kademangan Majaduwur dari desa ini ?"