Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 8. Kakek Narto Celeng (Cersil STN)

20 Maret 2024   11:53 Diperbarui: 3 Juni 2024   23:22 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kakek itu duduk di amben bambu dekat Sembada.  Caping bambunya ia lepas, dan ia gunakan untuk kipas-kipas.  Keringatnya masih bercucuran dari pori-pori kulit wajahnya.

"Makkkk.  Ambilkan dua bumbung air putih."

Sebentar kemudian keluar seorang remaja perempuan berkain panjang memberikan dua bumbung air putih.  Kakek itu menerimanya dan mengulurkan satu bumbung kepada Sembada.  Sembada tersenyum, tenggorokannya memang sudah terasa kering.  Ia meneguk air itu sampai habis.

Gadis itu menerima bumbung kosong dari tangan Sembada. Ia masih berdiri menunggu kakek tua itu mengulurkan juga bumbungnya.  Namun kakek itu meletakkan bumbungnya di amben tempat ia duduk.

"Sana masuk !  Nanti bumbungnya biar kakek bawa sendiri ke dapur."

Gadis itu mengangguk.  Ia menatap mata Sembada sejenak, menganggukkan kepala dan tersenyum.  Kemudian kakinya melangkah memasuki pintu rumah alang-alang itu.

"Ia cucuku ngger.  Bapak ibunya berpisah, keduanya pergi entah kemana.  Ketiga anaknya dititipkan kepadaku."

"Ohhh,.... Sudah lama Kek mereka pergi."

"Sudah.  Sejak si bungsu baru  dua tahun.  Sekarang sudah berumur tujuh tahun.  Itu tadi yang sulung.  Adiknya lelaki, sedang si bungsu perempuan lagi."

"Sudah lima tahun ikut kakek."

"Yah.  Meski aku dan istriku sudah tua, namun apa saja kami kerjakan.  Agar kami bisa membesarkan mereka.  Mudah-mudahan kelakuanya tidak seperti orang tua mereka.  Rasa-rasanya aku sia-sia saja membesarkan anakku semata wayang.  Setelah tua tidak menjadi dewasa."  Kata kakek bernada keluhan.

Sebentar kemudian keluarlah seorang wanita yang sudah tidak tegak lagi jalannya, sudah agak bungkuk punggungnya, sambil membawa cobek berisi ketela rebus yang masih mengepulkan asap.

"Ohhh, ada tamu ta Kek.."  Katanya sambil merunduk-runduk meletakkan cobek itu di antara Sembada dan kakek itu duduk.

"Yah, tadi dia menolong kakek.  Memikul dua bongkok kayu itu dari pinggir hutan."

"Ohhh terima kasih anakmas.  Sudah berkenan membantu suamiku."

"Iya nek.  Aku lihat kakek tadi agak sempoyongan memikul kayu yang ternyata memang berat."

"Sudah aku peringatkan berkali-kali.  Agar cari kayu tidak perlu banyak-banyak.  Sedikit saja asal tiap hari nanti juga akan berkumpul jadi banyak.  Tidak langsung bawa bongkokan yang besar. Berat !!  Tenaganyapun juga sudah ringkih."

"Ahhh, kenapa kau mengadu kepada tamu kita Nyai."

"Aku tidak mengadu Kyai.  Tapi aku ingin melepas pepat di dada ini melihat kakek harus bekerja keras."

"Sudah-sudah, masuk sana. "

Nenek itu kemudian masuk rumah.

Sembada dan kakek tua itu lantas mencicipi ketela rebus yang masih hangat.  Sebenarnya Sembada merasa ragu untuk ikut makan jatah makan malam si kakek.  Dalam kondisi hidup miskin mereka masih menanggung tiga cucu yang belum bisa apa-apa.

"Desa ini namanya desa apa Kek ?"

"Dusun Suwaluh.  Wilayah desa Sambirame. Desa ini dulu cukup makmur.  Namun setelah Medang jatuh, semakin hari semakin semrawut.  Kepala desanya tidak seperti dulu, bijaksana, rajin, dan bersemangat meningkatkan kesejahteraan kawula.  Kepala desa yang sekarang senangnya hanya berfoya-foya." Jawab si kakek.

'Sudah berganti ?"

"Yah.  Bukan anaknya yang menggantikan.  Kepala desa yang lama berserta keluarga habis terbunuh.  Gerombolan yang menyerbunya adalah pendukung Raja Wura-wari.  Pemimpin gerombolan itulah yang kini jadi kepala desa di sini. "

"Apakah desa-desa sekitar ini juga mengalami hal yang sama ?  Pemimpinnya berganti orang lain ?"

"Ya.  Nasibnya semua sama.  Hanya Kademangan Majaduwur yang belum tersentuh.  Demang Majaduwur pengikut setia Prabu Darmawangsa, kecuali dia sendiri orang sakti, ia juga memiliki barisan pengawal yang kuat.  Sudah beberapa kali terjadi penggempuran kademangan itu, namun belum satu kekuatanpun yang mampu melengserkan kedudukannya."

Sembada mengangguk-angguk.  Ia semakin penasaran untuk segera sampai ke kademangan itu sebagaimana perintah gurunya.

"Masih jauhkah kademangan Majaduwur dari desa ini ?"

"Sudah dekat.  Setengah hari perjalanan mungkin angger sudah sampai di sana."

"Apakah keperluan angger ke sana ?"  lanjut si kakek.

"Tidak ada keperluan apa-apa kek.  Hanya ingin lihat saja."

"Ohhh, lebih baik besuk siang saja angger melanjutkan perjalanan ke sana."

"Iya kek.  Saya mau mandi di mana kek ?"

"Itu, di samping rumah pakiwannya."

Sembada segera berdiri dan melangkahkan kakinya menuju pakiwan sebagaimana arah telunjuk si kakek.

Malam itu Sembada ingin tidur di  rumah kakek.  Karena rumahnya sempit, hanya ada satu kamar untuk si kakek, cucu-cucunya tidur di amben bambu panjang di ruang utama.  Sembada akhirnya tidur di amben bambu di teras rumah itu.

Malam itu gelap gulita.  Tak ada cahaya sinar menerangi rumah itu.  Mereka rupanya telah terbiasa di malam hari tanpa penerangan.

Samar-samar terdengar suara gamelan yang mengalun dari kejauhan.  Pasti ada pertunjukan tari tayub di desa sebelah dusun Suwaluh.  Mungkin di halaman bale desa Sambirame, yang kata kakek kepala desanya senang berfoya-foya.

Ketika matahari baru terbit di timur Sembada baru bangun. Tidurnya terganggu oleh derit pintu yang di buka dari dalam. Kakek itu telah memanggul cangkul dikelilingi cucu-cucunya. Gadis remaja cucu sulung si kakek menggendong keranjang kosong.

"Maaf mengganggu tidurmu Ngger."

Sembada mengucek-ucek matanya dengan tangan, mengusir kantuk yang masih menggelayut.

"Kakek mau kemana ? Pagi-pagi begini. ?"

"Mau ke pategalan.  Ambil ketela pohon untuk sarapan cucu-cucu kakek."

Sembada memandangi cucu-cucu si kakek sambil tersenyum. Hari masih pagi mereka telah bersemangat mengikuti kakeknya ke pategalan.

Sesudah mandi di pakiwan dan berganti baju yang masih bersih, Sembada menyusul kakek ke pategalan.  Ternyata nenekpun sudah di sana memetik sayuran.  Sedangkan si kakek sibuk menggerak-gerakkan batang singkong yang sulit ia cabut.  Sembada lantas menghampirinya, kemudian menolong mereka mencabutnya.

Dengan tenaga cadangannya yang tersalur di kedua tangannya dengan mudahnya pohon singkong tercerabut dari tanah.  Buahnya ternyata besar-besar dan panjang-panjang. Sembada dan semua yang berdiri di situ tersenyum melihat buah ketela pohon itu.

"Wooo tanaman kakek hebat sekali.  Buahnya banyak dan besar-besar"

"Itu karena tanah ini subur ngger.  Bukan karena kakek."

Kakek itu lantas memotong tangkai singkong dari pohonnya. Cucunya yang sulung memasukkannya dalam keranjang. Mereka hanya mengambil satu batang pohon hari itu.  Sisanya untuk persediaan hari-hari berikutnya.

"Siapa sebenarnya nama kakek ?"

"Namaku Narto, Sunarto.  Orang kampung menambahinya dengan julukan Celeng.  Jadi namaku terkenal Sunarto Celeng."

"Kenapa begitu kek ?"

"Saat muda aku pemburu ulung Babi hutan.  Tak ada pemuda sini yang mampu mengalahkan aku. Raja Babi hutan yang bertaring panjang dan melengkung, yang konon kebal senjata apapun, takluk denganku.  Aku hanya menggunakan tombak pendek saat berburu."

"Namaku Sembada kek.  Aku dari padepokan Cemara Sewu, di kaki gunung Wilis sana."

"Jauh sekali kau mengembara sampai ke sini."

"Belum terlalu jauh kek."

"Aku Ranti, ini adikku laki-laki bernama Santo, yang kecil itu Santi."  Gadis remaja cucu sulung kakek memperkenalkan diri.

"Oya kek.  Nanti sore aku pingin nonton perayaan merti desa di bale Sambirame."

"Kalian bertiga ?  Ada tontonan apa di sana ?."

"Ada pertunjukan tari kuda kepang.  Malamnya pagelaran Wayang Beber.  Besuknya ada lomba ketangkasan, Pencak Dor."

"Yah, nanti kakek antar, kalau pingin lihat.  Kasihan sama Santi kalau pulang kemalaman."

Cucu-cucu Ki Narto Celeng nampak gembira Adik-adik Ranti kemudian membantu neneknya memetik sayur.  Alangkah riang hati mereka, seolah tidak merasakan kesedihan apapun meski ayah ibunya tidak pernah merawatnya.  Bagi mereka kakek nenek mereka adalah segalanya, pelindung dan perawat hidup mereka.  Demikian batin Sembada.

Setibanya dari pategalan Kakek Narto segera mengambil sebuah jala yang bergantung di dinding rumahnya.  Sebuah kepis ia gantungkan di pinggang, terikat oleh tali yang melingkar di perutnya.  Ketika keluar pintu ia pamit kepada Sembada hendak mencari ikan di sungai.

"Aku akan mencari ikan di sungai dulu Ngger.  Kamu istirahat saja di rumah."

"Saya ikut kakek.  Saya juga sering mencari ikan di sungai, tapi kami menangkapnya dengan tombak."

"Kalau begitu silahkan ngger.  Agar kita tidak kesorean nanti pulangnya.  Karena harus mengantar cucu-cucuku menonton tari kuda kepang di halaman balai desa"

Sembada mengikuti Kakek Narto ke sungai.  Ia sangat terharu dengan apa saja yang dilakukan demi membesarkan cucunya.  Ia yakin ikan-ikan yang didapat tidak sekedar dimakan sendiri sekeluarga, namun sisanya pasti akan dijual untuk memenuhi kebutuhannya yang lain.

Sungai tempat berburu ikan kakek itu bukanlah sungai yang besar.  Namun ikannya banyak sekali.  Beberapa kali lemparan jala sudah mendapatkan beberapa ikan.  Ikan kecil-kecil dikembalikan ke sungai lagi, hanya ikan-ikan besar yang dimasukkan kepis.

"Kenapa dikembalikan kek ikan yang kecil-kecil.  Dibotok tentu enak itu."

"Hidup jangan terlalu serakah Ngger.  Biarlah ikan-ikan itu besar dulu.  Nanti juga akan tertangkap jala kakek."

"Apa pencari ikan di sini tidak banyak Kek ?"

"Kayaknya hanya kakek yang rajin menjala ikan.  Lainnya lebih senang berburu kijang atau babi di hutan."

Cukup lama mereka di sungai mencari ikan.  Ketika matahari sudah melewati titik tengah di langit mereka pulang.  Kepis kakek Narto penuh dengan ikan yang besar-besar.  Ada ikan lele, tawes dan wader.  Bahkan mereka sempat mendapatkan seekor belut yang cukup besar.

"Anak-anak tentu gembira makan ketela dengan lauk ikan bakar."  Katanya sambil tersenyum.  Sembada ikut tersenyum menyaksikan wajah kakek Narto yang ceria.

Sampai di rumah setelah membersihkan badan di pakiwan kedua lelaki itu duduk lagi di amben bambu teras rumah. Banyak hal yang mereka percakapkan.  Namun sejenak kemudian Ranti keluar rumah membawa dua cobek ketela dan ikan bakar yang besar-besar.  Sembada dan Kakek Narto menikmati makanan itu dengan lahapnya.

"Jadi kepala desa Sambirame ini dulu bekas rampok Kek ?"

"Bukan bekas kayaknya.  Sampai sekarangpun mungkin ia masih suka merampok.  Hanya saja tidak dilakukan di sini.  Tentu ia mencari tempat lain."

"Dalam perjalananku melewati hutan Wringin Soban, saya melihat sekelompok orang berkuda yang akan dibegal oleh gerombolan penjahat."

'Woo Gerombolan Gagakijo.  Namanya sudah terkenal di mana-mana.  Ia raja di hutan Wringin Soban.  Para pedagang biasa menunggu teman-temannya dulu jika menyeberang hutan. Jika rombongan mereka dirasa cukup kuat barulah mereka berani melewati hutan itu."

"Terjadi pertempuran sejenak.  Namun gerombolan begal itu akhirya melarikan diri."

Kakek Narto mengangguk-angguk.

"Apakah angger melihat mereka bertempur."

"Aku ketakutan.  Makanya aku merunduk-runduk di antara tanaman perdu di pinggir jalan.  Agar mereka tidak tahu."  Kata Sembada berbohong.

"Syukurlah angger selamat."

"Kalau merampok aku, apa yang mereka cari,  Aku tak membawa barang berharga apa-apa. Hanya pakaian yang sudah lusuh yang aku bawa.  "  Katanya.

Ketika sore tiba mereka berenam pergi ke balai desa Sambirame.  Kakek-nenek itu mengantar cucu-cucunya melihat pertunjukan tari kuda kepang.  Sebuah pertunjukan rakyat yang sudah sering dipentaskan di mana-mana.  Keunikan seni ini pada puncak pertunjukan penarinya pasti ada yang kesurupan.
Sampai di tujuan halaman balai desa itu sudah ramai.  Penonton sudah berjubel.  Namun akhirnya mereka berhasil mendapat tempat yang baik, sehingga cucu-cucu ki Narto bisa melihat pertunjukan dengan leluasa.

Sembada tidak ikut menonton pertunjukan itu.  Ia hanya ingin melihat keadaan desa Sambirame.  Nampak bangunan-bangunan yang sudah kusam tak terawat.  Kebersihan desa itu juga tidak terlalu terjaga.  Banyak sekali sampah menumpuk di mana-mana.

Ia lantas berjalan-jalan mengelilingi desa itu.  Nampak di sebuah tanah lapang sudah berdiri sebuah panggung.  Melihat wujudnya pasti bukan untuk pertunjukan Wayang Beber.  Namun dipersiapkan untuk lomba adu ketangkasan berkelahi.  Pencak Dor.

Ia dulu juga pernah menonton acara semacam itu.  Dua orang bertarung diiringi bunyi kendang dan tambur. Bunyi tambur itulah yang mengilhami nama acara itu Pencak Dor.  Dalam perkelahian yang bebas itu bisa terjadi kemungkinan salah satu peserta cedera atau bahkan mati.

Namun acara itu baru dilaksanakan besok.  Bagi Sembada acara ini lebih menarik.  Apa tujuan kepala desa yang bekas berandal itu menyelenggarakan acara semacam ini. Mugkinkah ia mencari bibit-bibit muda yang memiliki keberanian dan olah kanuragan untuk dijadikan anak buahnya.  Sembada menggelengkan kepala sendiri, ia tidak tahu.

Namun besok ia akan datang menonton acara itu.  Tentu sangat menarik.  Ia bisa mengukur seberapa besar kemampuan anak-anak muda di desa ini.

Menjelang matahari tenggelam acara pertunjukan tari kuda kepang selesai.  Penonton telah membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing.  Para pedagang di pinggir jalan juga telah menutup jualan mereka.

Sembada yang sudah kembali dari berjalan-jalan mengelilingi desa itu telah kembali.  Ia mendekati Ranti, dan memberinya sekeping uang.

"Ajak adik-adikmu membeli makanan yang disukai."  Katanya.
Ranti memandang wajah Sembada sesaat, kemudian menundukkan matanya.

"Terima kasih kang." Gadis itu berucap lirih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun