Oleh: Tri Handoyo
"Ke mana mainnya anak itu?" gumam Lintang Kejora sambil mengarahkan pandangan ke pintu gerbang padepokan. Ia sudah dua jam lebih menunda keberangkatan untuk pergi memenuhi undangan seorang tumenggung di Mojokerto.
Orang yang disuruh mencari sudah satu jam yang lalu kembali dan mengatakan bahwa Raden Ahmad Ghandi tidak ada di langgar. Teman-temannya sudah pulang ke rumah mereka masing-masing dan mengaku tidak tahu ke mana perginya Ghandi.
"Inilah akibatnya kalau kamu terlalu memanjakannya!" kata Arum kepada suaminya. Mereka berdua duduk di teras depan, menghadap pintu gerbang padepokan. "Dia jadi berani berbuat seenaknya!"
Lintang menarik nafas panjang. "Dia bukan anak seperti itu!" Sebagai ayah tentu saja ia tidak rela anaknya dibilang berani berbuat seenaknya. "Aku tidak yakin Ghandi sengaja berani melanggar aturan. Aku tadi pagi sudah berpesan kepadanya agar setelah ngaji langsung pulang, karena bapaknya mau pergi jauh, dan ia menyanggupi!"
Akhirnya pasangan suami-istri itu senang begitu melihat putra yang sedang mereka bicarakan berlari kecil memasuki gerbang padepokan. Bocah kecil itu juga melihat kedua orang tuanya, yang pasti sudah lama menunggunya dengan cemas.
"Jangan marahi dia!" pesan Arum kepada suaminya.
"Nah sebetulnya itu yang membuat dia tidak bisa disiplin!"
"Dengarkan dulu penjelasannya, kenapa dia terlambat pulang!"
Ghandi menghampiri kedua adiknya yang sedang bermain di pelataran. Khadiyah yang berumur lima tahun dan Zulaikah yang baru berumur tiga tahun, menyambut hangat kedatangan kakaknya dengan wajah riang gembira. Ghandi memeluk dan mencium mereka bergantian, seolah sudah lama tidak bertemu.
Lintang dan Arum pun sempat tertegun menyaksikan kejadian yang tidak biasa itu. Ghandi kemudian berlari menghampiri ibunya, memeluk pinggangnya sangat erat dan agak lama, sebelum kemudian berpindah memeluk ayahnya.
"Maaf Ayah, Ghandi terlambat pulang!"
"Kamu dari mana, Nak?" tanya Lintang penuh kesabaran.
"Aku tadi hampir dibunuh orang!"
"Apa?!" seru Lintang dan Arum nyaris bersamaan. Mereka tahu Ghandi tidak mungkin membual.
"Katakan pada ibu, siapa orang yang berani kurang ajar itu?"
"Dia kakek yang kedua tangannya buntung. Kalau gak salah namanya Joko Petir!"
Kembali kedua orang tua itu menampakkan wajah terkejut. Nama yang tidak asing itu dulu pernah hendak merampas harta pusaka mereka. Mereka pula yang lantas memberi hukuman kepadanya sehingga orang yang berjuluk Pendekar Tapak Petir itu menjadi buntung.
Arum kemudian meminta Ghandi menceritakan dari awal peristiwa yang telah dialaminya. Sambil menangis sesenggukan, dia menuturkan semuanya apa adanya. Menangis bukan karena sakit di tengkuknya, tapi karena membayangkan seandainya mati dan tidak bisa lagi bertemu keluarganya.
Arum segera memeriksa tengkuk anaknya, dan matanya melotot menahan amarah menyaksikan kulit yang lebam dan bengkak itu. Ia berpaling kepada suaminya dengan tatapan mata yang seolah mengatakan, cari orang itu sampai ketemu. "Aku yang melahirkan dengan taruhan nyawa saja tidak pernah mencubit, apalagi memukul!"
Khadiyah dan Zulaikah yang mendengar kakaknya menangis merapat ke ibunya sambil mata mereka ikut berkaca-kaca. "Mas kenapa, Bu?"
"Mulai hari ini, kalian tidak boleh dulu keluar dari padepokan!" kata Arum kepada anak-anaknya, "Main di dalam saja ya!" Arum berpaling kepada suaminya dan mengatakan dengan tegas, "Batalkan dulu rencanamu untuk menemui tumenggung!"
Tidak berselang lama kemudian, Lintang tampak memanggil dan memberi arahan kepada beberapa murid senior.
"Kalau tidak bisa menangkap penjahat itu, jangan pulang!" teriak Arum dari teras rumah, "Atau aku sendiri yang akan turun tangan mencarinya!"
Tidak berselang lama, sekitar sepuluh orang kemudian mengambil kuda dan mereka memacu kuda keluar melewati pintu gerbang. Lintang Si Pendekar Pedang Akhirat, tampak melepas kendali kuda pada sebuah tambatan dan melompat ke punggung kuda lalu memacunya dengan cepat. Mereka berpencar.
Tanpa menemui kesulitan yang berarti, beberapa murid telah sampai di tempat yang ciri-cirinya disebutkan Raden Ghandi. Salah seorang dari mereka menemukan potongan-potongan tubuh yang dijadian rebutan sekawanan anjing hutan. Seonggok tubuh tanpa tangan dan kaki itu rusak, tercabik-cabik mengerikan dan tak bisa dikenali lagi.
***
Di atas bukit yang diselimuti kabut lembut, di tengah hutan belantara yang sunyi, pasti tidak ada yang menyangkah bahwa di tempat itu dihuni oleh sekelompok orang.
Sekelompok pendekar golongan hitam yang dengan sangat percaya diri menamakan kelompoknya 'Wong Langit'. Mereka adalah Pendekar Kalong Wesi, Pendekar Golok Maut, Pendekar Bajul Brantas, dan Pendekar Cebol. Di samping itu ada lima belas orang anak buah yang rata-rata memiliki kemampuan bela diri yang lumayan tinggi.
Pagi itu Ki Kalong Wesi tampak berlari cepat menaiki jalan berbatu yang menanjak. Pendekar Cebol agak ketinggalan sekitar sepuluh meter di belakang. Jauh lagi di bawah, tujuh orang tampak berjalan agak tertati-tati, karena disamping jalan berbatu itu menanjak, batu-batu itu juga licin karena ada mata air di atas yang mengalir turun melewatinya. Jalan rahasia yang sulit dan berbahaya.
Mereka baru pulang dari merampok. Mereka memiliki aturan apabila hari itu Ki Kalong Wesi dan Pendekar Cebol merampok di wilayah selatan Kota Jombang, tiga hari berikutnya Pendekar Golok Maut dan Ki Bajul Brantas yang giliran bertugas merampok di wilayah utara Kota Jombang. Apabila kelompok pertama ke wilayah barat, maka kelompok berikutnya ke wilayah timur. Dalam menjalankan aksinya pendekar-pendekar itu masih dibantu oleh tujuh atau delapan orang anak buah yang bagian mengusung harta hasil rampokan.
Kini mereka semua berkumpul mengerumuni sebuah peti kayu. Ketika dibuka, ternyata berisi barang-barang perhiasan berupa perak, emas dan batu-batu permata yang berkilauan, serta tumpukan kepingan uang logam. Lima puluh persen dari nilai harta itu dibagi rata untuk dua orang pendekar yang kerja, empat puluh persen dibagi rata untuk tujuh orang anak buah, dan sepuluh persen sisanya dibagi rata untuk dua orang pendekar dan delapan orang anak buah yang berjaga di markas.
Biasanya tidak pernah ada yang protes dengan pembagian hasil rampokan, tapi Ki Bajul yang ketika itu mengamati kalung dengan bandul batu kecubung yang melingkar di leher Pendekar Cebol, bertanya dengan nada curiga, "Aku sebelumnya tidak pernah lihat kamu pakai kalung, apa itu hasil semalam?" Tentu maksudnya ia minta benda itu juga dibagi.
"Bukan, aku menemukan ini di jalan dalam perjalanan pulang?" jawab Pendekar Cebol santai.
Ki Bajul mengangkat kedua telapak tangan seraya memalingkan wajah menatap Ki Kalong Wesi. Wajahnya menunjukan ia menuntut keadilan.
Ki Kalong Wesi bertanya dingin kepada Pendekar Cebol, "Siapa yang melihat kamu menemukan kalung itu?"
"Mungkin Panjul, dia tadi yang ada tepat di belakangku!"
"Panjul!" Ki Bajul memanggil dengan suara lantang mendahului Ki Kalong Wesi, "Benarkah apa yang dibilang Si Cebol, kau lihat dia menemukan kalung di jalan?"
"Be..benar..!" jawab Panjul agak gugup. "Tapi maaf, saya hanya melihat Pendekar Cebol mengambil sesuatu di jalan!"
"Kamu tidak tahu benda apa itu? Kalung atau apa?"
"Tidak!"
"Hm.., berarti..!" Sebelum Ki Bajul menyelesaikan kaliimatnya, Si Cebol memotong cepat.
"Bajul, kalau kamu tidak percaya, aku siap melayani apa pun kemauanmu! Jangan dipikir aku takut sama kamu!"
Ki Kalong memberi kode agar mereka berdua diam. Suasana seketika menjadi hening. "Cebol, aku tanya sekali lagi, benarkah kamu menemukan kalung itu di jalan?"
"Benar Ki Kalong!" jawab Pendekar Cebol meyakinkan.
"Berarti kalung itu milik Cebol. Dengar semua, urusan ini selesai!" Ki Kalong meninggalkan tempat itu menuju gubuknya yang berada di dataran yang lebih tinggi di antara gubuk-gubuk lainnya.
Orang-orang pun membubarkan diri. Meskipun mereka adalah kumpulan orang-orang yang kasar dan selama ini ada perasaan tidak puas terhadap pembagian hasil rampokan, namun belum ada seorang pun yang berani protes.
Rasa jengkel Ki Banjul Brantas masih belum mencair dan dia mesti mencari sesuatu untuk melampiaskannya. Maka tidak aneh kalau dia sengaja hendak turun ke kota dengan tangan gatal-gatal untuk mencari permusuhan dengan siapa pun juga.
Sebelum dia sampai menuruni jalan berbatu, tiba-tiba muncul tiga orang berpapasan dengannya di tengah jalan. Dengan mata melotot dia bertanya galak, "Siapa kaian berani menginjakkan kaki di sini? Apa kalian sudah bosan hidup?"
"Ki Bajul!" tegur Ki Wiryo, "Lupakah kamu? Aku Wiryo!"
"Ki Wiryo, berani sekali kamu mengajak orang-orang asing ke sini? Kamu bisa membahayakan kami, tolol!"
"Aku Warsito! Apa kamu juga sudah lupa sama aku? Aku bukan orang asing tolol!" balas Warsito dengan tak kalah galaknya.
"Huuh..!" Ki Bajul mendengus, sikapnya sinis dan menghina sekali, "Kalau tidak salah kau pangantin yang kehilangan calonnya itu ya? Perlu apa manusia tolol macam kamu datang ke mari?"
"Kau manusia gembel saja sombong!"
"Kalau memang aku sombong, habis kau mau apa?" hardiknya sengit. Usianya kira-kira sebaya dengan Ki Wiryo. Akan tetapi tubuh Ki Bajul jauh lebih berotot dan nampak kekar sekali. Bajunya dibuka dan baju itu tergantung pada pundaknya. Agaknya dia tadi merasa panas dan melepas bajunya, sehingga tampak bulu dadanya yang lebat. Rambut kepalanya keriting lebat, matanya lebar bundar dan suka melotot. Celananya yang berwarna hitam, longgar dan pada bagian bawahnya diikat tali yang jadi satu dengan tali sepatu kulitnya.
"Bajul Brantas, kau benar-benar tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat seperti ini terhadap anakku. Memang aku sudah bukan lagi sebagai demang, apakah karena itu kau banyak lagak di depan ku?" bentak Ki Demang tak kalah sengit.
"Bajul, majulah kalau pingin mampus?!" suara Warsito dahsyat sekali, mengandung ancaman maut. "Jangan banyak ngoceh!" Ia memang telah mengalami kemajuan pesat setelah tekun berlatih selama ini. Ia bukan Warsito yang dulu.
Diam-diam Ki Wiryo mengeluh dalam hati. Anaknya itu adalah seorang pemuda yang tampaknya sudah tidak normal otaknya, pikirnya, tak mengerti dalamnya lautan dan tingginya gunung.
Tanpa banyak berdebat lagi, Ki Bajul langsung menerjang. Agaknya ia yakin akan mencapai kemenangan dengan mudah dan dalam waktu singkat, karena terjangan itu adalah ilmu silat golok andalannya. Serangan itu jarang mengalami kegagalan.
Dengan tangan kosong Warsito menyambut serangan itu. Jurus cakar andalannya pun cukup berbahaya. Ilmu silat itu dimainkan dengan telapak terbuka, dan jari-jari yang kokoh dipergunakan untuk mencengkeram dan mencakar. Disertai tenaga dalam yang kuat, cengkeraman dan cakaran itu bisa meremukan tulang dan merobek daging.
Melihat terjadinya pertempuran itu, belasan anak buah Ki Kalong turun tangan untuk mengepung. Tidak ketinggalan Pendekar Golok Maut dan Pendekar Cebol, yang memang benci melihat orang asing memasuki wilayah mereka.
'Celaka!' pikir Ki Wiryo dan ia kemudian berteriak, "Kami datang baik-baik untuk menemui Ki Kalong!" Tapi tidak ada yang menggubrisnya.
Bahkan kini Pendekar Golok Maut ikut menerjang ke arah Dewan yang sebetulnya memang sudah tidak sabar untuk turun tangan.
Golok itu berubah menjadi segunduk sinar yang kemudian memuncratkan bunga-bunga api ke sana ke mari saat beradu dengan pedang. Setiap letupan bunga api itu merupakan penyerangan ujung golok yang dapat merobohkan lawan karena yang disasar adalah bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dua gulungan sinar senjata bertemu dan keduanya lalu melompat mundur tiga langkah. Masing-masing terkejut oleh getaran hebat yang keluar dari senjata lawan. Masing-masing berdiri dalam jarak tujuh langkah dan memandang seperti hendak mengukur kekuatan.
Mereka berdua, Bajul Brantas dan Pendekar Golok Maut bukan jagoan-jagoan pendatang baru. Siapa yang tidak mengenal nama besar mereka. Biasanya, setiap sabetan golok mereka akan melukai atau paling tidak mematahkan senjata lawan. Akan tetapi kali ini mereka salah duga.
Di sisi lain, Warsito dan Dewan, adalah darah muda yang memiliki jiwa menjunjung tinggi kegagahan, yang pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan nyawa masih di tubuh. Mereka mengerahkan segenap tenaga dan segala kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi kedua pendekar itu.
Pendekar Cebol kemudian seolah baru sadar dari lamunannya, dia kaget menyaksikan betapa kawan-kawannya yang ilmu goloknya sudah sempurna itu tidak berkutik menghadapi gempuran-gempuran anak-anak muda. Cepat saat tubuhnya berkelebat ke depan, kedua tangannya yang sangat berbahaya itu bagaikan kapak mengamuk menghajar Ki Wiryo.
"Berhenti semua!" Tiba-tiba terdengar teriakan yang mengagetkan semua orang.
Berturut-turut Ki Bajul Brantas terhuyung-huyung ke belakang, goloknya terpental entah ke mana, disusul Warsito yang tubuhnya terpelanting hingga tiga meter dan membentur sebuah pohon. Pendekar Golok Maut terpaksa berjumpalitan ke belakang sementara goloknya terlepas dan menancap di tanah, terpaksa ia melepaskan senjata karena saat tadi tertangkis sesuatu maka golok itu memantul balik ke arahnya. Sedangkan Dewan juga terdorong mundur ke belakang, tapi ia masih memegang pedangnya dengan kuat. Pendekar Cebol dan Ki Wiryo sama-sama tersungkur ke belakang. Mereka semua tampak memandang situasi yang kacau balau itu dengan wajah pucat, akibat diterjang dorongan atau tendangan yang sangat luar biasa cepatnya.
"Siapa yang tidak mau berhenti?" Ki Kalong berteriak lantang, "Kalian semua manusia-manusia tolol!"
Sebentar saja masing-masing pihak mundur dengan perasaan ngeri. Bukan main hebatnya sepak terjang Ki Kalong Wesi, Sang Ketua Perkumpulan Wong Langit itu. Sekarang dia tampak berdiri menghadapi mereka semua dengan mata berapi-api dan mukanya beringas sangat mengerikan.
"Ki Kalong Wesi! Syukurlah!" seru Ki Wiryo merasa lega, "Saya datang ingin menemui Ki Kalong Wesi, ada urusan penting yang ingin saya sampaikan! Saya membawa kabar baik!"
Yang sangat terkejut adalah Dewan. Ketika mendengar bahwa orang tua yang baru muncul itu adalah Pendekar Kalong Wesi, dia merasa semangatnya seakan terbang melayang meninggalkan raganya. Tentu saja dia sudah sering mendengar nama pendekar ganas itu. Meremang bulu tengkuknya seketika karena siapa kira sekarang dia berhadapan dengan manusia iblis yang sangat sakti.
Setelah beberapa saat hening, Ki Kalong kemudian menatap Dewan dan bertanya dingin, "Orang muda, kau hebat juga, bisa mengimbangi Pendekar Golok Maut. Siapakah namamu dan siapa gurumu? Sepertinya aku harus mencoba ilmu beladirimu!"
Dewan cepat membungkuk memberi hormat dan menjawab, "Syukurlah bahwa di sini saya bisa bertemu dengan pendekar besar Ki Kalong Wesi. Tentang riwayat saya bukanlah sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Dibanding seorang pendekar besar seperti anda, mana berani saya yang muda dan tolol ini berlaku kurang ajar?"
Ki Kalong Wesi terkesima mendengar penuturan pemuda rupawan yang menurutnya cukup berwibawa itu.
Dewan berdiri tegak dan diam-diam dia mengatur napas serta memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi pertempuran lagi kalau perlu. Dia memberanikan diri dan tetap tersenyum seakan-akan kejadian mengerikan tadi 'bukan apa-apa' baginya.
"Ha..ha..ha..!" Ki Kalong Wesi tertawa lebar, "Mari ikut saya! Hei kalian siapkan hidangan untuk tamu-tamu istimewa kita!" perintahnya kepada para anak buah.
Suasana kembali cair. Para anak buah Wong Langit sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan di antara para juragan pendekar itu, sehingga mereka tidak begitu mempedulikan kejadian tadi.
Di tengah acara minum-minum, Ki Wiryo menyampaikan kepada Ki Kalong tentang rencana untuk membalaskan sakit hati mereka kepada Padepokan Benteng Nusa. Namun tanggapan Ki Kalong dan anak buahnya begitu dingin, tidak sesuai harapan.
"Itu yang kamu maksud kabar baik, Ki?" tanya Pendekar Cebol sinis.
"Dulu ketika Daha masih ada dan kita masih memiliki banyak anggota!" timpal Ki Bajul Brantas, "Kita kalah. Apalagi sekarang di saat Demak semakin kuat! Kamu pasti ngigau, Ki Wiryo!"
"Maaf!" Dewan memberanikan diri membela Ki Wiryo, "Kalau saat ini kita bertempur dengan mereka secara berhadap-hadapan, mungkin itu berat, tapi maksud Ki Wiryo kita gunakan siasat, nah tidak mustahil kalau nanti Benteng Nusa bisa dikalahkan!"
Ki Kalong tampaknya tertarik mendengar itu. Buktinya ia berpaling kepada Dewan dan wajahnya menyiratkan timbulnya harapan. "Siasat seperti apa?" Ia bertanya.
"Ki Kalong, Dewan keponakanku ini adalah seorang ahli strategi!" Ki Wiryo menambahkan, "Dia mantan komandan pasukan rahasia!"
"Dewan, kamu muncul baru kal ini dalam urusan pertempuran, tetapi kamu sudah membuka mulut besar bicara mengenai siasat?" teriak Ki Bajul Brantas. "Huh, kamu mau bersikap sebagai jagoan? Kamu dengar ya, dulu di jaman mendiang Prabu Dyah Ranawijaya ketika masih menjadi pejuang Daha, Ki Kalong bersama pasukan Tumenggung Legowo dan kami-kami ini sudah menjadi pejuang melawan pasukan Majapahit. Kamu tahu apa tentang siasat perjuangan? Kamu hanya datang dan enak-enak mendapatkan jabatan tinggi di pemerintah, sekarang sudah akan bersikap sombong menganggap diri sendiri paling ahli strategi!"
Masih terbayang jelas di benak 'Wong Langit' betapa menyakitkan kekalahan yang mereka rasakan dari Padepokan Benteng Nusa. Sekitar delapan tahun yang lalu, sepertinya sudah lama, namun suasana mengerikan dan menyakitkan itu masih terasa hingga sekarang.
"Ki Bajul, jaga mulutmu!" potong Ki Wiryo.
Ki Bajul membalas garang, "Kamu yang harus jaga mulut!"
Ki Wiryo akhirnya hanya mampu diam membisu. Batinnya terasa sakit. Dulu ketika dia masih menduduki jabatan sebagai demang, mereka semua itu tidak hanya hormat, bahkan sangat tunduk dan patuh. Tapi sekarang jangankan menghormati, mereka bahkan berani bersikap kurang ajar dan menentangnya.
"Bajul," sahut Ki Kalong Wesi datar, "Kamu diam?"
"Apa kita harus mematuhi anak kemarin sore yang sok pintar itu, Ki Kalong?"
"Tidak, tapi kamu harus patuhi perintahku untuk mendengarkan arahannya!" kata Ki Kalong tegas, "Kamu mengerti?" bentak Ki Kalong ketika dilihatnya Ki Bajul hanya diam seribu bahasa. "Baik, Dewan, lanjutkan uraianmu tadi!"
Mereka maklum bahwa perkumpulan Wong Langit itu memang sudah terlalu lama tinggal di dalam hutan di atas bukit, sehingga perilaku mereka sudah berubah seperti orang rimba saja. Tidak peduli lagi akan tata krama, bicara asal membuka mulut, masa bodoh apakah kata-kata itu menyinggung perasaan orang ataukah tidak.
Kemudian Dewan melanjutkan bercerita mengenai rencana yang telah dijalankannya untuk memecah-belah kekuatan Benteng Nusa. Kelompok Wong Langit mendengarkan dengan seksama dan dalam hati mereka mengagumi kecerdikan lelaki muda itu.
"Aku setuju rencana untuk menghabisi Mahesa dan Lastri lebih dulu!" sahut Ki Kalong. "Bangsat itu harus mati di tanganku!"
Semua orang tampak sepakat. Khusus bagi Ki Kalong, Mahesa dan Lastri adalah orang yang dianggap membunuh Si Iblis Betina. Bagi Warsito, Mahesa adalah orang yang merampas tunangannya dan menghancurkan impiannya. Bagi Ki Wiryo, Mahesa dan Lastri adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian orang-orang kepercayaannya, Ki Panji, Cak Saidi, Juragan Bejo, Ki Bogel dan Pendekar Jeliteng Macan Kumbang. Dalam banyak hal terdapat persesuaian paham antara mereka. Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap Benteng Nusa, terutama terhadap Mahesa dan Lastri.
"Ki Wiryo, Warsito dan Dewan, aku harap kalian sudi menginap semalam di tempat ini!" kata Ki Kalong. "Nanti malam biar Warsito dan Dewan membantu Ki Bajul dan Ki Golok Maut untuk menjalankan aksinya!"
"Baik, Ki Kalong!" jawab Ki Wiryo dengan nada senang. Sementara Warsito dan Dewan masih nampak bimbang.
Ucapan Ki Kalong Wesi itu seolah sebuah perintah yang tidak bisa dibantah. Wajahnya yang seram seolah-olah menyampaikan ancaman, 'Orang yang sudah tahu tempat ini, tidak mungkin bisa keluar dalam keadaan hidup, kecuali harus menjadi bagian dari kami!'
Orang yang berperasaan halus seperti Dewan tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata Ki Kalong dan para anak buahnya. Dengan kekuatan batinnya dia menekan perasaan itu supaya mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian dia berusaha bersikap sewajar mungkin. Seandainya Kerajaan Daha masih ada, Perkumpulan Wong Langit itu pasti akan berhadapan dengannya sebagai lawan yang harus dibasmi.
"Warsito dan Dewan, kalian siap membantu aksi kami nanti malam?" tanya Ki Golok Maut dengan wajah penasaran, "Marampok orang-orang kaya?"
"Baik!" balas Warsito dan Dewan hampir bersamaan.
"Siap, bukan baik!"
"Siaaap!"
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H