"Kalau memang aku sombong, habis kau mau apa?" hardiknya sengit. Usianya kira-kira sebaya dengan Ki Wiryo. Akan tetapi tubuh Ki Bajul jauh lebih berotot dan nampak kekar sekali. Bajunya dibuka dan baju itu tergantung pada pundaknya. Agaknya dia tadi merasa panas dan melepas bajunya, sehingga tampak bulu dadanya yang lebat. Rambut kepalanya keriting lebat, matanya lebar bundar dan suka melotot. Celananya yang berwarna hitam, longgar dan pada bagian bawahnya diikat tali yang jadi satu dengan tali sepatu kulitnya.
"Bajul Brantas, kau benar-benar tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat seperti ini terhadap anakku. Memang aku sudah bukan lagi sebagai demang, apakah karena itu kau banyak lagak di depan ku?" bentak Ki Demang tak kalah sengit.
"Bajul, majulah kalau pingin mampus?!" suara Warsito dahsyat sekali, mengandung ancaman maut. "Jangan banyak ngoceh!" Ia memang telah mengalami kemajuan pesat setelah tekun berlatih selama ini. Ia bukan Warsito yang dulu.
Diam-diam Ki Wiryo mengeluh dalam hati. Anaknya itu adalah seorang pemuda yang tampaknya sudah tidak normal otaknya, pikirnya, tak mengerti dalamnya lautan dan tingginya gunung.
Tanpa banyak berdebat lagi, Ki Bajul langsung menerjang. Agaknya ia yakin akan mencapai kemenangan dengan mudah dan dalam waktu singkat, karena terjangan itu adalah ilmu silat golok andalannya. Serangan itu jarang mengalami kegagalan.
Dengan tangan kosong Warsito menyambut serangan itu. Jurus cakar andalannya pun cukup berbahaya. Ilmu silat itu dimainkan dengan telapak terbuka, dan jari-jari yang kokoh dipergunakan untuk mencengkeram dan mencakar. Disertai tenaga dalam yang kuat, cengkeraman dan cakaran itu bisa meremukan tulang dan merobek daging.
Melihat terjadinya pertempuran itu, belasan anak buah Ki Kalong turun tangan untuk mengepung. Tidak ketinggalan Pendekar Golok Maut dan Pendekar Cebol, yang memang benci melihat orang asing memasuki wilayah mereka.
'Celaka!' pikir Ki Wiryo dan ia kemudian berteriak, "Kami datang baik-baik untuk menemui Ki Kalong!" Tapi tidak ada yang menggubrisnya.
Bahkan kini Pendekar Golok Maut ikut menerjang ke arah Dewan yang sebetulnya memang sudah tidak sabar untuk turun tangan.
Golok itu berubah menjadi segunduk sinar yang kemudian memuncratkan bunga-bunga api ke sana ke mari saat beradu dengan pedang. Setiap letupan bunga api itu merupakan penyerangan ujung golok yang dapat merobohkan lawan karena yang disasar adalah bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dua gulungan sinar senjata bertemu dan keduanya lalu melompat mundur tiga langkah. Masing-masing terkejut oleh getaran hebat yang keluar dari senjata lawan. Masing-masing berdiri dalam jarak tujuh langkah dan memandang seperti hendak mengukur kekuatan.