Ki Kalong memberi kode agar mereka berdua diam. Suasana seketika menjadi hening. "Cebol, aku tanya sekali lagi, benarkah kamu menemukan kalung itu di jalan?"
"Benar Ki Kalong!" jawab Pendekar Cebol meyakinkan.
"Berarti kalung itu milik Cebol. Dengar semua, urusan ini selesai!" Ki Kalong meninggalkan tempat itu menuju gubuknya yang berada di dataran yang lebih tinggi di antara gubuk-gubuk lainnya.
Orang-orang pun membubarkan diri. Meskipun mereka adalah kumpulan orang-orang yang kasar dan selama ini ada perasaan tidak puas terhadap pembagian hasil rampokan, namun belum ada seorang pun yang berani protes.
Rasa jengkel Ki Banjul Brantas masih belum mencair dan dia mesti mencari sesuatu untuk melampiaskannya. Maka tidak aneh kalau dia sengaja hendak turun ke kota dengan tangan gatal-gatal untuk mencari permusuhan dengan siapa pun juga.
Sebelum dia sampai menuruni jalan berbatu, tiba-tiba muncul tiga orang berpapasan dengannya di tengah jalan. Dengan mata melotot dia bertanya galak, "Siapa kaian berani menginjakkan kaki di sini? Apa kalian sudah bosan hidup?"
"Ki Bajul!" tegur Ki Wiryo, "Lupakah kamu? Aku Wiryo!"
"Ki Wiryo, berani sekali kamu mengajak orang-orang asing ke sini? Kamu bisa membahayakan kami, tolol!"
"Aku Warsito! Apa kamu juga sudah lupa sama aku? Aku bukan orang asing tolol!" balas Warsito dengan tak kalah galaknya.
"Huuh..!" Ki Bajul mendengus, sikapnya sinis dan menghina sekali, "Kalau tidak salah kau pangantin yang kehilangan calonnya itu ya? Perlu apa manusia tolol macam kamu datang ke mari?"
"Kau manusia gembel saja sombong!"