Lintang dan Arum pun sempat tertegun menyaksikan kejadian yang tidak biasa itu. Ghandi kemudian berlari menghampiri ibunya, memeluk pinggangnya sangat erat dan agak lama, sebelum kemudian berpindah memeluk ayahnya.
"Maaf Ayah, Ghandi terlambat pulang!"
"Kamu dari mana, Nak?" tanya Lintang penuh kesabaran.
"Aku tadi hampir dibunuh orang!"
"Apa?!" seru Lintang dan Arum nyaris bersamaan. Mereka tahu Ghandi tidak mungkin membual.
"Katakan pada ibu, siapa orang yang berani kurang ajar itu?"
"Dia kakek yang kedua tangannya buntung. Kalau gak salah namanya Joko Petir!"
Kembali kedua orang tua itu menampakkan wajah terkejut. Nama yang tidak asing itu dulu pernah hendak merampas harta pusaka mereka. Mereka pula yang lantas memberi hukuman kepadanya sehingga orang yang berjuluk Pendekar Tapak Petir itu menjadi buntung.
Arum kemudian meminta Ghandi menceritakan dari awal peristiwa yang telah dialaminya. Sambil menangis sesenggukan, dia menuturkan semuanya apa adanya. Menangis bukan karena sakit di tengkuknya, tapi karena membayangkan seandainya mati dan tidak bisa lagi bertemu keluarganya.
Arum segera memeriksa tengkuk anaknya, dan matanya melotot menahan amarah menyaksikan kulit yang lebam dan bengkak itu. Ia berpaling kepada suaminya dengan tatapan mata yang seolah mengatakan, cari orang itu sampai ketemu. "Aku yang melahirkan dengan taruhan nyawa saja tidak pernah mencubit, apalagi memukul!"
Khadiyah dan Zulaikah yang mendengar kakaknya menangis merapat ke ibunya sambil mata mereka ikut berkaca-kaca. "Mas kenapa, Bu?"