Mohon tunggu...
Tiara Margaretta
Tiara Margaretta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/S1 Akuntansi/Fakultas Ekonomi Bisnis/Universitas Mercu Buana

Halo semua, Saya Tiara Margaretta Sihotang, NIM (43222010086) S1 Akuntansi di Universitas Mercu Buana Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram Pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

26 November 2024   22:57 Diperbarui: 26 November 2024   22:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ki Ageng Suryomentaram yang selalu menggunakan kain batik motif parang rusak barong di lehernya sebagai simbol perlawanan. (Kawruhjiwo.blogspot)

Nama: Tiara Margaretta Sihotang

NIM: 43222010086

Dosen Pengampu: Appolo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Profil Ki Ageng Suryomentaram

Nama Asli: Bendoro Raden Mas Kudiarmaji
Lahir: 20 Mei 1892
Wafat: 18 Maret 1962
Asal: Keraton Yogyakarta
Orang Tua:

Ayah: Sri Sultan Hamengku Buwono VII

Ibu: Bendoro Raden Ayu Retnomandojo

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Latar Belakang

   Ki Ageng Suryomentaram adalah tokoh filsafat dan pemikir dari Jawa yang dikenal karena ajarannya mengenai kebahagiaan sejati. Ia dilahirkan di lingkungan keraton Yogyakarta sebagai putra ke-55 Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Meskipun memiliki status bangsawan, ia memilih meninggalkan kehidupan keraton untuk mengabdikan dirinya pada kehidupan sederhana dan pemahaman mendalam tentang manusia.

Perjalanan Hidup


Setelah meninggalkan keraton, ia mengganti namanya menjadi Ki Ageng Suryomentaram. Perubahan ini menunjukkan keinginannya untuk mendekatkan diri kepada masyarakat biasa. Selama hidupnya, ia tidak hanya mendalami filsafat Jawa tetapi juga memberikan banyak ceramah dan ajaran mengenai kehidupan yang damai, sederhana, dan bebas dari tekanan duniawi.

Pemikiran Utama


Ki Ageng dikenal karena konsep Mencari Manusia, yang bertujuan untuk menemukan kebahagiaan sejati (bedjo). Ia meyakini bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kekayaan, pangkat, atau jabatan, tetapi pada kemampuan seseorang untuk mengenal dirinya sendiri. Hal ini dikenal dengan konsep Kawruh Jiwa (Ilmu Mengenal Diri).

Ide batin "mencari manusia" yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram memiliki makna mendalam tentang pencarian jati diri dan pemahaman terhadap hakikat manusia. Konsep ini berakar pada introspeksi dan penggalian batin untuk memahami siapa kita sebenarnya, tujuan hidup, dan bagaimana kita menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh.

Berikut adalah penjabaran dari ide ini:

1. Mengenali Diri Sendiri

"Mencari manusia" berarti memahami diri sendiri secara mendalam, termasuk kekuatan, kelemahan, kebutuhan, dan keinginan. Dalam ajaran Ki Ageng, hal ini disebut kawruh jiwa atau pengetahuan tentang jiwa. Dengan mengenali diri, seseorang bisa hidup dengan lebih jujur dan seimbang.

2. Mencapai Kebahagiaan Sejati

Ki Ageng menekankan bahwa kebahagiaan sejati (bedjo) bukan berasal dari materi atau penghargaan eksternal, melainkan dari batin yang tenang dan damai. Mencari manusia berarti mencari cara untuk hidup yang selaras dengan hati nurani dan nilai-nilai kebenaran.

3. Memahami Orang Lain

Setelah memahami diri sendiri, seseorang akan lebih mudah memahami orang lain. Ini mencakup kemampuan untuk empati, toleransi, dan menghargai perbedaan tanpa terpengaruh oleh situasi eksternal seperti tempat, waktu, atau keadaan (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan).

4. Mengatasi Ego dan Keinginan Duniawi

Ide ini juga mengajarkan pentingnya melepaskan diri dari ego, nafsu, dan keterikatan pada hal-hal duniawi. Dengan fokus pada nilai batin, seseorang dapat hidup dengan penuh kesadaran dan tidak terjebak dalam konflik batin atau tekanan eksternal.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Apa itu Filosofi Enam “SA”

Filosofi Enam “SA” adalah ajaran yang dikembangkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf Jawa, untuk membantu manusia mencapai kebahagiaan sejati (bedjo) melalui pengelolaan diri dan kehidupan yang sederhana. Enam "SA" ini menjadi prinsip hidup yang menekankan kesadaran, keseimbangan, dan kesederhanaan.

1. Sa-butuhne (Sebetulnya Butuh)

  • Makna Dasar: Memahami kebutuhan sejati dan hidup hanya sesuai dengan apa yang benar-benar dibutuhkan.
  • Makna Luas: Mengajarkan manusia untuk membedakan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Dengan mengutamakan kebutuhan dasar, manusia dapat hidup lebih sederhana, tanpa terjebak dalam gaya hidup konsumtif.
  • Pesan Utama: Kebahagiaan sejati datang dari mengetahui batas kebutuhan dan menghindari pemborosan energi, waktu, atau sumber daya.
  • Contoh: Makan saat lapar dan hanya sebanyak yang dibutuhkan oleh tubuh, bukan karena nafsu semata.

2. Sa-perlune (Seperlunya)

  • Makna Dasar: Melakukan sesuatu sesuai dengan kadar kepentingannya.
  • Makna Luas: Mengajarkan pentingnya efisiensi dan fokus. Dalam kehidupan modern, ini bisa diartikan sebagai kemampuan untuk mengatur prioritas, menghindari aktivitas yang tidak produktif, dan menjalani hidup dengan bijak.
  • Pesan Utama: Jangan melakukan sesuatu yang tidak perlu atau membebani diri dengan hal-hal yang kurang penting.
  • Contoh: Menggunakan uang atau tenaga hanya untuk keperluan yang mendesak tanpa pemborosan.

3. Sa-cukupe (Secukupnya)

  • Makna Dasar: Merasa cukup dengan apa yang dimiliki.
  • Makna Luas: Mengembangkan rasa syukur (gratitude) sebagai fondasi kebahagiaan. Konsep ini menekankan pada penerimaan terhadap apa yang sudah dimiliki dan tidak terjebak dalam sikap serakah atau iri terhadap keberhasilan orang lain.
  • Pesan Utama: Hidup yang cukup adalah hidup yang dipenuhi rasa syukur, bukan kekayaan yang tak ada batasnya.
  • Contoh: Bersyukur dengan penghasilan yang ada dan tidak terobsesi untuk terus menambah harta.

4. Sa-benere (Sebenarnya)

  • Makna Dasar: Hidup dengan kejujuran dan kesadaran akan kebenaran sejati.
  • Makna Luas: Mengajarkan pentingnya integritas dan kejujuran dalam berpikir, bertindak, dan berbicara. Ini juga mengandung pesan untuk selalu mencari dan menghormati kebenaran, baik dalam konteks personal, sosial, maupun spiritual.
  • Pesan Utama: Kebenaran adalah fondasi yang harus dijaga dalam kehidupan agar hubungan antar manusia tetap harmonis dan damai.
  • Contoh: Berbicara jujur dalam segala situasi tanpa manipulasi.

5. Sa-mesthine (Semestinya)

  • Makna Dasar: Menjalani hidup sesuai dengan takdir atau hukum alam.
  • Makna Luas: Mengajarkan manusia untuk memahami bahwa ada hal-hal di luar kendali kita. Penerimaan terhadap kodrat atau hukum alam mengajarkan manusia untuk tidak melawan arus kehidupan yang tidak bisa diubah. Namun, ini tidak berarti pasrah, melainkan tetap berusaha dalam batas-batas yang semestinya.
  • Pesan Utama: Ketahuilah mana yang bisa diubah dan mana yang harus diterima dengan lapang dada.
  • Contoh: Menerima kegagalan sebagai bagian dari perjalanan hidup dan terus berusaha tanpa melawan kenyataan.

6. Sak-penake (Seenaknya dengan Tanggung Jawab)

  • Makna Dasar: Menjalani hidup dengan rasa nyaman dan tenang.
  • Makna Luas: Konsep ini menekankan bahwa hidup harus dijalani dengan fleksibilitas, tanpa tekanan yang tidak perlu, tetapi tetap dalam koridor tanggung jawab. Ini adalah upaya mencapai keseimbangan antara bekerja keras dan menikmati hidup.
  • Pesan Utama: Kenyamanan hidup bukan berarti kemalasan, melainkan kemampuan menyeimbangkan usaha dan istirahat.
  • Contoh: Tidak berambisi untuk mengejar hal-hal yang membuat diri tertekan, tetapi tetap bertanggung jawab

    Konsep ini melahirkan pendekatan "Situasional", yaitu fleksibilitas dalam bertindak sesuai dengan konteks yang dihadapi, seperti hubungan antara pedagang dan pembeli, guru, dan murid.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Kawruh Jiwa (Ilmu Mengenali Diri)


Ki Ageng juga mengajarkan pentingnya Kawruh Jiwa, yaitu memahami diri sendiri (meruhi awakipun piyambak) dengan jujur dan tepat. Menurutnya, orang yang memahami dirinya akan mampu memahami orang lain tanpa tergantung pada tempat, waktu, atau kondisi tertentu (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan).

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan tentang pentingnya pendekatan rasionalitas yang berpusat pada dua aspek utama: Reflektif dan Akomodatif, yang pada akhirnya melahirkan sikap Situasional. Berikut penjelasan mendalam dari konsep ini:

1. Rasionalitas Reflektif

Rasionalitas ini berpusat pada kemampuan seseorang untuk merenung dan memahami situasi dengan menggunakan elemen-elemen batiniah, seperti:

  • Akal budi: Menggunakan logika dan kecerdasan intelektual untuk menimbang sesuatu.
  • Rasa: Perasaan mendalam yang membantu memahami konteks sosial dan emosional.
  • Naluri: Reaksi spontan yang muncul secara alami dalam menghadapi situasi tertentu.
  • Insting: Kemampuan bawaan untuk membuat keputusan cepat tanpa analisis mendalam.
  • Feeling: Kepekaan terhadap emosi atau keadaan tanpa penjelasan rasional.
  • Intuisi: Pengetahuan atau pemahaman mendadak yang sering kali sulit dijelaskan secara logis.

Dalam refleksi ini, seseorang diajak untuk tidak hanya mengandalkan logika rasional tetapi juga mempertimbangkan elemen emosional dan spiritual yang membentuk pemahaman yang lebih mendalam.

2. Rasionalitas Akomodatif

Pendekatan ini berfokus pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi yang dihadapi. Prinsip utamanya adalah fleksibilitas, di mana seseorang mengakomodasi berbagai faktor eksternal, seperti:

  • Lingkungan sosial.
  • Budaya atau tradisi setempat.
  • Perbedaan nilai atau kepercayaan.

Dalam konteks ini, rasionalitas tidak hanya dipandang sebagai kemampuan untuk berpikir secara logis, tetapi juga sebagai cara untuk memahami kebutuhan, sudut pandang, dan perasaan orang lain. Hal ini menciptakan harmoni dalam berinteraksi dengan dunia luar.

3. Gabungan Reflektif dan Akomodatif Menghasilkan Sikap Situasional

Ketika seseorang mampu mengintegrasikan rasionalitas reflektif dan rasionalitas akomodatif, hasil akhirnya adalah sikap situasional, yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks atau keadaan tertentu. Sikap ini bersifat:

  • Fleksibel: Tidak terikat pada satu pola pikir atau tindakan yang kaku.
  • Adaptif: Responsif terhadap perubahan lingkungan, baik secara fisik maupun sosial.
  • Relatif: Menyesuaikan tindakan berdasarkan kondisi nyata yang sedang terjadi.

Ki Ageng menggambarkan konsep ini melalui metafora atau satire, seperti:

  • Pedagang: Harus pandai membaca kebutuhan pasar dan memahami karakter pelanggan.
  • Murid sekolah: Menyesuaikan cara belajar berdasarkan lingkungan belajar dan guru yang mengajar.

Hal ini juga tercermin dalam ungkapan sadoyo agami sami mawon (semua agama itu sama). Artinya, dalam memahami keberagaman keyakinan, seseorang perlu melihat esensi yang mendasari setiap agama, yaitu mencari kebenaran, kedamaian, dan kebahagiaan, daripada terpaku pada perbedaan permukaan. Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram tentang rasionalitas reflektif, akomodatif, dan situasional mengajarkan bahwa kehidupan tidak hanya memerlukan logika, tetapi juga rasa, empati, dan kemampuan untuk beradaptasi. Dengan menerapkan prinsip ini, seseorang dapat menjalani kehidupan yang lebih harmonis dan penuh makna di tengah tantangan dunia modern.

Rasionalitas dan Pendekatan Situasional

Pemikiran Ki Ageng bertumpu pada dua jenis rasionalitas:

  • Rasionalitas Reflektif

Memanfaatkan akal budi, rasa, naluri, dan intuisi untuk memahami kehidupan.

  • Rasionalitas Akomodatif

Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi, menciptakan pendekatan yang fleksibel dan bijaksana.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Makna Filosofi Enam "SA" di Kehidupan Modern

Filosofi Enam "SA" karya Ki Ageng Suryomentaram memberikan panduan bagi manusia untuk hidup lebih bijaksana dan seimbang di tengah tantangan kehidupan modern. Ajaran ini mengajarkan kita untuk fokus pada kebutuhan yang esensial, hidup sesuai kemampuan, dan menghindari gaya hidup berlebihan yang sering kali menjadi sumber stres.

Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan, Filosofi Enam "SA" relevan untuk mengingatkan pentingnya merasa cukup dengan apa yang dimiliki, bersikap jujur dalam bertindak, dan menerima kenyataan hidup tanpa mengeluh. Filosofi ini membantu seseorang menemukan kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada materi atau status sosial, tetapi pada kedamaian batin dan kesadaran diri.

Selain itu, ajaran ini juga menanamkan sikap fleksibel dan tenang dalam menghadapi perubahan zaman. Dengan mempraktikkan filosofi ini, seseorang dapat menjalani hidup yang lebih damai, sederhana, dan bermakna, meskipun berada di lingkungan yang serba cepat dan kompetitif. Filosofi ini mendukung manusia untuk tetap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, tetapi tanpa menekan diri atau mengejar ambisi yang tidak perlu.

Secara umum, Filosofi Enam "SA" adalah pedoman hidup yang membantu manusia mencapai keseimbangan antara kebutuhan, keinginan, dan kenyataan, sehingga dapat meraih kebahagiaan dan ketenangan di era modern.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Relevansi Filosofi Enam "SA" di Kehidupan Modern

     Filosofi Enam "SA" dari Ki Ageng Suryomentaram tetap relevan di tengah kehidupan modern yang sering kali penuh dengan tekanan, persaingan, dan kebutuhan materialistik. Ajaran ini mengingatkan kita untuk hidup sederhana dan fokus pada hal-hal esensial yang benar-benar diperlukan, sehingga dapat mengurangi stres dan beban yang tidak perlu.

Dalam dunia yang serba cepat dan konsumtif, Filosofi Enam "SA" mengajarkan untuk membatasi keinginan berlebihan, bersikap realistis, dan menerima keadaan dengan lapang dada. Ini membantu individu untuk menemukan kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada harta, jabatan, atau pencapaian duniawi, tetapi berasal dari ketenangan batin dan rasa cukup.

Filosofi ini juga menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan kejujuran, keseimbangan, dan penghargaan terhadap apa yang dimiliki. Selain itu, ajaran ini relevan untuk membantu manusia menghadapi kompleksitas kehidupan modern dengan sikap fleksibel dan tidak kaku terhadap perubahan situasi.

Secara umum, Filosofi Enam "SA" memberikan panduan untuk menjalani kehidupan yang harmonis, di mana seseorang dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual. Di era modern, ajaran ini menjadi cara untuk melawan tekanan gaya hidup materialistik sekaligus menemukan kedamaian dalam diri.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Apa itu Pangawikan Pribadi?

   Pangawikan Pribadi adalah konsep dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram yang menekankan pentingnya memahami diri sendiri secara mendalam. Pangawikan berasal dari kata "awik" yang berarti pengetahuan, sehingga pangawikan pribadi dapat diartikan sebagai ilmu atau kesadaran tentang diri pribadi.

Makna Pangawikan Pribadi:

1. Memahami Diri Sendiri

Ini mencakup kesadaran tentang siapa kita, apa tujuan hidup kita, serta apa kebutuhan dan keinginan sejati yang mendorong tindakan kita.

2. Memahami Rasa Sendiri

Rasa, dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram, adalah sumber dari semua pengalaman manusia. Memahami rasa berarti mampu mengenali apa yang kita rasakan (senang, sedih, marah, kecewa) dan tidak terjebak dalam emosi tersebut.

3. Memahami Hakikat Diri

Hakikat diri adalah inti keberadaan manusia yang melampaui keinginan duniawi, status sosial, atau identitas lahiriah. Dalam hakikat diri, manusia belajar untuk menerima diri sebagaimana adanya tanpa melebih-lebihkan atau merendahkan diri.

"Saiki, ing kene, lan ngene" (sekarang, di sini, begini)

Kalimat ini mengacu pada kesadaran penuh terhadap momen saat ini:

  • Saiki (sekarang): Fokus pada waktu sekarang, tidak terjebak oleh penyesalan masa lalu atau kekhawatiran masa depan.
  • Ing kene (di sini): Kesadaran terhadap tempat dan konteks di mana kita berada.
  • Lan ngene (begini): Menerima keadaan atau situasi sebagaimana adanya tanpa penolakan berlebihan.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Relevansi dalam Kehidupan Modern:

Konsep pangawikan pribadi mengajarkan pentingnya mindfulness atau kesadaran penuh di tengah kehidupan modern yang serba cepat. Ketika seseorang mampu "hidup di saat ini," ia tidak akan terlalu terganggu oleh tekanan masa lalu atau ketidakpastian masa depan. Prinsip ini membantu seseorang untuk hidup lebih tenang, penuh rasa syukur, dan tidak terjebak dalam keinginan yang tidak perlu.

Dengan memahami saiki, ing kene, lan ngene, manusia dapat menjalani kehidupan yang lebih sederhana, damai, dan bermakna.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Tujuan Pangawikan Pribadi:

Pangawikan Pribadi adalah ajaran Ki Ageng Suryomentaram yang berfokus pada pengendalian diri melalui pemahaman yang mendalam tentang keinginan manusia. Dalam konteks ini, pangawikan pribadi bertujuan untuk mengendalikan tiga dorongan utama manusia, yaitu semat, derajat, dan kramat, yang sering kali menjadi sumber penderitaan jika tidak terkendali.

1. Semat: Kekayaan, Kesenangan, dan Keenakan

Semat adalah keinginan untuk memiliki materi, kenyamanan, dan kebahagiaan fisik.

  • Makna: Keinginan ini meliputi hasrat untuk mendapatkan kekayaan (uang, harta benda), keenakan (kemudahan hidup), serta kesenangan (kesenangan fisik maupun emosional).
  • Potensi Masalah: Ketika semat menjadi tujuan utama hidup, manusia cenderung menjadi serakah, tidak pernah puas, dan terus merasa kurang. Hal ini dapat menyebabkan stres, kecemburuan, bahkan konflik.
  • Pengendalian: Dengan memahami hakikat semat sebagai sesuatu yang sementara, seseorang belajar untuk hidup sederhana, menghargai apa yang dimiliki, dan tidak menjadikan materi sebagai pusat kebahagiaan.

2. Derajat: Keluhuran, Kemuliaan, dan Kebanggaan

Derajat mengacu pada keinginan untuk diakui sebagai orang yang mulia, luhur, dan penting di mata orang lain.

  • Makna: Keinginan ini muncul dalam bentuk kebanggaan akan status, pencapaian, atau kemampuan. Misalnya, ingin dikenal sebagai orang sukses, pintar, atau berprestasi.
  • Potensi Masalah: Ketika seseorang terlalu terobsesi dengan derajat, ia rentan menjadi sombong, iri hati terhadap keberhasilan orang lain, dan merasa rendah diri jika tidak mendapatkan pengakuan. Hal ini dapat menciptakan ketidakbahagiaan yang terus-menerus.
  • Pengendalian: Memahami bahwa derajat sejati tidak tergantung pada pandangan orang lain, melainkan pada kualitas diri seperti integritas, kebaikan, dan ketulusan. Pengendalian ini membantu seseorang untuk tidak terlalu memikirkan penilaian eksternal.

3. Kramat: Kekuasaan, Kepercayaan, dan Penghormatan

Kramat adalah keinginan untuk dihormati, dipercaya, dan memiliki kekuasaan atau pengaruh atas orang lain.

  • Makna: Kramat sering kali diwujudkan dalam bentuk keinginan untuk menjadi pemimpin, orang yang dihormati, atau tokoh yang memiliki otoritas.
  • Potensi Masalah: Ketika keinginan ini menjadi berlebihan, seseorang dapat menjadi otoriter, haus pujian, dan kecewa jika tidak mendapatkan penghormatan dari orang lain. Hal ini dapat merusak hubungan sosial dan menciptakan konflik.
  • Pengendalian: Menyadari bahwa penghormatan sejati tidak datang dari posisi atau status, melainkan dari sikap rendah hati, kepedulian terhadap orang lain, dan kontribusi positif kepada masyarakat.

Pangawikan Pribadi mengajarkan bahwa semat, derajat, dan kramat adalah dorongan manusiawi yang alami. Namun, jika tidak terkendali, ketiganya dapat menjadi sumber ketidakpuasan, penderitaan, dan konflik dalam hidup.

Pengendalian terhadap keinginan-keinginan ini membantu seseorang untuk:

  • Hidup lebih damai dan sederhana.
  • Tidak terlalu tergantung pada pengakuan atau harta benda.
  • Fokus pada nilai-nilai batiniah yang abadi, seperti ketenangan jiwa, kejujuran, dan kebaikan.

Dengan memahami dan mengendalikan semat, derajat, dan kramat, seseorang dapat menjalani hidup yang lebih bermakna, bebas dari keterikatan duniawi, dan penuh kesadaran diri.

Konsep "Mulur, Mungkret" dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram merupakan analogi yang menggambarkan dinamika keinginan manusia dalam kehidupan. Kedua istilah ini melambangkan bagaimana keinginan manusia bersifat fluktuatif dan sementara. Berikut penjelasan lengkap dari masing-masing poin:

1. Mulur: Keinginan yang Memanjang (Meningkat)

  • Makna: Mulur menggambarkan sifat keinginan manusia yang selalu bertambah seiring dengan pencapaian. Ketika seseorang mencapai sesuatu, seperti jabatan, kekuasaan, atau kepuasan tertentu, ia cenderung ingin lebih. Keinginan ini dapat terus "memanjang" (mulur) tanpa batas, sering kali memunculkan keserakahan.
  • Contoh:
    • Seseorang yang sudah memiliki jabatan tinggi akan berusaha mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi.
    • Ketika seseorang memiliki kekayaan, ia merasa belum cukup dan ingin memiliki lebih banyak lagi.
  • Potensi Bahaya: Keinginan yang terus "mulur" dapat menyebabkan ketidakpuasan, stres, dan mengabaikan nilai-nilai lain seperti kebahagiaan sejati atau kesederhanaan.

2. Mungkret: Keinginan yang Menyusut (Mundur)

  • Makna: Mungkret terjadi ketika keinginan seseorang gagal tercapai. Ketika harapan atau ambisi tidak terpenuhi, keinginan itu menyusut, yang sering kali disertai perasaan kecewa, putus asa, atau frustrasi.
  • Contoh:
    • Seseorang yang gagal mendapatkan promosi akan merasa kecewa dan merasa nilai dirinya berkurang.
    • Ketika seseorang gagal mencapai kekayaan yang diinginkan, ia mungkin merasa tidak berguna atau tidak berharga.
  • Potensi Bahaya: Mungkret dapat menyebabkan seseorang mengalami kesedihan mendalam, kehilangan semangat, atau bahkan rasa minder terhadap kehidupan.

3. Semua adalah Sementara

  • Makna: Baik mulur maupun mungkret adalah kondisi yang tidak permanen. Keinginan manusia bersifat sementara, dan setiap keinginan yang terpenuhi atau tidak terpenuhi tidak akan berlangsung selamanya.
  • Ajaran Utama: Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa manusia perlu menyadari sifat sementara dari semua hal, termasuk keinginan, ambisi, dan rasa kecewa. Dengan kesadaran ini, seseorang dapat belajar untuk tidak terlalu terikat pada hasil, baik itu keberhasilan (mulur) atau kegagalan (mungkret).

4. Semua Manusia Memiliki "Rasa Sama" (Enam SA)

  • Makna: Pada akhirnya, setiap manusia memiliki "rasa yang sama" dalam menghadapi keinginan, yang dijelaskan melalui konsep Enam SA:
    • Sa-butuhne (sebatas kebutuhan),
    • Sa-perlune (sebatas keperluan),
    • Sa-cukupe (sebatas cukupnya),
    • Sa-benere (sebatas kebenarannya),
    • Sa-mesthine (sebatas kepatutannya),
    • Sa-penake (sebatas kenyamanan).
  • Ajaran Utama: Dengan memahami bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang sama, kita dapat menjalani kehidupan yang lebih sederhana, saling memahami, dan tidak terjebak dalam persaingan atau perasaan iri hati.

Konsep "Mulur, Mungkret" mengajarkan bahwa keinginan manusia bersifat fluktuatif—terkadang memanjang (mulur) saat keinginan tercapai, dan terkadang menyusut (mungkret) saat harapan gagal. Namun, kedua kondisi ini hanyalah sementara, sehingga manusia sebaiknya tidak terlalu terikat pada ambisi duniawi. Melalui pemahaman ini, Ki Ageng Suryomentaram mengarahkan manusia untuk:

1. Menyadari sifat sementara dari segala hal.

2. Mengendalikan keinginan agar tidak berlebihan.

3. Menerima segala situasi dengan kesadaran bahwa rasa manusia adalah sama, yaitu sesuai dengan prinsip Enam SA.

Hal ini membawa manusia pada kehidupan yang lebih damai, selaras, dan tidak terjebak dalam penderitaan akibat ambisi atau kekecewaan.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Konsep Sikap Tabah (Stoic Indonesia): "Menungso Tanpo Tenger"

   Konsep "Sikap Tabah" atau Stoicism versi Ki Ageng Suryomentaram, yang sering disebut dengan istilah "Menungso Tanpo Tenger" (Manusia Tanpa Ciri), mencerminkan filosofi Jawa yang mengajarkan ketabahan, ketenangan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi segala keadaan hidup. Berikut adalah penjelasan lengkapnya:

1. Makna Sikap Tabah dalam Filosofi Jawa

Tabah berarti kemampuan seseorang untuk tetap tenang, tidak mudah terguncang, dan menerima segala situasi—baik senang maupun susah—dengan hati yang lapang. Sikap ini mengandung nilai bahwa kehidupan penuh dengan perubahan, seperti suka dan duka, keberhasilan dan kegagalan. Seseorang yang memiliki stoic mindset tidak akan larut dalam kesedihan maupun euforia kebahagiaan, tetapi mampu menjaga keseimbangan emosinya. Stoicism versi Indonesia ini selaras dengan ajaran Ki Ageng Suryomentaram, yang menekankan bahwa manusia harus bisa melepaskan diri dari keterikatan terhadap kesenangan duniawi atau penderitaan.

2. "Menungso Tanpo Tenger" (Manusia Tanpa Ciri)

Makna Harfiah: Menungso tanpo tenger secara harfiah berarti "manusia tanpa tanda" atau "tanpa ciri khas."

Makna Filosofis:

  • Manusia yang tidak menunjukkan ciri-ciri kelekatan pada keadaan duniawi, seperti rasa bangga berlebihan atas jabatan, kekayaan, atau status sosial.
  • Seseorang yang tanpo tenger adalah pribadi yang netral, tidak memihak atau terjebak dalam keinginan-keinginan duniawi yang berlebihan.
  • Sikap ini menunjukkan kematangan jiwa, di mana seseorang tidak mudah terpengaruh oleh penghargaan, hinaan, atau situasi eksternal lainnya.

3. Nilai Utama dari Sikap "Menungso Tanpo Tenger"

Kebebasan dari Kemelekatan: Orang yang tanpo tenger mampu melepaskan diri dari kelekatan terhadap dunia, seperti harta, kekuasaan, atau pengakuan sosial.

  • Pengendalian Diri: Mampu mengendalikan ego, emosi, dan dorongan yang berlebihan, baik terhadap ambisi maupun rasa kecewa.
  • Kesederhanaan: Hidup secara prasaja (sederhana) dan fokus pada kebutuhan dasar tanpa dihantui keinginan berlebihan.
  • Kebijaksanaan Universal: Tidak membedakan situasi suka atau duka, menang atau kalah, sehingga hidupnya penuh dengan keseimbangan dan kebijaksanaan.

4. Hubungan dengan Konsep Stoicisme

Stoicism adalah filsafat Yunani kuno yang juga mengajarkan untuk menerima hal-hal yang berada di luar kendali kita dengan tenang, sambil fokus pada apa yang bisa kita kendalikan—yaitu pikiran, sikap, dan tindakan kita.

Kesamaan:

  • Baik Stoicism maupun Menungso tanpo tenger mengajarkan pengendalian emosi, kebebasan dari kelekatan duniawi, dan penerimaan terhadap perubahan hidup.
  • Keduanya menekankan pentingnya memusatkan perhatian pada apa yang penting dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal.

Perbedaan: Stoicism cenderung menggunakan logika dan alasan secara eksplisit, sedangkan Menungso tanpo tenger lebih berakar pada rasa (rasa sejati), naluri, dan kebijaksanaan intuitif khas Jawa.

5. Aplikasi dalam Kehidupan Modern

  • Menerima Perubahan: Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, Menungso tanpo tenger mengajarkan kita untuk tidak terlalu bergantung pada keadaan eksternal, baik itu kekayaan, jabatan, atau opini orang lain.
  • Mengendalikan Ego: Dalam dunia kerja atau hubungan sosial, sikap ini dapat membantu seseorang untuk tetap rendah hati dan tidak sombong atas pencapaian diri.
  • Ketabahan dalam Kesulitan: Dalam menghadapi kegagalan atau kesedihan, ajaran ini mengingatkan bahwa semua itu bersifat sementara, sehingga kita harus tetap kuat dan tidak larut dalam penderitaan.
  • Kesederhanaan: Mengingatkan manusia untuk hidup sesuai kebutuhan (sebatas sa-butuhne, sa-perlune, sa-cukupe), tanpa terjebak pada ambisi yang berlebihan.

Sikap "Menungso Tanpo Tenger" adalah esensi kebijaksanaan hidup yang mengajarkan manusia untuk hidup sederhana, netral, dan tidak melekat pada duniawi. Filosofi ini sangat relevan dalam kehidupan modern, di mana banyak orang terjebak dalam ambisi yang tak berujung, tekanan sosial, dan ketidakpuasan. Dengan menjadi pribadi yang tanpo tenger, seseorang dapat mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan sejati melalui pengendalian diri dan penerimaan terhadap sifat sementara dari segala sesuatu.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Mengapa Manusia harus Waspada terhadap Sifat Buruk versi Ki Ageng Suryomentaram?

Ki Ageng Suryomentaram memberikan perhatian besar pada pengendalian diri dan kesadaran batin. Salah satu bagian penting adalah mengenali dan menghindari empat sifat buruk manusia yang sering menjadi akar masalah kehidupan. Berikut adalah penjelasan rinci dari masing-masing sifat buruk ini:

1. Meri (Iri Hati)

Makna: Meri adalah rasa iri terhadap kebahagiaan, kesuksesan, atau keberhasilan orang lain. Sifat ini mencerminkan ketidakpuasan atas diri sendiri dan kegagalan untuk bersyukur.

Akibat:

  • Menimbulkan konflik batin dan rasa tidak tenang. 
  • Mendorong tindakan negatif, seperti menjelekkan orang lain atau memanipulasi situasi.

Solusi:

  • Ki Ageng mengajarkan untuk fokus pada sa-butuhne dan sa-perlune (kebutuhan yang mendasar) tanpa membandingkan diri dengan orang lain.
  • Mengembangkan rasa syukur atas apa yang dimiliki dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada hal-hal eksternal.

2. Pambegan (Sombong)

Makna: Pambegan adalah sikap sombong atau merasa diri lebih tinggi dibandingkan orang lain. Sifat ini sering muncul dari pencapaian, kekuasaan, atau harta benda yang dimiliki.

Akibat:

  • Memutus hubungan sosial karena sikap merendahkan orang lain.
  • Menyebabkan kejatuhan diri karena lupa pada keterbatasan manusia.

Solusi:

  • Menyadari bahwa semua keberhasilan adalah sementara dan tidak abadi (mulur mungkret).
  • Mengembangkan sikap rendah hati (andhap asor), menghormati orang lain, dan mengingat bahwa semua manusia pada dasarnya setara.

3. Getun (Kecewa terhadap Keadaan yang Terjadi)

Makna: Getun adalah rasa penyesalan atau kekecewaan mendalam terhadap sesuatu yang telah terjadi. Sifat ini muncul karena seseorang tidak mampu menerima kenyataan.

Akibat:

  • Menghambat proses penyembuhan emosi dan kemajuan hidup.
  • Memperkuat sikap pesimis dan menghilangkan motivasi.

Solusi:

  • Belajar dari pengalaman tanpa terus-menerus terjebak dalam rasa penyesalan.
  • Memahami bahwa semua peristiwa memiliki hikmah, sesuai dengan ajaran Ki Ageng tentang menerima situasi dengan pangawikan pribadi.

4. Sumelang (Khawatir Berlebihan terhadap Keadaan yang Belum Terjadi)

Makna: Sumelang adalah perasaan cemas, khawatir, atau was-was terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi di masa depan.

Akibat:

  • Menguras energi mental dan emosi tanpa alasan yang jelas.
  • Menghalangi keberanian untuk mengambil langkah ke depan.

Solusi:

  • Menghadirkan kesadaran pada saat ini (saiki, ing kene, lan ngene - sekarang, di sini, dan begini).
  • Percaya pada proses kehidupan dan tetap melakukan yang terbaik dalam kendali kita.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Dampak Sifat Buruk

Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan bahwa sifat buruk ini bisa menimbulkan dua dampak besar:

1. Raos tatu (rasa luka): Luka batin yang mendalam, baik karena iri hati, sombong, kecewa, maupun khawatir.

2. Ciloko peduwung (celaka berkelanjutan): Situasi buruk yang terus-menerus terjadi akibat tindakan atau pikiran negatif yang bersumber dari sifat-sifat tersebut.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Ajaran Ki Ageng untuk Mengatasi Sifat Buruk

  • Mawas Diri: Melakukan introspeksi dan pengendalian diri terhadap emosi negatif.
  • Menerima Keseimbangan: Menyadari bahwa hidup penuh dengan siklus suka dan duka, sehingga penting untuk hidup dengan sikap sabar lan nrimo (sabar dan menerima).
  • Mengendalikan Karep: Sesuai dengan ajaran "6 SA" (sa-butuhne, sa-perlune, sa-cukupe), manusia harus mengendalikan keinginan agar tidak berlebihan.
  • Melepaskan Kemelekatan: Menyadari bahwa segala sesuatu bersifat sementara dan fokus pada apa yang benar-benar penting.

Waspada terhadap sifat buruk (meri, pambegan, getun, dan sumelang) adalah bagian dari filosofi Ki Ageng Suryomentaram untuk membimbing manusia mencapai ketenangan batin. Dengan memahami dan mengatasi sifat buruk ini, seseorang dapat hidup dengan lebih damai, bijaksana, dan seimbang, serta terhindar dari penderitaan yang bersumber dari pikiran negatif.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Bagaimana Akibat dari Sifat Buruk: "Raos Tatu" dan "Ciloko Peduwung"? 

Dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram, sifat buruk seperti meri (iri hati), pambegan (sombong), getun (kecewa), dan sumelang (kekhawatiran berlebihan) tidak hanya mengganggu kehidupan seseorang secara batiniah tetapi juga menimbulkan dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dua dampak besar yang beliau identifikasi adalah raos tatu (rasa luka) dan ciloko peduwung (celaka berkelanjutan). Berikut penjelasan masing-masing:

1. Raos Tatu (Rasa Luka)

Makna: 

Raos tatu adalah luka batin yang dirasakan seseorang akibat sifat buruk yang ada dalam dirinya. Luka ini bersifat emosional, mendalam, dan sulit disembuhkan jika tidak segera diatasi.

Penyebab: 

  • Iri hati (meri): Membandingkan diri dengan orang lain dan merasa kurang, sehingga menimbulkan kekecewaan mendalam pada diri sendiri.
  • Sombong (pambegan): Menganggap diri lebih hebat dari orang lain, namun pada akhirnya terpuruk ketika realitas tidak sesuai harapan.
  • Kecewa (getun): Penyesalan terhadap hal yang sudah terjadi, yang akhirnya menimbulkan rasa sakit berkepanjangan.
  • Kekhawatiran (sumelang): Ketakutan terhadap masa depan yang belum tentu terjadi, menyebabkan penderitaan tanpa alasan nyata.

Dampak Psikologis:

  • Perasaan tidak puas yang terus-menerus.
  • Kegelisahan batin, rasa rendah diri, atau bahkan dendam.
  • Terhambatnya perkembangan diri karena luka batin ini menyita perhatian dan energi seseorang.

Contoh Kasus:

Seseorang yang iri pada keberhasilan teman, alih-alih termotivasi, malah terjebak dalam rasa minder yang mendalam.

Ketika seseorang menyesali pilihan hidupnya terus-menerus, ia kehilangan keberanian untuk maju dan memperbaiki keadaan.

2. Ciloko Peduwung (Celaka Berkelanjutan)

Makna: 

Ciloko peduwung adalah dampak negatif yang terus-menerus terjadi sebagai akibat dari sifat buruk. Celaka ini bukan hanya dirasakan oleh pelaku, tetapi sering kali juga berdampak pada orang di sekitarnya.

Penyebab:

  • Akumulasi Sifat Negatif: Ketika sifat buruk seperti iri, sombong, atau kekhawatiran tidak dikendalikan, dampaknya akan merambat menjadi kerugian yang lebih besar.
  • Keputusan Buruk: Pikiran yang dikuasai oleh sifat buruk sering kali menghasilkan keputusan yang salah, baik secara emosional maupun praktis.

Dampak Nyata:

  • Kerugian Sosial: Hubungan dengan orang lain rusak akibat emosi negatif yang terus diluapkan, seperti iri hati atau sombong.
  • Kerugian Ekonomi: Keputusan yang salah akibat ketakutan berlebihan atau keserakahan dapat menimbulkan masalah finansial.
  • Kerugian Fisik: Stres akibat sifat buruk dapat mempengaruhi kesehatan, seperti tekanan darah tinggi, gangguan tidur, atau penyakit lainnya

Contoh Kasus:

  • Seorang yang iri terhadap teman sekantor bisa terjebak dalam persaingan tidak sehat, sehingga akhirnya kehilangan pekerjaan.
  • Ketakutan akan kegagalan membuat seseorang tidak berani mengambil peluang, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk maju.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Bagaimana Cara Mengatasi "Raos Tatu" dan "Ciloko Peduwung"?

1. Mawas Diri: Introspeksi dan pengendalian diri adalah langkah utama untuk mencegah sifat buruk berakar dalam diri. 

2. Mengamalkan Enam "SA": Hidup sesuai kebutuhan (sa-butuhne), keperluan (sa-perlune), dan kewajaran (sa-cukupe) dapat mencegah keserakahan atau ketidakpuasan.

3. Kesadaran "Pangawikan Pribadi": Menyadari diri sendiri dan situasi saat ini (saiki, ing kene, lan ngene) membantu seseorang untuk hidup lebih realistis dan tidak terjebak dalam kekhawatiran atau penyesalan.

4. Mengendalikan Karep: Ki Ageng mengajarkan untuk mengarahkan dan membebaskan keinginan (karep), agar tidak diperbudak oleh hawa nafsu.

Raos tatu adalah luka batin yang terjadi karena sifat buruk yang dibiarkan berkembang, sedangkan ciloko peduwung adalah kerugian yang terjadi secara berkelanjutan akibat akumulasi sifat buruk ini. Untuk menghindarinya, Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan pentingnya introspeksi, pengendalian diri, dan hidup sederhana sesuai dengan kebutuhan nyata manusia. Dengan memahami dan mempraktikkan ajarannya, seseorang dapat hidup lebih damai, bijaksana, dan terbebas dari penderitaan yang bersumber dari sifat buruk.

canva diolah pribadi
canva diolah pribadi

Kata "Sesal_Kuatir" dalam konteks ini merujuk pada penyesalan yang kuat atau rasa khawatir yang mendalam. Jika kita bisa meminimalkan atau bahkan menghilangkan perasaan ini, kita akan mencapai sikap yang lebih bebas, lepas, dan tidak terikat.

"Meruhi Gagasane Dewe" mengacu pada kemampuan untuk memisahkan diri dari segala sesuatu tanpa keterikatan. Artinya, meskipun kita menghadapi berbagai peristiwa, pengalaman, atau pikiran, kita tetap bisa mempertahankan ketenangan batin dan tidak terpengaruh oleh emosi atau kesedihan yang berlebihan.

Menurut Ki Ageng, ini adalah sebuah ajaran tentang bagaimana manusia seharusnya berhubungan dengan dunia secara lebih bijaksana. Dengan memahami bahwa segala sesuatu bersifat sementara dan tidak permanen, kita bisa melepaskan diri dari rasa khawatir atau penyesalan yang tidak berguna. Dengan begitu, kita akan mencapai kebahagiaan sejati dan kedamaian batin yang lebih dalam.

Berikut ini uraian penjelasan tentang masing-masing konsep berkaitan dengan pengelolaan atau pengendalian diri dalam perjalanan spiritual dan kehidupan sehari-hari menurut Ki Ageng Suryomentaram:

1. Nyowong Karep

Nyowong karep berarti "menyadari atau memahami kehendak hati" atau "menyelaraskan niat dengan kehendak Tuhan." Dalam konteks ini, karep merujuk pada keinginan atau kehendak yang ada dalam diri kita. Nyowong karep adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu mengenali dan menyadari dengan jelas apa yang menjadi keinginan atau niat dalam dirinya. Ini adalah langkah pertama dalam mencapai kedamaian batin, karena kita harus mengetahui dulu keinginan dan tujuan kita sebelum bisa menjalani kehidupan dengan benar.

Menurut Ki Ageng, menyadari kehendak hati yang sejati sangat penting agar tidak terjerumus dalam keinginan yang tidak membawa kebaikan atau hanya berdasarkan nafsu duniawi. Orang yang sudah memahami kehendak dirinya akan lebih bijak dalam mengambil keputusan dan bertindak, karena tindakannya sudah berdasarkan kesadaran, bukan hanya dorongan dari emosi atau keinginan yang tidak terkontrol.

2. Memandu Karep

Memandu karep berarti "mengendalikan kehendak atau niat" dalam hidup kita. Setelah kita menyadari apa yang menjadi keinginan atau niat kita, langkah selanjutnya adalah memandu atau mengarahkan kehendak tersebut agar tetap pada jalur yang benar dan sesuai dengan tujuan hidup yang lebih luhur.

Ki Ageng mengajarkan bahwa memandu karep berarti mengendalikan keinginan agar tidak terjerumus dalam nafsu atau hal-hal yang bersifat sementara. Ini melibatkan pengendalian diri yang kuat dan kebijaksanaan dalam memilih arah hidup. Dengan memandu karep, seseorang akan lebih berhati-hati dalam membuat keputusan dan lebih mampu menahan godaan atau dorongan yang bisa menyesatkan.

3. Membebaskan Karep

Membebaskan karep adalah tahap yang lebih tinggi setelah kita mengendalikan kehendak atau niat. Artinya, kita mencapai kebebasan sejati dalam diri kita, di mana kehendak kita tidak lagi terikat pada keinginan-keinginan duniawi atau nafsu yang sementara. Ini adalah kondisi di mana seseorang sudah bebas dari keterikatan dan tidak terpengaruh oleh hal-hal eksternal yang bisa mengalihkan fokus atau merusak kedamaian batinnya.

Menurut Ki Ageng, membebaskan karep bukan berarti melepaskan diri dari tanggung jawab atau menjalani hidup dengan acuh tak acuh, tetapi lebih kepada membebaskan diri dari keterikatan emosional dan duniawi yang bisa membuat kita terjebak dalam siklus ketidakharmonisan. Seseorang yang membebaskan karepnya mampu menjalani hidup dengan penuh ketenangan, tidak terbawa oleh arus kesenangan atau penderitaan dunia, dan mampu melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih luas dan penuh kebijaksanaan.

https://www.canva.com/design/DAGT_ojKau4/4CH1PuPSLkw1B0pRmRyHSg/edit?utm_content=DAGT_ojKau4&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAGT_ojKau4/4CH1PuPSLkw1B0pRmRyHSg/edit?utm_content=DAGT_ojKau4&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Mawas Diri

Mawas diri adalah proses introspeksi atau merenung untuk mengenali diri sendiri dengan jujur. Dalam ajaran Ki Ageng, mawask diri adalah kunci untuk memahami dan memelihara keseimbangan batin, sehingga kita dapat hidup dengan lebih sadar dan bijaksana. Mawas diri membantu kita untuk mengidentifikasi kelemahan, kecenderungan buruk, dan potensi yang belum tergali dalam diri kita, serta memberi kesempatan untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

Secara keseluruhan, Ki Ageng mengajarkan bahwa dengan nyowong karep (menyadari kehendak), memandu karep (mengendalikan kehendak), dan membebaskan karep (mencapai kebebasan batin), seseorang akan mencapai kedamaian yang sejati dan hidup yang penuh makna. Mawas diri adalah sarana untuk memastikan bahwa kita selalu berada pada jalur yang benar dalam perjalanan spiritual dan hidup kita secara umum.

Daftar Pustaka

 Dokpri, Etika UMB, Prof Dr. Apollo. (tanpa tahun). Materi Tugas Besar Etika. Dokumentasi pribadi.

Ki Ageng Suryomentaram. (1892-1962). Ajaran Enam "SA" dan Pangawikan Pribadi. Diterjemahkan dan dikaji oleh berbagai sumber tradisi budaya Jawa. Yogyakarta: Arsip Tradisi Kejawen.

  Supriyadi, D. (2006). Filosofi Hidup Jawa: Makna Kehidupan dalam Pandangan Ki Ageng Suryomentaram. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Santoso, S. (2012). Manusia Jawa: Nilai, Etika, dan Filosofi Hidup Tradisional. Jakarta: Balai Pustaka.

Suryomentaram, K. A. (1940). Pemahaman Rasa Manusia: Refleksi terhadap Kehidupan dan Kebahagiaan. Surakarta: Pustaka Budaya.

Magnis-Suseno, F. (1997). Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Yogyakarta: Kanisius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun